Tidak ada ampunan. Kamu saya pecat!" Suara seorang wanita menggelegar dari dalam ruang Mas Fathan. Aku dan Malik saling pandang. Sama-sama terkejut.
Siapa wanita itu?
Malik buru-buru mendorong troli berisi piring kotor. Pias-- ketakutan.
Apa wanita itu yang Neha maksud nenek lampir?
*
"Mas?" sapaku sedikit memberi tekanan dalam kalimat. Enam mata di depan terbelalak bersamaan. Hanya dua mata yang tidak sama cara belalaknya. Itu mata Irma, seorang Office Girl yang tengah menunduk bak terdakwa.
Pintu kubuka lebar. Di depan mata ini seorang wanita berdiri menoleh bersamaan dengan sapaku, bedanya dia tidak terbalalak kaget, lebih kepada bersyukur atas kehadiranku. Sambil menunduk. Sesekali mengusap air matanya.
Astaghfirullah. Itu Irma.
Irma ... pegawai office girl rekomendasi dariku, kini, wajahnya sungguh menyedihkan. Aku sengaja membawanya dari kampung, dia masih gadis. Perempuan baik-baik. Asal-usulnya juga sangat baik.
Ada apa dengan Irma?
Wajahnya pucat. Meremas tangannya sendiri, terlihat sangat ketakutan. Kedatanganku bagai doa yang ia tunggu. Terlihat jelas dari ekspresi ronanya.
Di depan Irma, perempuan menor berdiri dengan wajah garang. Mendadak berubah rona menjadi normal, karena aku masuk tanpa permisi.
"Nay. Kok mendadak. Mas bentar lagi pulang." Nada gugup dari kalimat itu tidak pandai ia sembunyikan. Mas Fathan suamiku mendadak gagap. Ada apa dengannya?
Perempuan dengan dandanan ala penyanyi dangdut, bulu mata seperti sayap yang hendak terbang.
Bibir merah merona, padahal model bibir tebal begitu harusnya tidak perlu yang merona sekali. Pantas saja Neha menyebutnya nenek lampir. Mirip sih! Kuntilanak juga cocok.
Malah lebih cantik Mbak Kunti dengan gamis putih rambut tergerai panjang. Nah, yang ini rambut pendek sebaris telinganya.
Rok model span, baju ala pekerja sales. Ngak styleis banget. Siapa dia? Apa ada karyawan baru? Di mana Khaila? Sekretaris suamiku.
Terus, mengapa dia marah-marah sama Irma.
Banyak sekali pertanyaan yang sekarang juga butuh jawaban. Tapi, mengingat Riez yang kujanjikan akan membawanya segera. Cukup saat ini aku menanyakan kondisi Irma. Biar bagaimanapun dia tanggungjawabku. Aku tidak suka ada yang memarahinya.
Meskipun orang kampung, Aku sangat kenal Irma. Dia gadis tidak banyak tingkah. Tidak pernah neko-neko. Minim kesalahan. Untuk itu aku rekomendasi menjadi tim OG di sini. Meski tidak kandung, masih ada tali persaudaraan bagian ibu, antara aku dan Irma.
Mengapa kuntilanak itu memarahinya. Siapa pula wanita yang mirip Mbak Kunti ada di ruangan suamiku?
"Kamu kenapa, Ir?" tanyaku tidak menghiraukan suara Mas Fathan.
Gadis itu tidak menjawab pertanyaanku. Semakin menunduk pias.
"Nay, Irma ngak kenapa-napa kok, Sayang. Dia hanya melakukan kesalahan. Jadi ... sudahlah! Ini hanya masalah pekerjaan. Kamu tidak bisa ikut campur."
Apa katanya?aku tidak bisa ikut campur. Oh, mungkin suamiku lupa siapa aku di sini. Ada apa dengan Mas Fathan? Membuatku curiga saja.
Tapi bayi Riez harus segera diurus. Aku bimbang antara mengetahui masalah Irma atau menarik Mas Fathan ke rumah Mak Jum.
"Oke, sekarang kan lagi jam istirahat, ne. Aku mau bicara sama kamu, Mas. Ini penting. Bisakah kita berdua saja di ruangan ini tanpa ada orang yang mengganggu jam istirahat seorang manajer," sindirku tepat sasaran.
Jika Neha dan Malik tidak menyukai makhluk di depanku ini. Otomatis tidak diragukan lagi pasti makhluk itu jahat.
Makhluk berjenis wanita yang berdiri di samping meja Mas Fathan beringsut, beranjak pergi. Wajahnya menyiratkan ketidaksukaan atas pengusiran halus ala Naysila.
Dia siapa?
