Bungkusan plastik sebuah swalayan ternama. Aku menatap lamat bingkisan hadiah yang belum sempat kubuka dari lelaki misterius itu.
Mengambil posisi duduk ternyaman di atas ranjang. Duduk bersandar menyangga bantal pada punggung. Menarik napas sejenak. Aku menaruh Riez yang terlelap nyaman di sampingku. Melepas lelah dengan memejam mata semenit. Aku mengusap wajah sekelabat, semoga pikiranku tetap waras hingga Mas Fathan kembali ke rumah.
Ya. Aku harus tenang. Tidak perlu gegabah. Ada hal jauh lebih penting dari sekadar membongkar kebusukan suamiku sendiri.
Kemudian tanganku membuka tak sabaran, bingkisan pemberian lelaki misterius bin aneh bin ajaib itu. Entah datang dari perut bumi mana dia, seakan mengekor langkahku hingga selalu bersua. Janjinya ia tepati. Tidak lagi menunjukkan muka di hadapanku.
Semoga bingkisan ini bukan bom atau hadiah mengerikan lainnya.
Bismillah.
Sempat-sempatnya aku membaca basmalah, membuka bingkisan berwarna biru laut. Sebentar! Pria itu mengetahui warna kesukaanku. Ini tidak bisa disebut kebetulan. Apa dia mengenalku sebelumnya? Tapi aku sama sekali tidak mengingatnya. Siapa dia? Ah, sial. Aku bahkan tidak mengingat apapun meski alam bawah sadarku menyatakan wajah itu sangatlah familiar.
Rasa penasaran semakin riuh di dada. Tanganku sampai gemetar membukanya. Satu, dua ... Astaghfirullah. Ini bukan kejutan anniversary dari Fathan. Mengapa harus gemetar seakan abege baru jatuh cinta.
Ah, iya kenapa lama sekali suamiku datang? Apa ia tengah bersenang-senang dengan si Nola lampir. Ah, apa peduliku. Toh sebentar lagi belangnya akan kubuka. Kedok sok alim milik Fatahan akan terbongkar.
Entahlah. Rasanya sulit dipercaya mengingat selama ini Fathan selalu mencerminkan suami yang baik di depanku.
Aku sudah tidak peduli padanya. Saat ini aku hanya ingin mencari kebenaran tentang Irma. Juga mencari tahu kesepakatan apa antara Bambang dan Fathan yang melibatkan diriku.
Jika pernikahan ini berlandaskan kompromi. Tidak akan ada kata maaf untuk seorang Fathan.
Tentu saja hasil rekaman Neha membuat aku bertambah jijik melihat suami sendiri. Fix. Fathan selingkuh. Dia tidak sereligius yang aku kira.
Mengingat itu semua mataku memanas. Ada larva menggembung hendak dikeluarkan. Membuang pikiran kecewa aku meraih kotak dalam bingkisan pemberian Farhan. Ya, katanya namanya Farhan. Hmm. Kok jadi mirip nama Fathan?
Fathan dan Farhan. Kebetulan yang lagi-lagi kebetulan. Bukankah di atas dunia ini tidak ada yang kebetulan.
Apa ini?
Aku membuka kotak biru berukuran persegi. Ya, kotak itu muncul setelah bingkisan kukoyak lebar.
Aku sungguh terpesona. Cantik. Pilihan warna yang manis.
Pelan. Kubuka perlahan. Mataku membola terkejut.
Kalung liontin dengan sinar kristal biru!
Mimpi apa aku semalam?
Kututup mulut dengan telapak tangan kanan. De javu mendadak mendera.
Tangan kananku menarik hati-hati kalung berliontin love di depanku. Sementara mata ini tak berhenti takjub. Kalung yang kuimpi-impikan sejak dulu.
Sinar biru kristal menambah cantik liontinnya. Ini bukan hadiah untuk Riez. Lelaki itu berbohong. Lebih tepatnya ini hadiah untukku. Dan ... Lagi-lagi dia mengetahui semua tentang aku.
Kalung liontin merupakan keinginanku dulu kala. Saat aku dan Bambang masih jalan bersama. Impian sederhana dari wanita yatim piatu.
Kekasih hati menyematkan liontin cantik di lehernya. Lalu mengucapkan i love you. Itulah impian sederhanaku. Naif sekali, bukan?
Hayalan kecil namun tak pernah jadi nyata.
"Mas, hari ini aku ulang tahun katanya kamu mau ngasih surprise. Ngak usah kasih kado mewah. Kado terindah bagiku itu kamu ngelamar aku." Aku tersenyum manja pada Bambang di cafe klasik berukir bambu saksi terakhir cinta kami.
"Kamu mau apa, Sayang. Kalo ngelamar ya jelas pasti akan kulamar. Wanita tercantik sejagad kantor. Siapa sih yang tidak menginginkan kamu jadi istri. Papa saja sayang banget sama kamu. Aku beruntung bisa menyingkirkan semua kandidat yang menyukaimu. Semua yang kumiliki pasti untuk kamu. Sekarang katakan, kamu mau kado apa dari calon suamimu ini."
"Kalung liontin biru bersinar kristal."
"Yang kamu pegang tadi pas di toko, Sayang?"
"Hum." Aku mengangguk manja.
