Chereads / Misteri Pembunuhan di Rumah Pijat / Chapter 4 - Siapa Dia?

Chapter 4 - Siapa Dia?

Aku masih terpana. Berusaha mengingat siapa lelaki di depanku ini. Ah, tidak, hanya perasaanku saja. Mana mungkin aku merasa laki-laki itu familiar. Jumpa juga baru ini.

"Maaf," ucapnya sopan.

"Hei, Nay!" Gebi menepuk pundakku.

"Dunia itu emang terbalik, harusnya aku yang jomblo melongo liat tu Lee Min Ho. Eh malah kamu yang kayak kesetrum listrik. Kenal?"

"Ngak, ah. Yuk." Aku menarik Gebi menjauh. Sambil mengingat-ingat rasa-rasanya mirip siapa lelaki itu. Kenapa juga dia senyum-senyum.

"Ember mandi, selimut tebal, trus pempers NB-S. Yang lain kayaknya udah, tiga ini list yang belum kita beli." Gebi menunjukkan kertas. Kertas yang memang kami sengaja menuliskan semua kebutuhan.

"Kamu puasa, Nay?" tanya Gebi. "Soalnya aku ngak. Makan di sana dulu, yuk! Buka tu." Gebi menunjuk salah satu restoran cepat saji. Hari ini aku memang tidak berpuasa.

Rasa capek keliling-keliling mendera. Ide Gebi Boleh juga. Kami menjambangi resto cepat saji. Gebi memesan aku mencari tempat duduk. Sembari menunggu Gebi antri. Aku beranjak mencuci tangan di westafel yang telah tersedia.

"Maaf," ucapku. Lagi-lagi aku hampir tabrakan dengan seorang pria.

Sebentar! Lelaki itu lagi. Makhluk yang kutabrak pakai trolli. Apa dia non-muslim. Seenaknya tidak berpuasa. Padahal wajahnya menggambarkan sholeh. Aku salah. Bukankah fisik tidak menjamin penilaian terhadap satu individu sholeh atau tidak sholeh.

"Simpan kartu nama saya, suatu hari jika kamu butuh bantuan telpon ke nomor itu. Jangan beritahu siapapun!" Tanpa salam. Tanpa mengucap kalimat muqaddimah. Setidaknya perkenalan. Pria bertubuh tinggi tegap, rambut cepak, Alis saling bertaut, hidung mancung, bibir merah seperti para aktor Korea. Dan ....

'Berhenti menilai fisik yang bukan mahrom kamu, Nay.'

Aku mengumpat diri sendiri. Bisa-bisanya terpesona dengan lelaki aneh itu. Pikiranku melayang pada Mas Fathan. Apa suamiku itu sudah pulang dari kantor?

Hampir enam puluh menit berlalu dengan aktifitas belanja kebutuhan Riez. Aku memasukkan kartu nama lelaki misterius tadi. Bisa saja aku membuangnya. Entah mengapa naluriku mengatakan simpan dengan aman.

"Lama banget kamu nyuci tangan doank," protes Gebi.

"Antri," jawabku sekenanya. Gebi tidak pernah mencuci tangan di westafel. Kebiasaan dari zaman baholak. Ia mencuci tangannya dengan air minum di dalam plastik saja. Aneh jomblo satu ini.

"Eh, Nay. Aku bahagia banget lo, pas tau Mak Jum nemu baby Riez. Pas tetangga pada heboh, aku langsung ngacir ke rumah Mak Jum. Langsung teringat kamu yang niat adopsi anak. Rezeki banget memang.

"Hmm." Aku hanya menyahut dehem.

"Geb, aku bayar utang sama kamu nyicil ya."

"Ah, aman, Nay. Jangan dipikirin. Aku sendiri kadang suka bingung. Kok Allah kasih aku rezeki ngalir terus. Buat usaha loundry eh laris manis. Kerja gajinya sangat lumayan. Jualan online shop. Ampuun, sampai Rita adikku kewalahan antarin barang ke kantor ekspedisi."

"Alhamdulillah selagi sehat syukuri aja."

"Tapi, Allah seolah sengaja ngak ngasih rezeki jodoh." Suara Gebi tiba-tiba berubah sedih.

Aku jadi tidak enak hati. Padahal fisik Gebi lumayan manis. Kulitnya tidak seputih aku. Tapi dia ngak hitam kok. Bahkan lebih cerah dari sawo matang. Wajahnya ya, bisa dibilang mirip Revalina. Manis. Mungkin hilal jodohnya aja yang belum kelihatan.

"Ada hikmah di balik semua, Geb. Yakin deh!" Aku mengusap bahunya. Menenangkan.

