Chereads / Misteri Pembunuhan di Rumah Pijat / Chapter 10 - Memikirkan Alasan

Chapter 10 - Memikirkan Alasan

"Oke Tante. Jangan matikan ponselnya, Nay akan telpon Irma. Tante tenang ya."

"Assalamualaikum, Nay. Kamu di mana, Sayang. Suami tercinta datang!" Belum sempat otakku mencerna kalimat Tante Sena, dan menelpon Irma, Fathan ikut nongol di depan pintu.

"Tante Sena, dengarkan Nay! Semua akan baik-baik saja. Tante tetap tenang. Nay janji akan bawa Irma ke kampung dalam keadaan sehat. Tidak kurang satu apapun. Nay akan telpon Tante lima belas menit lagi. Mas Fathan sudah datang, kita sambung lime belas menit kemudian. Oke."

Aku menenangkan Tante Sena. Walau sebenarnya hatiku juga butuh ditenangkan. Sambil mencari akal cara menemui Irma yang kabur. Aku harus menghubungi Malik. Bukankah Fathan sudah menghubungi Tante Sena dan mengatakan Irma pindah kerja ke perusahaan cabang di Jawa.?

Kok Tante Sena bilang Irma kabur? Apa jangan-jangan. Kepalaku tambah berdenyut. Ada apa semua ini.

Harusnya Irma tidak bisa kabur. Sepertinya Tante Sena mudah mengerti dengan apa yang aku katakan. Aku akan menelponnya sepuluh menit kemudian. Tentu saja orangtua Irma itu mengetahui Fathan bos di tempatnya bekerja, dan dari nada bicaranya ia menuntut tanggung jawab Fathan sebagai bos sekaligus suamiku, atas kepergian Irma.

Komunikasi Kututup segera, langkah kaki Fathan terdengar mendekat.

"Kamu di sini!? Riez udah bobok ya, padahal Mas pengen main-main sama Riez." Fathan masuk ke kamar. Langsung merebahkan dirinya di dekatku. Memasang senyum semringah menatap wajah polos Riez. Aku jijik. Entahlah. Mengapa pandai sekali menyembunyikan sesuatu.

"Dekat donk, Mas Kangen. Kamu udah ngomong sama Mama untuk acara akikahan Minggu ini," ocehnya yang begitu malas kutanggapi. Menarik badanku mendekat ke tubuhnya.

Aku harus menahan lidah untuk tidak menceritakan apapun. kutatap lekat mata itu. Mata yang dulu kuanggap penuh cinta. Kini berbeda sorotannya.

"Tadi udah ngobrol sama Tante Yona," jawabku sekenanya.

"Kamu kenapa, Sayang?" Lagi-lagi Fathan membaca gelagat tekuk wajah masam ini. Dia seperti cenayang.

"Ngak papa, Mas. Aku lagi capek aja. Kamu istirahat saja dulu, Aku juga mau istirahat, e-tapi aku di sini aja. Kamu istirahat di kamar kita, kalau di sini takut keganggu sama suara nangis Riez tengah malam."

"Iya sih, Mas ngantuk banget. Tapi, Mas belum makan malam, mas kangen masakan nasgor ala Nay. Mau buatin makan malam nasgor buat Mas, sayang?"

Ingin rasanya aku bilang. 'Buatin sana sama si Nola alias kuntilanak itu. Aku bukan pembantumu.'

Tapi, yang kulakukan justru mengangguk dan gegas melangkah ke arah dapur. Menyiapkan nasi goreng sesuai permintaan Fathan.

"Gitu donk. Wanginya sampai mendunia."

Setelah mengaduk seledri, Fathan datang dan langsung memelukku dari belakang. Risih. Pasti. Kalau dulu aku sangat suka Fathan bersikap romantis begini. Hari ini jadi sesuatu yang menjijikkan. Aku seperti melihat Fathan bermain peran. Tidak benar-benar tulus.

Tunggu saja, apapun rencana kalian--kau dan Bambang melibatkan aku dalam perkongsian hanya untuk mendapatkan harta, tahta di perusahaan itu, aku tidak tinggal diam.

Tenang, Nay! Tenang. Semua akan baik-baik saja. Aku menarik napas panjang.

"Kenapa, sayang." Lagi dia bertanya curiga, melihat aku menarik napas.

"Ngak papa, Mas. Kan tadi aku dah bilang. Aku lagi capek jadik badmood. Mungkin bawaan hormon bulanan."