Bambang tersenyum. Melingkar tangannya di pinggangku. Mengelus pucuk kepala. Kemudian mengangguk.
"Kutelpon pemilik toko itu sekarang. Khusus untukmu, Naysilaku," ucap Bambang sambil mengecup kecil keningku--lagi.
Setelah itu. Kami kembali ke toko itu. Bambang menyuruhku ke toilet sebentar. Katanya ada temannya yang tidak boleh melihatku, penting bersua.
Sedikit heran aku menuruti kemauan Bambang. Sekalian aku memang sesak pipis juga.
Entah mengapa sekembalinya aku dari toilet, wajah Bambang berubah masam.
"Kita pulang dulu. Besok aku belikan kalungnya," ucapnya lemah.
Meski tidak mengerti apa yang terjadi, aku menurut. Kami kembali ke kantor.
"Emang kenapa dengan kalungnya?"
"Kata pemilik toko tunggu dipesan dulu. Karena yang kamu lihat sudah diambil orang."
"Oh." Aku mengangguk saja.
Akhirnya Bambang tidak jadi membelikan kalung itu.
Di jam istirahat kantor. Akhirnya mata kepala dan seluruh ornamen tubuh ini membeku di tempat.
Bambang memeluk pinggang Karin. Dan di leher perempuan yang dulu kuakui sebagai sahabat itu bertengger kalung liontin biru kristal persis dengan kalung yang sangat kuinginkan.
Sahabat yang akhirnya membuat kandas semuanya. Bambang mengelak. Bersikeras apa yang kulihat tidak seperti kupikirkan. Tapi, bukti di depan mata dan mata ini belum tua untuk dikatakan rabun.
Kini, di depan mata ini, aku kembali dipertemukan dengan kalung cantik itu. Dalam genggaman tangan, aku menghela napas berat.
Siapa lelaki misterius itu?
Tanpa sadar aku memakaikan kalung cantik itu ke leher. Senyumku mengembang. Satu kata.
Elegent.
Pilihan yang manis sekali di leher kuning langsat milikku.
Meraba keindahan antara sendi ukiran love. Tanpa banyak mode. Senyumku dibuat terkejut dengan kalung itu tiba-tiba terbuka. Lebih tepatnya terbelah dua tapi tetap menyatu. Seperti adegan di film-film yang acap kutonton.
Bandulnya terbuka.
Terpaku lama, aku mencerna apa maksud isi bandul itu. Gambar seorang bayi dengan background hitam putih. Foto jadul. Lalu di sampingnya sebuah tulisan kecil sekali.
Kau akan tau siapa aku.
Hanya itu.
Kutatap lekat foto bayi itu. Dadaku berdebar kencang.
Astaghfirullah.
Riez?
Apa ini Riez?
Tidak mungkin. Usia Riez belum empat puluh hari. Mana mungkin fotonya hitam putih mode jadul begini.
Kusandingkan gambar itu ke samping wajah Riez. Fix. Mirip. Sembilan puluh sembilan persen mirip sekali. Apa lelaki misterius itu ayah dari Riez?
Apa dia menyuruhku memberikan Riez kalung ini?
Tapi mengapa mode kalung wanita?
Pertama. Jika dia adalah ayah Riez. Aku menyesal mengusirnya, seharusnya kugeprek dulu pakai batu gilingan cabe. Mencetak anak seenak perutnya. Giliran perempuan bunting melahirkan di tempat paraji.
Murah meriah upah parajinya eh setelah lahir anak malah dijual.
Benar-benar kurang ajar!
Kedua. Jika dia bukan Ayah Riez. Lalu siapa foto jadul di dalam kalung yang kupakai? Apa hubungannya lelaki itu denganku?
Ini misterius sekali.
Fathan?
Farhan?
Bambang?
Irma?
Nola?
Lima nama penuh teka-teki yang harus sesegera mungkin kupecahkan. Rasanya kepalaku pun hendak pecah.
ddrrttt.
Getar vibrasi ponsel mengganggu analisaku tentang sosok dalam bandul kalung itu. Nama Tante Sena memenuhi layar.
"Halo, Tante."
"Halo, N-Nak. Ta-tadi Irma telpon ka-katanya dia kabur ke ja-jawa. A-apa benar. Apa yang terjadi, Nay?"
Apa?
Jadi Irma sudah menelpon orangtuanya untuk menyatakan kabur.
"Irma kabur ke Jawa? Bisa Tante kirim nomor Irma yang baru telponan sama Tante tadi?" Aku yakin nomor Irma baru. Mana mungkin dia berani menelpon dengan nomor pribadi. Aku harus minta tolong siapa melacak nomor yang Irma gunakan.
"Oke Nay. Tante kirim sekarang. Tolong jelasin ke Tante, Nak. Ada apa dengan anak Tante. Dia putri Tante satu-satunya. Cita-citanya masih sangat banyak. Berkat kamu dia bisa membantu keluarga. Tapi sekarang Tante bingung apa yang terjadi dengan Irma."
"Oke Tante. Jangan matikan ponselnya, Nay akan telpon Irma. Tante tenang ya."
"Assalamualaikum, Nay. Kamu di mana, Sayang. Suami tercinta datang!" Belum sempat otakku mencerna kalimat Tante Sena. Fathan ikut nongol di depan pintu.
Tuhan ... tolong aku.