Chapter 2 - Kejutan

"Hai, Nama kamu Muhammad Arsenio Horition," ucapku lembut di telinganya. "Panggilan kamu, Riez," bisikku lagi sambil mengusap pipi merah yang tiba-tiba tersenyum.

"Keren, Riez ngerti kamu bakal jadi mamanya, Nay. Kalian seperti ada keterikatan psikologi. Suer!" Gebi membelalak kaget. Bayi satu hari itu bisa menggerakkan bibirnya. Tersenyum padaku. Ini benar-benar ajaib.

Setelah menolak pasangan kaya raya yang membawa Pajero sport keluaran terbaru, pun bayi itu menolak digendong oleh pasangan muda pemilik Alphard dari luar kota. Aneh memang. Faktanya begitu. Ia menangis histeris saat orang lain menggendongnya. Diam ketika aku meraihnya kembali.

"Coba bisikkan kalau kau bakal datang jemput dia. Baru kau pergi lagi," saran Mak Jum.

"Hei, Riez. Mama akan jemput kamu, jangan nangis lagi ya!" Entah mengapa aku mengikuti saran Mak Jum. Lalu kembali melangkah keluar.

Mak Jum benar. Bayi itu diam. Bahkan kini terlelap nyaman setelah kutaruh di tempat semula. Aku langsung mengambil motor yang terparkir. Menuju kantor Mas Fathan.

Sebentar! Tidak ada yang sedang mengintip aku dari arah pintu samping itu. Sepertinya kelabat wanita yang kulihat di balik tirai benar manusia. Bukan jin atau jenisnya. Apa dia sedang mengintip di balik pintu dapur yang langsung berhadapan ke areal samping rumah Mak Jum. Tempat aku memarkir motor.

Siapa dia? Jangan-jangan ...

Aku beringsut pelan ke arah samping. Penasaran. Benarkah ada orang lain di situ. Mengapa mengintipku seperti pengintai.

"Kenapa, Nay? Mau buang air?" Tiba-tiba Mak Jum membuka pintu dapur lebar.

Astaghfirullah. Aku kaget.

"Ngak, Mak. Cuma tadi liat ada yang ngintip," jawabku jujur.

"Enggak ada orang di sini," ucap Mak Jum mengerutkan keningku.

Bergidik ngeri. Ah, Ramadhan ngak ada hantu ih. Aku memotivasi diri sendiri. Bisa jadi memang cuma bayangan saja.

Aku berlalu. Kembali ke atas motor, memasukkan kunci. Menekan gas menuju kantor Mas Fathan.

*

Aku baru saja tiba di rumah bertingkat dua yang telah disulap berbentuk kantor, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Berpagar tinggi.

Tiga satpam berjaga, muka, belakang, dan samping plus dua polisi dengan alat komunikasi stand by di tangannya. Maklum. Ini perusahaan di bawah sub--kontrak milik negara. Penjagaan super ketat.

Aku bebas masuk tanpa pemeriksaan. Siapa yang tidak kenal Naysila Andira. Yatim piatu yang telah di per-istri oleh Manager satu. Meski terlahir di panti dan besar pada Iingkungan asrama sosial. Aku berlatar pendidikan akuntansi.

Dulu aku pegawai akunting di perusahaan ini. Sejak menikah, Mas Fathan menyuruhku berhenti bekerja.

Alasannya klise. Ia ingin aku menjadi madrasah pertama anak-anaknya. Alhamdulillah, hingga kini amanah untuk menjadi madrasah pertama belum terealisasi.

Ingin kembali bekerja, Mas Fathan tidak mengizinkan. Akhirnya aku hanya mendekam rebahan di rumah berukuran luas untuk ukuran sendirian menempati, tanpa siapa-siapa. Sepi. Sangat. Mau ngajak saudara tidak punya. Mau nyekolahin anak dari kampung. Aku tidak begitu mengenal saudara orangtuaku di kampung.

Ibu meninggal setelah aku diberi seorang ibu asuh untuk sekolah di sebuah SMA bergengsi. Bu Rima. Bu Rima justru meninggal dunia saat menjelang aku wisuda. Jadi, tidak ada yang tersisa untuk sekadar tempat curhat sebagai anak. Hanya ibu panti yang masih sering berkomunikasi padaku.

