Malik ini sejak kerja sangat baik padaku. Jadi aku tidak segan meminta tolong padanya. Agar Irma juga tidak bisa kabur di jalan. Sekalian meminta penjelasan pada Malik tentang Irma selama aku tidak lagi bekerja. Dia kepala OG dan OB di perusahaan. Pasti mengetahui semuanya.
Aku menutup kembali ponsel. Menunggu kedatangan Malik.
Tidak menunggu lama. Mobil yang biasa mangkal di kantor datang menjemput. Malik yang membawa. Irma kupaksa masuk. Ia harus kubawa ke rumah malam ini juga.
"Mas Fathan di mana, Lik?"
"Tadi katanya jumpa Pak direktur, Bu. Sekalian ada acara di rumah pak Hartono."
"Oh, baguslah. Dia tau kamu saya suruh."
"Ngak, saya dari dulu kan orang kepercayaan, Ibu. Walaupun ibu ngak kerja lagi saya tetap setia. Hehe" Malik tertawa tipis.
Ya. Istrinya acap kubantu apa saja. Begitu juga keluarganya. Meskipun seorang office boy, Malik sudah seperti keluarga.
"Kamu ini, sehari manggil saya, Mbak sehari besok manggi saya ibu. Tipe ngak konsisten."
"Eh, iya Mbak. Soalnya kalau di luar tugas lebih enak manggil ibu. Apalagi tugas di rumah. Entar saya dijewer Pak Fathan kan mbak lucu, Mbak eh, Bu!"
"Kita udah kenal berapa taon sih, Malik. Kamu tetap mbak berubah."
"Iya, masa saya harus jadi RX Robo apalagi satria baja hitam. Takutnya Zahra ngak kenal sama saya, Mbak."
"Nah gitu. Kalo Mbak ya Mbak aja manggilnya, jangan ibu terus sebentar lagi jadi Mbak."
"Mulai hari ini dibiasakan deh. Abis udah lama nggak ketemu sejak Mbak resign. Jadi kelupaan sama panggilan."
"Lah, saya sering main ke rumah kamu kalau ada pengajian. Ketemuan sama Zahra. Kami satu tempat arisan. Arisan yoga."
"Iya, Zahra sering cerita sih, saya kerja mana ketemu kita. Ya sudah, Mbak. Mobil siap bergerak!" ucapnya menarik kopling.
Mobil pun meluncur. Sesekali aku melirik Irma yang hanya menunduk ketakutan. Diam tanpa ada sepatah kata yang keluar.
Entah apa yang tengah ia pikirkan. Benarkah Irma diperkosa? siapa yang tega memperkosanya tanpa alasan.
*
"Kamu ngerasa aneh ngak sih, Geb?"
"Aneh apanya?"
"Gelagat Mas Fathan, maksud aku gini …."
Akupun menceritakan Irma yang sakit, muntah-muntah dan hal mencurigakan lainnya.
Sampai di rumahku, Gebi memang sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Sedangkan Irma kusuruh tunggu bersama Malik, dijaga di ruang tengah. Tempat aku dan keluarga menonton. Aku sudah menghubungi Tante Sena. Ibunya Irma. Tentu saja tidak menceritakan hal sebenarnya.
Sekarang aku dan Gebi sedang berdiskusi. Hanya dia satu-satunya teman yang bisa kuajak kompromi mencari solusi. Sudah kutelpon juga istri Malik agar tidak resah suaminya belum pulang.
"Apa aku harus mencurigai Irma?"
"Kamu ngerasa Irma hamil?"
"Bukan ngerasa, emang dia hamil, Geb."
"Kok bisa tau?"
"Aku yang mengantar langsung ke rumah sakit. Tapi dokter Meri bilang dia punya trauma. Apa Irma korban pemerkosaan? Makanya dia kubawa kesini."
"Apa Irma tau kamu sudah tau dia hamil."
" Itu urusan belakangan. Yang penting sekarang dia hamil. Titik."
"Kamu curiga Mas Fathan biangnya?"
