Darimana dia tau tentang Riez?
"Kamu aneh, darimana kamu tau saya mengasuh seorang bayi. Kita tidak saling mengenal sebelumnya. Dan ... dalam rangka apa kamu memberi bayi saya hadiah. Kamu bukan siapa-siapa. Jangan-jangan kamu sengaja ya menguntit saya. Jangan kamu kira saya takut. Tidak mungkin kita bersua hanya sekedar kebetulan, apa maumu sekarang."
Sikap bar-bar yang selama ini kusimpan meledak langsung. Aku memberi tatapan tajam agar lelaki di depanku ini ciut. Jangankan ciut atau pias. Dia malah tersenyum. Aneh.
"Anggap saja aku penggemar rahasiamu. Terimalah ini. Riez akan senang. Setelah kamu terima ini, kita tidak akan pernah bersua secara kebetulan lagi. Aku akan pergi dari kota ini. Satu yang harus kamu simpan, nomor yang kuberikan tolong jangan sampai ada yang mengetahui. Siapapun itu termasuk suami kamu. Pliss percaya padaku, aku bukan orang jahat. Ini demi kebaikanmu."
Aku mengerjit. Dia tidak sedang berbohong, kan? Baiklah. Kalau memang itu yang dia mau. Aku mengambil bingkisan yang ia berikan. Laki-laki yang lebih pantas jadi aktor Korea itu beranjak. Masih dengan senyum tipisnya ia mengangguk sopan lalu beranjak pergi.
Aku menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Terdiam cukup lama. Mengembalikan flashback kalimat terakhir yang ia ucapkan.
"Terimakasih sudah menerima hadiah untuk Riez. Semoga kelak Riez menjadi anak Sholeh di tangan ibu yang baik sepertimu. Semoga kamu selalu dilindungi dari segala marabahaya." Setelah mengatakan itu, dia berlalu tanpa menyebut alamat, siapa dia darimana asalnya. Dan alasan lain yang kurasa memang tidak penting.
Bukankah dia berjanji tidak akan bersua lagi meski dalam rangka kebetulan. Aku risih diuntit lelaki tak dikenal.
Penasaran dengan apa yang diberikannya dalam kotak bersampul kertas mirip koran tapi keren warnanya. Aduh, kenapa juga aku jadi menilai.
Tittt.
Ponselku memamerkan vibrasinya. Melupakan sejenak tentang lelaki misterius itu.
"Hallo."
"Mbak eh, Bu eh Mbak. Ini saya Malik."
"Ya, Malik. Ada kabar terbaru."
"Siap delapan empat, Mbak. Kita majukan waktu bertemu. Pak Fathan meminta saya ke rumah setelah isya. Apakah kita bisa bertemu sore ini. Neha sudah saya hubungi. Dua orang yang mengikuti Irma juga sudah siap dengan bukti-bukti."
"Baiklah. Aku bawa teman, ya."
"Kalau bisa jangan, Mbak."
"Maksud kamu?"
"Mbak tau hal paling berbahaya di atas dunia, itulah teman."
"Gebi itu sahabatku sedari kecil. Dia tidak akan mengkhianati kepercayaanku."
"Percaya sama saya, Mbak. Sekali ini saja, pliss ngak usah bawa teman. Saya yakin Mbak bisa menyelesaikan ini sendiri."
"Baiklah. Sampai jumpa di cafe Galaxy."
Aku segera menyelesaikan urusan di rumah.
Baby Riez kutinggal sama Tante Yona. Ternyata Mas Fathan benar. Tante Yona sangat suka dengan Riez. Mungkin karena wanita berusia paruh baya itu tidak punya kegiatan jadilah ia begitu menyukai pekerjaan mengasuh Riez.
Rencana Riez mau turut kubawa serta. Kasihan baru berusia beberapa hari. Akhirnya urung kubawa. Mas Fathan belum pulang. Memudahkan aku keluar tanpa persetujuannya.
(Mas aku pergi ke Mall sebentar ada keperluan Riez yang mau dibeli. Riez aku tinggal sama Tante Yona) langsung centang biru.
