Chereads / Misteri Pembunuhan di Rumah Pijat / Chapter 1 - Menemukan Anak

Misteri Pembunuhan di Rumah Pijat

DaoistdFG8ng
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 9.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Menemukan Anak

"Baby ini ganteng banget, Nay. Ke sinilah sebelum polisi datang."

"Tidak semudah itu, Geb. Bisa-bisa kita di penjara sembarangan mungut anak."

"Issh, kau nyesal kalau ngak liat. Pasti Ayahnya ganteng Nih, Ibunya cantik. Anaknya menggemaskan." Gebi sahabat baikku masih tetap ngotot.

"Sekarang di mana bayi itu?"

"Di rumah Dukun beranak Mak Jum. Ramai warga di sini. Kata Mak Jum, kalau kau minat bayarannya dua puluh lima juta."

"Apa? Dua puluh lima juta, darimana aku dapat uang sebanyak itu, Gebi?"

"Tenanglah! Kau datang aja dulu. Nanti kita diskusi di sini."

"Oke, deh. Bye."

Aku menutup panggilan. Menimbang ponsel yang baru saja berdering lagi. Pesan dari Gebi. Sahabatku sedari kecil. Jomblo karatan tapi berwajah Turki-Melayu.

Trauma terluka membuatnya memilih hidup sendiri. Wanita karir dengan uang berlimpah.

(Cepat ke sini, Nay. Ada pasangan dosen yang mau ambil bayi ini. Jangan sampai deh. Aku mau kau yang pelihara)

Pelihara? Itu manusia, Geb. Duh teman satu ini lidahnya kadang suka Kepleset.

Bahasa Gebi memang seperti itu. Suka sembarangan bicara. Alasan apa membuat Gebi memaksa aku mengasuh bayi tanpa identitas itu.

Mengeluarkan motor dari garasi. Aku mengirim pesan pada Mas Fathan, mengatakan pergi bersama Gebi, takutnya dia pulang duluan aku tidak di rumah.

Mas Fathan sedang di kantor. Biasanya Ramadhan seperti ini, Mas Fathan lebih cepat pulang.

Perjalanan ke rumah Gebi sekitar lima belas menit bersepeda motor. Aku memang menginginkan bayi. Tapi tidak sembarang pungut begitu. Apalagi cerita Gebi bayi itu ditinggalkan ibunya dalam kardus saja. Ah, kayak di sinetron-sinetron yang tidak pernah kutonton. Hanya tau dari medsos saja.

*

Aku memarkirkan motor di samping rumah Mak Jum. Bau darah menguar dari samping rumahnya. Darah nipas kah? Aku tidak mau tahu. Fokus ke ruang tamu yang ramai kunjungan. Bukannya di sini memang kerap tempat bersalin. Jadi tidak perlu heran.

"Hei, sini! Malah bengong." Gebi menarik tanganku ke ruang tengah.

Ganteng. Ma sya Allah. Entah mengapa hatiku berdesir tak karuan melihat bayi mungil di tengah tikar pandan, tertidur pulas.

Polos sekali, bahkan pusatnya saja belum putus.

Bayi merah itu ditaruh Mak Jum di tengah ruang tamu. Mak Jum seorang ahli pijat. Beberapa tetangga duduk lesehan saling mengagumi bayi merah berbungkus kain jarik yang dipasang membalut tubuh mungilnya.

Begitu lucu. Tega sekali ibunya membuang bayi seganteng ini. Bahkan dia anteng tanpa tangisan, padahal sekelilingnya orang-orang ribut bercerita perihal bayi yang baru saja ditemukan pagi hari di depan teras Mak Jum. Seorang ahli pijat yang kerap membantu para wanita tak berduit untuk bersalin di tempatnya.

Cukup membayar ala kadar. Bersalin dengan mudah, obat-obatan racikan Mak Jum. Memang bagus sekali. Dari cerita Gebi yang tetanggaan langsung dengan Mak Jum aku mengetahui semua tentang wanita tua yang kabarnya telah banyak membantu para wanita lain yang tidak beruntung soal keturunan.

Aku beberapa kali ikut program pijat agar lekas hamil pada Mak Jum. Tapi Allah tidak berkehendak mengizinkan aku memiliki anak. Ada pasangan suami istri dari luar kota. Hanya dua kali pijat langsung hamil.