Berani tidak sopan dan tidak suka pada wanita yang gadisnya dilamar antri para CEO kaya raya. Bahkan HRD perusahaan ini termasuk Manager dua yang sampai kini masih jomblo gagal move on karena ku tolak.
Aku memilih menerima Mas Fathan di antara semua yang datang melamar.
Karena Muhammad Fathan seorang yang terlihat Sholeh, akhirnya pilihan jatuh padanya. Entah kesolehan berubah menjadi kesalahan suatu hari. Itu di luar prediksiku. Aku bukan cenayang.
"Bicaralah, Sayang. Ada apa? Dan ... kamu Irma, kembali ke dapur."
"Tapi, Pak." Irma memilin jarinya. Ragu hendak pergi.
"Nanti kita bicara, Irma. Tidak perlu ada yang kamu takutkan di kantor ini. Pemilik perusahaan ini mantan pacarku." Kalimatku mendelikkan mata Mas Fathan pertanda tidak suka.
Padahal aku sengaja membuatnya cemburu. Lagian siapa nenek lampir tadi, sampai begitu tega memarahi Irma, dan mengeraskan suara di depan suamiku. Berdiri santai di sampingnya seolah suami istri yang tengah memarahi para pembokat pemalas. Aku yakin Irma bukan tipe gadis pemalas.
"Khaila mana? Kok ada Nenek lampir di ruangan kamu, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi.
Mas Fathan menarik napas. Sepertinya ia malas menanggapi omonganku yang terlalu ceplos.
"Nay, gak baik menghina orang seperti itu. Khaila sudah berhenti sebulan lalu. Dia menikah di kampungnya. Pindah ke Jakarta. Jadi Nola menggantikan Khaila. Dia sekretaris Mas sekarang."
"Ha, tumben Mas ngak cerita ke aku. Malah udah sebulan si Khaila resign. Tumben-tumbenan juga sekretaris Mas, perempuan norak begitu. Maksudku pakaiannya liat. Sengaja ya ngundang napsu Mas sebagai bos--nya." Aku sedikit meninggikan suara.
Beda banget sekretaris baru itu dengan Khaila. Khaila sangat sopan. Sebulan lalu resign? Kok aku baru tahu. Alasan Khaila resign karena menikah. Mengapa aku tidak diundang?
"Jangan ngelantur, Nay. Ngapain bahas orang lain, Nola itu rekom dari Pak Bambang, Mantan kamu. Anak dari pemilik perusahaan ini." Bahasa Mas Fathan sedikit sewot. Aneh. Ngapain juga dia belain perempuan itu. Bikin curiga saja. Bawa-bawa nama Bambang lagi.
"Tapi, kamu hebat Mas. Kamu dapatin semua, cintaku, kursi manager, bahkan beberapa tender perusahaan kamu yang handle. Bukan si Bambang. Pak Hartono sangat mempercayaimu." Aku tersenyum manis. Memutar pembicaraan. Agar Mas Fathan juga sadar. Di perusahaan ini dia mendapatkan segalanya. Tentu saja berkat campur tangan lobi manis Naysila pada Pak Hartono.
Cintaku pada Mas Fathan memang sangat tulus, dulu aku amat mencintai Bambang, anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi di depan mataku dia memeluk seorang wanita. Bahkan melecehkan seseorang karyawan bagian akunting satu ruangan denganku. Namanya Karin. Semua bukti itu melenyapkan cinta yang pernah ada.
Apalagi Bambang terlihat ragu membawaku ke jenjang pernikahan. Beda dengan Mas Fathan. Sehari aku putus dengan Bambang, Ia langsung datang melamar. Ah, benar kata orang mendekati perempuan itu sangat mudah ketika dia patah hati. Itulah yang dilakukan Mas Fathan hingga aku luluh, menerima lamarannya.
"Sayang, katanya kamu mau ngomong penting. Irma udah pergi tu. Cuma kita berdua di sini." Ya kini, tangan Mas Fathan melingkar di pinggangku. Dia memang selalu romantis. Melupakan sejenak di pikiranku untuk bertanya perihal Irma. Riez lebih penting.
"Mas, di rumah Mak Jum ada seorang bayi ...."
Aku menceritakan kronologis bayi Riez. Sedikit sengaja kubumbui perihal kedekatan psikologi tak kasat mata seperti ungkapan Gebi dan Mak Jum, antara aku dan Bayi Riez.
Setelah bercerita Mas Fathan tersenyum padaku. Manis sekali. Apa dia setuju?
"Sayang, Mas akan lakukan apapun itu, asal kamu bahagia. Tapi ... darimana Mas dapat dua puluh lima juta. Bukan Mas ngak mau, kredit bank, mobil kita, belum lagi baru-baru ini kita beli sawit kontan menggadaikan sertifikat rumah. Gaji Mas tinggal cukup buat kebutuhan kita, sayang."