"Aku rencana resign dari kerjaan. Pengen nambah cabang usaha. Pengennya sih buka butik, sama swalayan. Biar tinggal jadi mandor. Mandorin karyawan. Trus punya banyak waktu main, shopping ke salon bareng kamu. Sekalian cari jodoh."

Aku tergelak mendengar perencanaan gadis pemilik bulu mata sayu di depanku.

"Udah kayaknya belanjaan kita. Takut Riez bangun terus nangis."

"Iya, yuk. Aneh memang ya. Kok bisa Riez langsung lengket gitu sama kamu. Coba ngadopsi di rumah sakit. Banyak banget tetek bengeknya. Apalagi sampai berurusan masalah hukum. Alhamdulillah Riez laki-laki. Ngak butuh wali pas nikah. Terus administrasi langsung bisa diurus gratis selagi usianya belum enam bulan. Mak Jum langsung nyuruh anaknya ambil surat lahir dari Bidan dan dibuat atas nama kamu."

Iya sih. Alhamdulillah. Segala administrasi kenegaraan Riez. Sudah kelar. Tinggal ambil formulir di kelurahan besok. Terus ke catatan sipil. Jadi deh. Riez anak aku dan Mas Fathan.

Aku dan Gebi pulang ke rumah. Sampai di rumah Riez masih tidur. Gebi pulang. Tante Yona izin pulang juga. Tante Mas Fathan itu memang baik padaku dan Mas Fathan.

"Terimakasih, Tante," ucapku menggiring langkahnya keluar pintu. Membawakan sedikit oleh-oleh dari swalayan tadi.

*

Malam datang bertamu, meninggalkan siang menuju peraduan. Aku kembali sendirian. Tidak sendiri. Sejak ada Riez. Serasa punya teman. Bayi tampan ini tidak rewel. Sungguh sangat menggemaskan.

"Ba!"

Riez menggeliat. Pipinya bergerak kecil.

Aku sekarang lagi bermain-main dengan Riez sambil menunggu Mas Fathan yang tidak pulang-pulang padahal dia janji cuma sebentar.

Akhir-akhir ini firasatku memang tidak enak. Sikap Mas Fathan masih hangat seperti biasa. Tapi, rasanya sikapnya itu sepeti dibuat-buat. Mungkin bawaan karena menstruasi, aku jadi lebih sensitif. Untung ada Riez. Jadi bisa bermain-main dengannya, tidak berpikir yang berat-berat.

Aku jadi teringat Irma. Kuambil ponsel yang tergeletak di nakas.

Menekan nomor Irma. Panggilan tersambung.

"Assalamualaikum, Kak Nay." Irma memang biasa menyebutku Kak Nay. Sedangkan memanggil Mas Fathan dengan sebutan Bapak. Pertanda menghargai. Begitu pikirku.

"Kamu sehat, Ir?" tanyaku langsung.

"Alhamdulillah sehat, Kak."

"Tadi ada apa di kantor? Siapa perempuan yang marah-marah sama kamu. Kok bisa dia marah, dia bukan siapa-siapa seenaknya saja dia begitu sama kamu." Banyak sekali pertanyaanku. Irma entah mau menjawab yang mana satu.

"Itu sekretaris baru Pak Fathan, Kak. Namanya Nola. Hanya urusan pekerjaan. Saya sudah resign, Kak."

"Apa? Kok bisa?" tanyaku sedikit keras. Irma resign hanya karena masalah sepele. Ini tidak bisa dibiarkan.

Kudengar helaan napas Irma. Mengapa gadis itu mendadak berhenti kerja. Bukan dipecat tapi resign. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.

"Ngak papa, Kak. Pengen dekat sama adik-adik aja di kampung. Mau nerusin usaha Ayah sama Ibu. Bersawah sama garap kebun."

"Ngak, ngak bisa gini, Ir. Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Biar bagaimanapun kita ini masih saudara. Aku ngeliat kamu nangis di dekat pantry. Ngak mungkin tanpa sebab. Apa gara-gara wanita menor itu?"

"Ngak kok, Kak. Serius lo, kakak jangan suuzon sama Bu Nola, dia kebetulan marah karena pekerjaan Irma tidak becus. Saya memang berniat mengundurkan diri, Kak. Jauh sebelum kejadian yang kakak liat," jelasnya terasa janggal.

Entahlah. Aku kok merasa ada yang tidak beres di kantor Mas Fathan. Irma gadis yang baik. Bisa saja dia menutupi sesuatu. Memilih berhenti kerja dengan gaji sangat lumayan ukuran seorang OG. Itu bukan tipe Irma. Dia menangis dulu saat meminta pekerjaan itu padaku. Agar aku yang dekat dengan pemilik perusahaan memberi rekomendasi atas namanya. Mengapa begitu mudah melepaskan?