"Entahlah aku bingung, sepertinya Irma diperkosa, apa mungkin Mas Fathan yang menurutku baik itu melakukannya, rasanya ngak mungkin. Selama ini aku kenal Mas fathan, tidak mungkin dia melakukannya. Kau tau suamiku itu kan, Geb? aku mau dilamarnya karena aku melihat dia religius, tiitr katanya sopan," ucapku merasa ingin Gebi berkomentar lebih banyak.
"Atau aku yang selama ini kurang mengenalinya."
"Kamu nikah sama Mas Fathan karena patah hati sama si Bambang, Nai. Bukan berawal dari cinta. Makanya kamu payah punya anak. Bisa jadi belum move on dari penjahat wanita itu."
"Sial banget kamu, Geb. Aku bahkan tidak pernah ingat sama si Bambang brengsek itu."
Gebi sengaja kuundang spesial memecahkan teka teki ini. Tapi dia malah mengingatkan masa lalu. Aduh. Pengen jitak.
"Iya sih ini misteri banget, aku bingung."
"Tapi Nola nenek lampir yang disebut Neha kenapa bisa marah-marah sama Irma. Apa ada hubungan keduanya, trus Nola membentak Irma di depan Mas Fathan pula, Mas Fathan diam saja. Kayak si Nola punya wewenang di sana."
"Wah kayak dia aja yang punya perusahaan juga. Suamimu bilang apa?"
"Dia diam aja sih, tapi aku penasaran siapa Nola ini. Ngak mungkin ada tali saudara sama si Bambang. Soalnya dia diangkat langsung sama Mas Fathan sebagai sekretaris. Belum hilang bingung aku dengan kejadian Mas Fathan, Irma dan Nola, ada seorang laki-laki yang akhir-akhir ini sering kali ketemu secara ngak sengaja kayak kebetulan gitu.
Kemarin ketemu di swalayan biru, dia ngasih kartu nama, trus kemarin aku imunisasi Riez, ketemu lagi di jalan, dia suruh naik ke mobilnya biar diantar karena motorku ketinggalan di kantor Mas Fathan. Akhirnya aku ke posyandu naik ojek online. Ngeri juga ada yang neror melulu."
"Sabar. Tunggu kita berpikir sama-sama. Apa ini ada saling keterkaitan? Aku berasa jadi detektif Conan. Coba aja dia si Conan di sini."
"Sial kamu, Geb. Aku serius nih!" Kawan satu ini benar-benar bikin gemes.
Gebi tampak berpikir kemudian. Walau suka asal. Di balik sikap santainya dia selalu serius memikirkan sesuatu. Apalagi tentang urusanku.
Aku sendiri bingung dengan kejadian ini, Masalah bayi Riez yang memang sangat kuiinginkan. Disetujui langsung oleh Mas Fathan tanpa alasan apapun, seperti ikut bahagia, bahkan Mas Fathan tidak butuh penjelasan mengenai identitas legalisasi Riez.
Jadi urusan Riez, tidak ada masalah dengannya. Selain itu, sudah sejak lama kami mencari anak untuk diadopsi, selesai ya urusan Riez. Tapi, mengapa akhir –akhir ini aku semacam, diteror kejadian-kejadian seakan saling terkait.
"Sekarang Irma itu gimana?"
"Dia mau resign. Surat resignnya sudah dikasih ke Mas Fathan. Mungkin besok sore akan pulang kampung."
"Aku ngak yakin dia bakal pulang kampung. Kalau dia hamil pasti dia mencari tempat aman. Mana mungkin di kampung, Nai. Yang ada dapat malu."
"Kamu benar. Kira-kira dia ke mana ya nantinya, biar kita bisa menyelidiki. Aku sudah menelpon mama Irma. Tapi, belum memberi tahu yang sebenarnya. Aku takut mamanya shock."
"Malik. Kamu bisa selidiki dari Malik kepala OB di perusahaan itu. Dia sedang di ruang tengah, kan. Kamu telpon Neha, suruh kemari, dia juga bisa kamu ajak kompromi."
"Benar juga."