"Mas setuju apa gak?"
"Sangat setuju, donk."
"Gebi bilang pakai duitnya aja. Duit Gebi banyak. Dia yang nawarin."
"Baik banget Gebi sama kamu, Sayang. Kalo gitu. Ya udah. Apa Mas ikut bawa Riez."
"Boleh juga. Sekalian hari Minggu kita buat penyambutan kelahiran Riez. Undang tetangga dekat aja."
"Terserah kamu aja sayang. Mas ngikut, asal kamu bahagia. Mas pasti bahagia."
"Terimakasih, Mas." Tak lupa Mas Fathan mengecup keningku. Kulirik sekilas daun pintu yang terbuka sedikit. Nenek lampir itu ada di depan pintu Mas Fathan. Ah biarin. Biar sekalian dia liat kemesraan suami istri. Jangan sampai kayak Neha.
Aku dan Mas Fathan pergi menuju rumah Mak Jum. Masih sempat kudengar isak tangis Irma di pojok Pantry saat melewati ruangan itu. Mas Fathan malah menarikku gegas.
Tangga turun tentu saja berseberangan dengan dapur. Ada apa dengan Irma? Sepertinya rasa penasaranku harus ke samping dulu.
Yang membuat curiga,Mas Fathan membawa tanganku berjalan cepat menuju lantai bawah. Seolah tidak ingin aku kepo terhadap kejadian tentang Irma.
Masih ada hari esok. Hum. Aku bergumam sendiri.
*
Bayi Riez sudah di tanganku. Gebi membantu semuanya.
Besok kami menuju kantor lurah, mengurus segala legalitas bayi Riez. Ia akan menjadi anak kandung Mas Fathan dan Aku.
Riez bayi laki-laki. Jadi tidak butuh bin binan ketika menikah nanti.
Entah mengapa hatiku sangat bahagia. Sudah lama aku menginginkan bayi laki-laki. Baru ini Allah penuhi. Gebi ikut mengantar sampai rumah. Motor kutinggal di kantor Mas Fathan. Sengaja. Agar aku punya alasan kembali ke kantor. Ngepoin masalah Irma.
"Nanti Mas aja yang ambil motor, mas mau singgah sekalian ke rumah Tante Yona. Siapa tahu dia mau bantu ngurus Riez. Biar kamu ngak kecapean sendirian."
Gagal total rencanaku mendengar kalimat Mas Fathan. Rencana mau ngepoin Irma dan Nenek lampir yang ada di ruangannya.
"Ngak usah, Mas. Aku kan ngak kerja. Jadi bisa jagain Riez dua puluh empat jam," protesku tak enak.
"Beneran kamu ngak capek."
"Lah yang masak sama nyuci kan udah ada. Masa jagain Riez juga harus dibantu, boros pengeluaran donk kita."
Aku tidak mau ada yang bantu jaga Riez. Lagian aku ingin melihat secara langsung perkembangan Riez. Bayi ini seakan memiliki magnet. Menarikku untuk mencintainya.
Aku dan Gebi turun dari mobil. Masuk ke dalam rumah. Aku berinisiatif menyuruh Gebi dan Bik Onah belanja keperluan bayi.
Entah tahu darimana, tiba-tiba saja Tante Yona muncul di rumah. Tante Yona ini adik bungsu ibunya Mas Fathan. Dia malah menawarkan diri menjaga Fathan. Aku dan Gebi belanja keperluan Riez. Katanya takut salah kalau Gebi dan Bik Onah yang belanja.
Pada akhirnya kami berdua-- aku dan Gebi berangkat belanja diantar Mas Fathan. Riez yang sedang tertidur dijaga Tante Yona, rencananya kami pulang naik ojol saja. Mas Fathan kembali ke kantor padahal sudah tidak Jam kerja lagi. Katanya mau sekalian nyuruh Malik bawain motorku.
Entahlah. Rasa penasaranku memang harus ke samping dulu. Tunggu saja besok. Aku tidak suka saudara dibentak bentak begitu.
Kami pun sampai ke salah satu pusat perbelanjaan. Gebi yang biasanya banyak omong entah mengapa mendadak jadi pendiam.
"Gebi, kena setan apa tadi, tumben diam."
"Jaim. Di belakang kita ada Lee Min hoo versi Indonesia."
Ha. Serta merta aku menoleh ke belakang.
Bruk.
Trolli belanjaku menabrak seorang lelaki.
Laki-laki itu. Kok mirip? Aku serasa familiar. Siapa dia?