(Oke, Sayang. Hati-hati di jalan)
Hmmm.
*
"Bagaimana, Malik?"
Neha dan dua orang lelaki duduk di kursi. Di sebelahnya sengaja kosong--untukku. Malik berdiri mempersilakan aku duduk bergabung bersama mereka.
Aku melirik arloji di tangan. Baiklah waktu yang sangat cukup.
"Ini namanya Boni dan ini namanya Robi. Mereka pengangguran yang butuh pekerjaan. In sya Allah pekerjaannya tidak diragukan." Malik membuka kalimat dengan mengenalkan teman kerjasamanya.
"Lanjutkan!"
"Irma kabur jam sebelas malam di jemput suami ibu," ucap lelaki bernama Boni.
Deg.
Jantungku serasa ada yang menikam. Berdesir tak karuan. Semoga saja tidak copot dari gantungannya.
"Apa? Suami saya menjemput Irma? Kalian tidak salah lihat." Ingatanku langsung tertuju pada pesan Irma tempo hari di ponselnya.
Jelas antara Mas Fathan dan Irma saling terhubung. Apa mereka bermain di belakangku?
"Kalian mengikuti mereka?"
"Ya, tentu saja. Kami tidak mungkin membiarkan bukti kehilangan jejak."
"Ke mana mereka pergi?" cecarku tak sabaran.
"Irma di antar Pak Fathan ke sebuah hotel, tapi Pak Fathan tidak menginap di sana. Hanya berkisar setengah jam Pak Fathan sudah keluar dari hotel. Di sana tidak hanya ada Pak Fathan tapi juga Bu Nola."
Astaghfirullah. Apa- apaan ini. Apa benar lelaki yang sangat kuhormati itu telah berkhianat? Ya Allah kok rasanya sakit sekali.
Dan ... itu sama orang yang kuasuh, kuayomi bahkan kuberi pekerjaan sangat layak ukuran lulusan SMA dan tidak memiliki skill apapun.
Tapi sebentar! Kok bisa ada Nola di sana. Aku pusing, bingung. Ada apa antara Mas Fathan, Nola dan Irma.
Sebenarnya sama siapa Mas Fathan selingkuh?
Nola atau Irma?
Jika Mas Fathan selingkuh dengan Irma lalu apa guna kehadiran Nola di sana.
Jika Mas Fathan selingkuh dengan Nola. Mengapa mereka berdua menyembunyikan Irma.
Ada apa semua ini? Aku bingung. Atau sebenarnya dia tidak selingkuh. Tapi, ada sesuatu antara dua wanita itu. Sejak menikah, Mas Fathan bulan lelaki tertutup. Mengapa sekarang jadi banyak teka-teki.
Apa Mas Fathan tidak bahagia bicara denganku. Tidak lagi menjadikan aku te.oat curhatnya.
Apa yang salah, Mas?
Bukankah Mas Fathan sendiri yang mengatakan begitu bahagia sejak kehadiran Riez.
"Tau gak, Dek. Sejak kehadiran Riez, Mas merasa punya kewajiban pengen cepat-cepat pulang. Kalau istri orang tambah jelek pas punya baby kamu sebaliknya makin cantik. Jadi dua alasan Mas ngak konsen kalau jam makan siang berlalu. Ngak sabar nunggu sorean trus ketemu kalian."
"Tapi keseringan lembur juga."
"Ya begitulah, Dek. Andai bisa memilih Mas pengen punya usaha sendiri. Jadi bos dengan perusahaan sendiri jadi gak perlu rapat repot melulu. Apalagi ini kan ada tender baru. Peralihan perusahaan kemarin sangat menyita waktu. Mas janji akan nabung sebanyak-banyaknya. Kita harus punya perusahaan sendiri. Apapun konsep perusahaan itu nantinya."
"Makasih, Mas. Udah Nerima segala kelebihan dan kekurangan aku. Aku belum bisa ngasih anak buat kamu."
"Apapun yang terjadi Mas tidak bisa berhenti mencintai kamu, Nay. Sejak kamu masih pacaran sama Bambang. Mas rela menunggu kalian pisah, karena Mas tau, Bambang bukan lelaki yang baik untuk kamu. Mas sangat mencintai kamu, Sayang."