Keberuntunganku hanya satu. Semua orang mengatakan fisikku cantik. Jadi bisa dipastikan mata lelaki tidak akan berkedip bersua denganku. Untuk itu pula aku begitu mudah dulu mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang sangat lumayan.

"Mbak Naysila mau ke atas?" tanya pegawai bagian informasi menghalang jalanku. Tentu saja aku mau ke atas. Aku menatapnya--Aneh. Dia juga sering melihatku datang. Kali ini pertanyaannya seperti menyembunyikan sesuatu.

Pegawai itu sudah lama kenal denganku. Dia tahu aku istri dari Muhammad Fathan. Manager Satu perusahaan Migas bagian pengolahan limbah.

"Maaf, maksud saya ... eh." Ia menggaruk kepalanya ragu.

"Pak Fathannya ada di atas, kan?" tanyaku bersikap normal saja. Walau di hati terasa ada yang aneh dari sikapnya.

Ruang Mas Fathan ada di lantai dua. Setahuku dua hari yang lalu masih di ruang yang sama. Lalu, apa tujuan Neha, staf informasi ini menghalangiku.

Ia masih mengusap wajahnya ragu. Menimbulkan curiga saja. Sesekali melipat-lipat bagian roknya dengan pilinan tangan pertanda grogi.

"Kenapa, Neha? Mas Fathan sedang rapat?"

"Ti ... tidak, Mbak. eh ... ada. Eh, bu-bukan. Anu," ucapnya ragu. Wajahnya pias.

Aku mengerjit bingung. Tidak pernah Neha seperti ini.

"Mbak sebaiknya datang besok saja," ucapnya tiba-tiba.

Hei, dia siapa. Aku sudah bekerja lama di perusahaan ini. Resign baik-baik karena dinikahi bos. Sedangkan Neha baru setahun ini bekerja. Seenaknya main larang. Dia lupa siapa aku?

"Terserah saya donk, lagian jika urgen diperbolehkan bersua suami. Saya mau jumpa suami sendiri, bukan suami orang," sindirku tajam.

Telusur kabar miring menyatakan Neha pernah dijambak seorang istri karyawan di sini karena ketahuan bermain serong dengan suaminya. Aku tidak suka pengkhianat. Makanya aku langsung sindir si Neha.

"Maaf, saya tahu Mbak nyindir saya, asli Mbak, saya dah taubat, tapi di atas sedang ada Nenek lampir baru."

"Nenek lampir baru?" Keningku mengerjit. Berpikir keras.

Siapa yang dimaksud Neha?

"Maksud kamu?"

"Aduh saya bingung. Anu ...."

"Ngomong yang jelas, Neha. Kamu ngak berhak menghalangi saya."

"Tapi ini demi kebaikan, Mbak."

"Kamu ngak lagi demam, kan? Kebaikan apa yang kamu maksud."

"Serah mbak aja." Ia mundur. Sepertinya kecewa karena aku tidak menuruti kemauannya. Dasar Neha bodoh. Pantasan seleranya suami orang. Perlakuannya tadi justru membuat aku penasaran.

Mengapa melarang aku naik ke lantai dua.

Gegas kulangkahkan kaki menuju ruang suamiku. Muhammad Fathan--Manager Satu Bagian Limbah.

Tulisan indah di depan pintu sering membuat aku tersenyum sendiri.

Ya, di ruang inilah kami sering bersua. Aku yang selalu membutuhkan tanda-tangannya, dan dia selalu butuh berkas laporan pertanggungjawaban masuk-keluar keuangan dari tanganku.

Acap bersua, bunga cinta mewangi menebar semerbak kasmaran. Tanpa mengenal pacaran, ulang tahun ke tujuh perusahaan ini, ia diangkat menjadi manager. Di depan semua karyawan, Mas Fathan melamarku dengan begitu romantis.

Terharu. Tentu saja. Empat jomblowati dengan dengan kecantikan masing-masing punya, Mas Fathan memilihku menjadi pendampingnya. Rasa yang luar biasa. Siapa wanita yang menolak pesona seorang Fathan. Setelah berumahtangga saja, pesonanya semakin bersinar.

"Eh, ada Mbak Naysila. Makin cantik aja sejak jadi ibu rumahtangga." Malik--Kepala Office boy, menyapaku ramah.

"Eh, Malik. Ada Pak Fathan, di dalam?" tanyaku basa-basi. Ya ngapa juga aku tanya. Bebas masuk kok. Sekadar sapa. Daripada tak ada kalimat yang harus dikeluarkan, entar malah dikira sombong. Sementang sudah istri manager, ngak kenal sama para OB. Ngak lucu juga kalau ada yang ghibahin begitu.