Sedangkan aku sudah berkali-kali, sudah bermacam-macam racikan obat. Hasilnya tetap nihil. Akhirnya aku pasrah. Bukankah ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha. Juga tidak memiliki anak. Lagian Mas Fathan tidak mempermasalahkan soal ini. Kami bahagia.

Pernikahan kami memang baru seusia jagung berkembang. Lebih kurang tiga tahun. Namun, rasanya sepi sekali tidak terdengar tangis bayi di rumah dengan bangunan lima belas kali dua puluh meter persegi itu.

Aku tidak memiliki banyak teman akrab. Hanya Gebi teman satu-satunya yang kerap mengusir sepi. Itupun dia harus bekerja Senin sampai Jumat. Sekali seminggu kami melepas lelah dengan menonton serial komedi, shopping, pijat refleksi, Facial dan aktifitas wanita lainnya.

"Tampan, banget, Nay. Andai aku punya suami." Gebi meraih bayi merah itu ke gendongan. Sangat berhati-hati.

"Udah cocok, belum?" tanyanya sambil menggendong bayi ala ibu melahirkan.

"Makanya cari laki, cantik-cantik jomblo!" cibirku padanya.

Ya, Bayi merah yang kini di gendongan Gebi itu ditemukan Mak Jum di depan rumahnya. Begitu cerita Gebi. Hanya dua puluh persen aku percaya. Firasatku mengatakan Mak Jum mengetahui perihal ibu si bayi. Hanya ia sengaja menyembunyikan identitasnya.

Bisa jadi anak haram, hubungan terlarang, nikah siri, atau alasan lainnya. Bisa puluhan alasan orang-orang melakukan itu semua.

Begitulah dunia. Ada yang belasan tahun menanti buah hati. Tuhan tak menggerakkan malaikat Jibril untuk meniupkan ruh pada rahimnya. Nabi Zakaria saja sudah tua papa, baru Allah beri izin untuk mengemban amanah bernama anak.

Siti Sarah istri Nabiyulloh Ibrahim alaihissalam diuji tidak memiliki keturunan hingga memiliki madu bernama Siti Hajar. Setelah sang madu memiliki anak, Allah beri izin ia pun memiliki anak.

Mas Fathan pernah bercerita perihal Siti Sarah dan Siti Hajar padaku. Aku paham maksudnya. Mungkin Mas Fathan berniat poligami. Jauh sebelum menikah aku sudah menekankan pada suamiku. Aku tidak izin dipoligami. Lebih baik cerai. Titik.

Bukankah Ibunda Aisyah justru menjadi wanita paling dimanja, meski dia tidak memiliki anak. Beda kelas kalau manusia biasa yang melakukan poligami. Ah, tidak. Yang penting aku tidak izin Mas Fathan poligami apapun alasannya.

Sekalipun alasan terjebak' atau dijebak. Tidak ada alasan. Aku bukan wanita seperti istri-istri mulia para Nabiyulloh, aku hanya wanita biasa dengan seribu kekurangan.

"Hei, kau dipanggil Mak Jum tu. Bengong melulu."

Astaghfirullah. Aku melamun, sampai tidak sadar bayi merah nan tampan itu berpindah gendongan ke tangan Mak Jum.

"Gimana, Nay. Dua puluh lima juta bayi ini jadi milikmu. Aku punya rekomendasi bidan untuk mengurus segala administrasi. Legal. Kau akan mendapatkan surat lahir resmi, dan akta kelahiran bayi ini tidak kurang dari dua kali dua puluh empat jam. Di dalam akta, bayi ini sah secara negara anak dari kau dan suamimu."

Aku diam. Gebi mengambil bayi itu meletakkannya di pangkuanku. Ma sya Allah. Benar-benar sangat tampan. Hidung mancung. Kulit putih kemerah-merahan. Dan ...

Ah, dia tersenyum. Membuka matanya, mengerjap. Seolah memberi kode ia nyaman di gendongan tanganku.

"Mirip," celetuk salah satu tetangga Mak Jum.

"Cocok sekali. Kok bisa kau dan bayi itu mirip. Sudah ambil saja. Bisa jadi membawa berkah."

"Nay," Gebi menatapku aneh. Memindai wajah sang bayi lalu menatap seakan tak percaya, geleng-geleng kepala.

"Kalian beneran mirip, kok bisa ya?" Gebi memindai ulang. Menyadari sesuatu yang luar biasa.

Gebi benar. Bayi ini seolah memiliki magnet, menarikku dalam pesonanya. Sungguh menggemaskan.