"Kamu tidak sedang berbohong, Irma?" kejarku lagi.

"Ngak, Kak. Besok saya sudah berangkat. Ini lagi nyusun barang. Surat pengunduran diri sudah saya beri ke Pak Fathan. Makasih banget ya, Kak. Ini semua berkah kakak. Akhirnya walaupun sedikit, saya punya tabungan."

"Yakin, Ir. Mau pulang kampung?"

"Insya Allah, Kak."

Akhirnya aku mengakhiri perbincangan dengan Irma. Riez sudah kembali tidur. Dotnya masih menempel di mulut. Riez menyukai susu merk negara sakura itu. Aku sengaja ngasih sufor sedikit mahal. Biar Riez sehat. Jarang sakit. Akhirnya aku bisa tidur berdua jika Mas Fathan pulang larut malam.

Brums.

Suara mobil masuk bagasi. Mas Fathan sudah pulang. Kukirik jam di atas layar ponsel. 23.16. Kemana dia pergi sampai harus larut. Sekitar jam delapan tadi Malik sudah mengantar motorku yang tinggal di sana.

Keliling mencari keperluan Riez membuat badanku capek. Aku malas bergerak menyambut Mas Fathan. Lampu kamar sudah kumatikan. Terdengar jelas suara vibrasi dari ponsel Mas Fathan. Saat kakinya melangkah masuk.

Siapa malam-malam begini masih menelpon.

Tidak ada terdengar sahutan. Penasaran. Aku berpura-pura tidur saja.

Klik. Aku mendengar beberapa anak kunci diputar. Mas Fathan memang selalu memeriksa ulang semua kunci dari dapur hingga ruang tamu, memastikan sudah terkunci sempurna. Suamiku itu memang lebih teliti ketimbang aku.

Langkah kakinya terdengar menuju kamar kami. Aku tidur di kamar Riez. Bersebelahan.

"Nay," panggilnya. Entah mengapa aku diam saja. Pasti Mas Fathan akan mencari ke kamar ini.

Ya, aku sering membuang waktu di kamar ini. Kamar dengan perlengkapan bayi. Saking ingin memiliki anak. Aku hobi membeli barang-barang bayi. Mungkin ini sedikit aneh. Tapi, hanya untuk menghibur diri sendiri. Untuk itu aku dan Gebi tadi tidak belanja terlalu banyak. Karena ada beberapa yang sudah dibeli.

Klik.

Pintu kamar Riez terbuka. Dari cahaya gelap aku bisa menangkap Mas Fathan yang masuk.

"Nay, kamu udah tidur?" tanyanya menghidupkan lampu. Aku pura-pura menggeliat. Penasaran. Apakah si penelpon tengah malam itu akan menelpon lagi. Sebab, kalau Mas Fathan taunya aku bangun. Tentu saja ia akan mematikan ponsel sampai pagi.

Sejak kejadian di kantornya. Cara Malik, juga karyawan bagian informasi itu membuatku sedikit curiga dan penasaran ingin tahu, ada apa dengan Mas Fathan? Adakah sesuatu yang Ia sembunyikan?

"Nay, sayang ...." Lembut, jarinya menyentuh keningku. Aku berpura-pura menggeliat lagi.

"Aku ngantuk, Mas. Aku tidur duluan, ya." Membuat mataku sedikit sayu, agar ia percaya aku beneran ngantuk.

"Ya, istirahatlah. Pasti seharian kamu capek. Mas harusnya bantu kamu nyari keperluan Riez. Mana Riez udah tidur lagi, padahal Mas pengen gendong Riez," ucapnya. Mencium ubun-ubunku.

"Hmm." Aku berpura-pura ngantuk berat lagi. Akhirnya ia beranjak pergi.

Lima menit, sepuluh menit. Aku menunggu apa yang terjadi ketika kakinya melangkah keluar pintu.

Titr.

Aku menangkap cahaya kerlip dan vibrasi ponsel bergetar dari arah pintu. Mas Fathan tidak menutup pintu kamar dengan sempurna. Ia berdiri tak jauh dari depan pintu.

Aku beringsut pelan. Berjalan ke arah pintu. Untung saja lampu dimatikan kembali. Riez sepertinya sama denganku, tidak bisa tidur dengan lampu hidup. Aku suka tidur dalam keadaan gelap.

"Iya, besok kita periksa. Kamu istirahat lagi. Ingat kata dokter, banyak-banyak minum air putih."

Tess. Hatiku berdesir krenyes. Membeku di tempat.

Sama siapa Mas Fathan menelpon malam begini? Dengan kalimat perhatian pula?