"Eh, anu. Mbak Nay mau ketemu Pak Fathan?" tanyanya ulang. Serupa Neha. Wajah Malik berubah pias terkesan jadi bodoh.

Oh iya, orang-orang di sini memanggilku dengan sebutan Mbak. Sedangkan memanggil suamiku dengan sebutan Bapak. Walau sebenarnya Mas Fathan masih terbilang muda. Tiga puluh lima tahun.

Sebentar. Ada apa dengan mereka? Neha dan Malik.

Bodo amat.

"Ya udah. Aku masuk dulu," ucapku memajukan langkah menuju pintu ruang Mas Fathan.

"Mbak ... Jangan!" teriak Malik mengehentikan langkahku.

Ha. Apa katanya. Jangan! Siapa dia berani melarangku.

"Kamu sama Neha kayaknya jodoh. Punya kesamaan yang mirip."

"Ha. Neha? Amit-amit punya jodoh kayak dia, Mbak." Malik mengedikkan bahu seolah jijik. Padahal Neha itu cantik. Dia balik terbelalak dengan ucapanku. Geleng-geleng kepala. Aku hampir terkekeh ngakak melihat ekspresi Malik.

"Lah, kan dia jomblo berselera sama suami orang, Neha jomblo berkelas tuh ukuran para lelaki, terus kalian punya kalimat yang sama dalam beberapa menit ini. Cocok jadi madu si Neha," kelakarku kecil.

"Issh, Mbak Nay bisa aja. Apa sih maksudnya."

"Itu lo, kalian berdua sama-sama ngelarang aku ketemu sama suamiku sendiri. Kan aneh. Kayak suamiku selingkuh aja. Tumben kompak sama Neha." Kalimat itu terceplos begitu saja.

Aku menangkap raut wajah Malik mendadak pias. Salah lihatlah mataku?

"Eh ... Sebaiknya Mbak Nay pulang aja. Ini kan bulan Ramadhan. Takutnya Mbak capek nungguin Pak Fathan kerja." Malik masih seperti Neha. Mencoba melarang aku menemui Mas Fathan. Aneh.

"Ruangan suamiku tuh ada di depan mata. Ngapain aku harus pulang. Kamu tuh yang harus cepat-cepat nikah lagi, biar tau rasanya diganggu dua istri pas jam kerja." Aku sengaja menggoda Malik. Ia geleng-geleng kepala tertawa.

"Issh si Mbak. Doain lebaran ini Malik bisa bangun rumah, nikah lagi itu kemauan para lelaki, Mbak hehe, yang penting kalo Malik dikasih jodoh lagi isssh ... jangan sama Neha. Ogah," ucapnya menaikkan bahu. Aku tertawa.

"Loh, saya malah doain kamu jodoh sama Neha," ucapku usil.

Malik ini sedari dulu lugu dan jujur. Aku suka mengganggunya.

"Jangan, Mbak. Dosa doain orang supaya sengsara."

"Kok sengsara?"

"Nikah sama Neha sama dengan milih hidup sengsara, Mbak."

Aku kembali terbahak dibuat Malik. Ada-ada saja dia.

"Sengsara darimana, cantik gitu. Sayang dianggurin."

"Duh, beli skinkernya aja habis gaji saya sebulan. Mana buat makan lagi. Entar kalo punya anak. Tuh bagian susu anak malah dibawa ke salon. Ih ... Amit, amit deh."

Aku lagi-lagi tertawa dengan gaya lugu Malik.

"Ya udah deh. Saya mau cepat nih. Saya masuk dulu ya."

"Jangan, Mbak!!!"

"Tidak ada ampunan. Kamu saya pecat!" Suara seorang wanita menggelegar dari dalam ruang Mas Fathan. Aku dan Malik saling pandang. Sama-sama terkejut.

Siapa wanita itu?

Malik buru-buru mendorong troli berisi piring kotor. Wajahnya pias--ketakutan.

Apa wanita itu yang Neha maksud nenek lampir?

Seenaknya main pecat. Siapa dia?

Penasaran aku membuka pintu kaca berlapis fiber kualitas nomor satu itu.

Enam mata terbelalak kaget.

"Mas Fathan?"

"Nay!"