Ingatanku melayang pada pernyataan Mas Fathan tempo hari setelah berbuka, kemudian ia pamit untuk menyiapkan agenda rapat pasca lebaran.
Apakah pernyataan cinta, bermanis-mania mulut dari seorang suami seperti Mas Fathan adalah kebohongan. Sekadar menutupi aib yang tengah ia lakukan.
Biasanya kan begitu. Kalau laki-laki terlalu romantis kata-katanya pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Benarkah?
Aku harus menelpon Tante Sena. Ini tidak bisa dibiarkan. Irma hamil di luar nikah. Aku sama sekali tidak mengetahui dalangnya. Apakah suamiku atau orang lain.
"Sebentar saya mau nelpon mamanya Irma. Kalian tau alamat hotelnya, kan?"
"Jangan gegabah, Mbak. Ini masih laporan dari Boni dan Rubi. Kita belum mendengar laporan dari Neha."
Oh, iya. Aku hampir saja lupa. Sengaja melibatkan Neha dalam kasus ini. Perempuan dengan stempel pelakor itu tentu punya seribu satu cara menyelidiki laki-laki dengan caranya.
"Oke, sori ya. Lanjut, Neha. Apa yang kamu tau mengenai suamiku."
"Saya tidak banyak tau mengenai suami ibu. Beliau orang yang sangat dingin. Yang saya tau, Khaila berhenti besoknya si Nola alias nenek lampir binti Kunti itu langsung hadir alias masuk kerja."
Ha. Jadi sehari setelah Khaila berhenti si Nola masuk kerja. Ini menambah teka teki.
"Ini juga hal aneh. Mas Fathan ngak biasanya menyembunyikan hal-hal sepele di dalam pekerjaannya padaku. Apa kamu tidak melihat gelagat aneh dari si Nola. Kayak kemarin dia marah-marah sama Irma memang murni karena pekerjaan atau ada hal lain."
"Nah ini dia, Mbak. Saya sengaja meninggalkan hape yang dalam mode on si sofa kerja Pak Fathan saat mengambil kertas berkas yang sudah ditandatangani. Tujuannya untuk merekam saat si Nola masuk ruang Pak Fathan. Hape saya taruh di bawah kolong meja."
"Bagaimana cara kamu melakukanya. Bisa-bisa Pak Fathan melihat."
"Saya pura-pura terjatuh. Terus hape saya sepak masuk kolong meja. Pak Fathan ngak curiga sama sekali."
Hmm. Akal yang cukup cerdas. Pantas dia selalu dapat menaklukkan suami orang. Banyak akal. Ternyata. Tapi demi misi penasaran ini aku sengaja mengajaknya kerjasama. Dalam hal ini aku juga mode waspada.
"Jadi ceritanya si Nola masuk setengah jam setelah saya datang lagi pura-pura mau ambil hape. Mbak bisa dengar sendiri suara rekaman dari ponsel saya."
Neha menghidupkan ponselnya. Langsung membuka file rekaman. Pertama suara berisik, pintu ditutup dan sejenak tidak terdengar apa-apa.
Kok tidak ada pembicaraan, padahal angka waktu rekaman sudah berapa menit. Ah, aku benci dengan pikiranku sendiri. Apa suami yang kuanggap sholeh itu penjahat wanita.
Apa yang dilakukan Nola dalam ruangannya. Mengapa hening. Tidak berisik.
Belum habis daya pikirku memikirkan Irma yang dibawanya ke hotel. Kini aku harus dihadapkan dengan hasil rekaman Neha.
"Mas ... Kapan kamu ceraikan wanita mandul itu?"
Apa? Mataku membola demi mendengar satu kalimat dari rekaman itu. Kirain ponsel Neha mendekatkan ke wajah. Mendengar dengan jelas isi rekaman itu
"Kamu kan tau, Sayang. Aku tidak akan menceraikan, Naysila."
Degg.
Apa katanya. "Sayang"
Terlalu banyak yang harus aku selesaikan. Oke. Fathan ... tunggu Naysila bertindak.