"Wah, ngak bisa donk kita buat dedek untuk Riez," kelakarnya menjawil hidungku.

"Hmm." Aku hanya mendesah pelan.

"Kamu itu cantik walaupun pakai celemek dan keringatan gini," pujinya merayu lagi. Fathan memang biasa memuji. Tapi, pujian kali ini membuatku ingin muntah. Ia membelai celemek bekas minyak goreng. Benar-benar sok romantis.

Apa dia memuji hal yang sama pada Nola si lampir itu? Atau saat menjebak Irma untuk ditiduri. Issh. Aku bergidik sendiri.

"Maaf, Mas. Kan aku udah bilang lagi badmood," elakku menyingkirkan tangannya dari pinggang. Kulihat tatap mata kecewa Fathan. Ah, bodo amatlah. Aku ingin dia segera tidur. Dan aku nelpon Malik untuk mencari tahu keberadaan Irma.

Menghidangkan nasi goreng beserta kerupuk melinjo kesukaannya. Aku berencana segera angkat kaki menuju kamar.

"Kamu ngak pengen buatin Mas kopi pahit dan sedikit cemilan. Mas ada tugas malam ini. Rencana mau begadang. Bekerja ditemani bidadari pasti lebih asik. Capeknya ngak terasa. Temani Mas donk, Sayang!"

Apa katanya menemani begadang. No. Titik gak pakai koma.

"Bukan Nay gak mau. Nay beneran capek hari ini. Besok juga mau pergi belanja untuk akikahan Riez. Maaf ya." Sekuat tenaga aku berusaha bicara normal.

Fathan mendekat. Menarik kepalaku. Mengecup keningku lembut. Mendadak sekali.

"Ya udah istirahat. Maafin Mas ya, maksa banget pengen kamu temani. Mas cuma kangen," ucapnya lembut.

Cih kangen?

Waktu dia lagi sama si lampir kangen ngak sama aku. Dasar buaya!

Aku mengangguk tipis. Lalu beranjak ke kamar Riez. Di kamar itu aku jauh lebih tenang, daripada di kamar kami. Maksudku kamar aku dan Fathan.

Duduk di atas ranjang big size, aku sengaja menidurkan Riez di atas ranjang ini. Biar dia terbiasa bebas tidur. Tidak merasa terkurung dalam ranjang baby. Kupandangi sekali lagi wajah Riez yang tampan. Sungguh membuat aku tersenyum sendiri. Baby mungil penenang jiwa.

Kalung yang diberi lelaki misterius itu kugenggam erat. Kembali menyamakan foto yang ada di bandulnya dengan wajah Riez.

"Mirip banget. Apa dia ayah Riez?"

Sejak pertama kali bertemu, aku memang merasa sangat familiar dengan lelaki misterius itu, Farhan. Siapa dia?

Inilah susahnya jadi aku. Saking tidak suka memperhatikan wajah orang lain. Aku kesulitan mengingat seseorang.

Farhan?

Aduch. Mengingat nama Farhan hampir saja aku melupakan Malik.

Astaghfirullah. Aku menepuk jidatku sendiri. Bahkan aku melupakan janji menelpon Tante Sena.

Kuklik nomor Malik setelah berjinjit mengintip ke arah dapur. Memastikan Fathan masih duduk di meja makan.

"Hallo, Mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Malik. Irma kabur dan dia sudah menelepon mamanya ia akan pergi ke Jawa dalam waktu yang lama. Apa semua aman?"

"Mbak tenang ya. Jangan takut. Saya akan selalu ada dipihak Mbak. Apa mbak lupa kalau kita memang sudah memprediksi Irma akan kabur? Jadi biarkan saja dia kabur. Rubi dan Boni lebih mudah mencari tau siapa dalang dan apa motif semua ini."

Oh iya. Aku lupa.

"Baiklah, Malik. Saya percayakan semua padamu," bisikku pelan. Entahlah aku lelah. Siapa lagi yang bisa kupercaya selain orang yang pernaah kutolong. Aku anggap saja Malik merasa berhutang budi padaku jadi, dia tidak akan berkhianat atas apa yang kuperintahkan. Semoga.

Tinggal memikirkan alasan untuk Tante Sena. Semoga juga apa yang kupikirkan tentang kecurigaan akan adanya permainan antara Tante Sena dan Fathan tidak terjadi. Aku harus berhasil memboyong ibu Irma itu kemari.