Eits. Dia tersenyum lagi. Ya Allah, apa ibunya buta, tidak melihat betapa menggemaskan ini.

Aku sangat ingin memilikinya, darimana aku dapat dua puluh lima juta? Mas Fathan pasti punya. Tapi, aku istri yang tidak berani meminta uang sebanyak itu pada suami.

"Jangan mikirin masalah duit. Kau lupa aku banyak duit," bisik Gebi ke telingaku.

"Tapi, aku harus izin Mas Fathan dulu."

"Telpon sekarang!"

"Apa ini tidak mendadak?"

"Kalau kau tidak mau, itu ada pasangan suami istri dari luar kota di luar. Aku menahannya untukmu. Tadi aku sengaja kasih DP untuk menahan bayi ini agar Mak Jum tidak memberikan pada yang lain lagi."

Gebi. Dia benar-benar sahabat terbaik. Masuk ke rumah ini, aku memang sempat melihat ada dua pasang orang lain yang tak kukenal. Tetangga Mak Jum beberapa sudah aku kenal. Sepertinya mereka memang dari luar kota. Style dan pembawaan juga mobil yang bertengger di depan rumah pertandanya.

"Sebentar. Aku ke rumah dulu nungguin Mas Fathan. Tidak enak kalau via telpon. Apalagi nyamperin dia ke kantornya. Aku segan."

"Dasar, Wak segan! Takutnya lama, Nay. Kamu ke kantornya aja," usul Gebi. Sedikit memaksa. Selain suka sembarangan bicara. Sahabat satu ini juga hobi memaksa. Untung sayang.

Sepertinya pilihan bagus juga. Aku memindahkan bayi itu ke pangkuan Gebi. Pamit menuju kantor Mas Fathan. Entah mengapa aku sangat ingin memiliki bayi itu. Harus.

Sebenarnya sudah setahun lalu, aku dan Mas Fathan ingin mengadopsi anak. Istilah zaman dahulu 'pancingan' memang kami berencana untuk mengambil bayi laki-laki. Lebih rendah resiko. Kelak dewasa masuk pesantren saja.

Oeks. Oeks.

Bayi itu menangis saat aku mencapai pintu. Ajaib. Seolah ada kekuatan alamiah membuat kakiku kembali ke dalam. Tangisannya semakin keras. Aku meraih dari tangan Gebi, mengendong ke pelukanku. Aneh. Bayi itu diam di gendonganku.

Semua orang di ruangan hening. Menatap takjub.

Setelah diam, aku menaruh bayi itu di atas kasur berlapis tikar pandan. Baru dua langkah kaki ini hendak keluar. Bayi itu menangis lagi.

Ya Allah. Apa ini pertanda ia ingin ikut denganku?

"Ma sya Allah, Nay. Kok dia ngerti ya, bayi memang paham pada siapa dia ingin nyaman."

"Ambillah, dua puluh juta saja. Aku kurangi lima juta. Karena bayi ini memberi kode, ia memang ingin ikut denganmu." Mak Jum menahan kepergianku.

Aku menoleh ke belakang. Dari tirai kusam penghalang ruang tengah dan dapur Mak Jum, sepertinya aku melihat sekelebat bayang seorang perempuan.

"Kami mau tiga puluh juta," seru seorang Ibu separuh baya yang kulihat di depan teras Mak Jum menaruh lembaran merah di atas tikar pandan.

"Kalau bayi ini mau, silakan ambil. Coba gendong! Gratis untukmu jika dia tidak menangis." Tiba-tiba aku terkejut dengan kalimat Mak Jum.

Ibu itu meraih si bayi ke gendongannya.

Oeks. Oeks ...

Tangis membahana memenuhi ruangan. Bukan cuma histeris, napas bayi naik turun. Astaghfirullah. Kasihan sekali.

"Ambil uangmu, bayi itu tidak mau kau pegang. Pulanglah!"

"Aku ambil lima puluh juta." Kali ini pasangan muda. Sepertinya usia mereka sebaya denganku.

"Coba saja!" Mak Jum mengedikkan bahu.

Wanita berhijab toska dengan lilitan emas kiri dan kanan tangannya menggendong bayi merah itu.

Oeks. Oeks ...

Suara tangis si mungil kembali histeris.

"Ambil uangmu. Pulanglah! Aku tidak mau anak ini jatuh ke tangan yang tidak tepat."

"Tapi, Mak kami jauh-jauh dari luar kota."

"Pulang!" bentak Mak Jum dengan mata melotot.