"Untuk saat ini pulangkan saja Irma. Aku yakin dia pasti akan kabur. Kita akan mencari tau dia bertemu siapa, dan ada apa dengan suamimu. Kalau dia kita teror sekarang, alamat tidak dapat mencari tau kejadian apa sebenarnya sedang terjadi. Jangan lupa! Kamu pura-pura ngak tau dengan kejadian di kantor. Tentang Nola maksud aku. Jangan membicarakan apapun sama Mas Fathan. Sebelum Malik dan Neha kamu genggam. Aku bakal bantu kamu. Tenang aja, Nai."
Wah keren Gebi. Tidak salah aku memilihnya menjadi sahabat. Eksekusi penyelidikan dimulai.
*
Setelah bicara dengan Gebi. Aku merasa lebih tenang. Walau masih sedikit bingung. Ada apa dengan semua ini.
Beberapa bulan lalu, aku dan Mas Fathan sepakat mencari bayi adopsi agar aku tidak kesepian di rumah. Mas Fathan sangat menyayangiku. Tidak mungkin rasanya dia bermain serong. Apalagi dengan Irma. Itu mustahil.
Tapi, mengapa mendadak Irma dimarah-marahi. Apa karena dia hamil, teledor, Irma punya pacar? Kemudian ketauan hamil di perusahaan. Sebelum dipecat dia mengundurkan diri, sepertinya alasan yang tidak masuk akal.
Perusahaan itu profesional. Hamil atau tidak hamil sudah ada aturannya untuk karyawan. Tidak mungkin Irma tidak mengetahui itu.
Aku hanya takut Irma di bawah tekanan seseorang.
Tapi mengapa wajah Nola si sekretaris baru itu tidak menampakkan wujud bersahabat padaku. Mas Fathan orang yang terbuka dalam hal pekerjaan. Dia akan bercerita apapun itu.
Tapi kali ini, mengapa pergantian sekretaris Mas Fathan tidak bercerita. Cukup aneh.
Baiklah. Jiwa detektif Naysila harus diuji coba. Aku menyuruh Malik pulang malam ini juga. Besok aku, Malik dan Neha akan bertemu setelah sholat isya.
Aku juga menyuruh Malik mengantarkan Irma pulang. Kemudian mengatakan berbagai kalimat motivasi pada Irma. Termasuk kata-kata semua akan baik-baik saja.
Aku berjanji akan menolongnya. Dua lelaki bayaran Gebi siap menyatroni kos-kosan Irma. Karena malam nanti kami yakin dia akan kabur.
**
Sore ini aku pergi ke supermarket terdekat. Membeli beberapa kebutuhan Riez. Sebelum nanti malam pergi bersua Malik dan Neha.
Riez bayi gemoy yan baik hati. Riez jarang rewel. Itu membuatku semangat menjalankan peran baru sebagai ibu. Orangtua Mas Fathan sangat setuju dengan rencana adopsi ini.
Mereka bahkan mengirimkan beberapa hadiah untuk Riez. Mertuaku itu memang sangat baik. Mereka tinggal di sudut kota Pekanbaru. Jadi kangen ke rumah mertua.
"Hai, sendirian?" sapa seseorang mengejutkanku, tentu sangat familiar. Aku dengan dia kerap kebetulan bertemu. Atau bukan kebetulan tapi memang dia sengaja menguntitku. Ngeri juga kalo iya.
"Namaku Farhan. Aku kebetulan bertugas di sini."
"Maaf, saya rasa aneh berkenalan dengan perempuan yang sudah bersuami seperti saya."
"Oh iya, maaf. Saya hanya ingin tau nama anda, Bu." Panggilan Bu yang dilontarkannya sedikit menghilangkan rasa takut.
"Namaku Naysila, istri dari seorang laki-laki bernama Muhammad Fathan," jawabku tidak menyambut uluran tangannya. Berharap dia berhenti menguntitku. Atau bersua secara tak sengaja. Seperti sudah kenal lama.
"Aku tau kau sedang mengasuh seorang bayi. Bolehkah aku memberikan bayimu hadiah."
Mulutku menganga. Kepalaku mendadak kram. Cowok aneh!
Darimana dia tau tentang Riez?