Sore telah tiba setelah seharian melakukan aktivitas seperti biasa, inilah saatku mencari nafkah untuk Hani. Untung saja adikku itu masih duduk di sekolah dasar. Setidaknya aku hanya harus mempertahankan beasiswaku sampai lulus dan mencari materi untuk Hani masuk sekolah menengah pertama. Syukur-syukur kalau Hani bisa masuk ke sekolah karena beasiswa, ya seperti aku inilah. Tapi, lagi-lagi manusia tidak ada yang sama, sekalipun lahir dari rahim yang sama. Satu persatu pelanggan aku layani, tak jarang pelanggan yang protes karena sudah menunggu terlalu lama. Namun, apa mau dikata? Tanganku hanya sepasang dan hanya bisa melayani satu persatu.
"Iya, bentar ya. Lagi dibikin ini. Al, Aldi. Itu tolong kayanya yang meja sana udah selesai deh" jawab Henry pada beberapa pelanggan yang protes atau belum mendapatkan tempat duduk.
"Iya bang, sekalian aku bersihin" jawab Aldi.
"Iya, makasih ya. Ntar cucian piring gampang aja lah, kalo mangkok atau gelasnya kurang, ambil aja dibelakang" jelas Henry sambil memasak beberapa mie instan dengan rasa yang sama bersamaan.
"Aku bisa bantu apa?" tanya Rama yang tiba-tiba datang je warung.
Henry yang masih marah terhadapnya hanya diam an membiarkan apa yang dikerjakan Rama. Merasa diacuhkan, Rama membantu Aldi membereskan meja dan mengantarkan beberapa pesanan pelanggan, dari warung yang awalnya ramai menjadi sepi. Rama masih mencoba mengajak bicara Henry, karena ia tahu bahwa yang dilakukannya kemarin salah. Menuang bensin kedalam kobaran api, tentulah ia akan terbakar pula. Melihat Henry yang masih mendiamkannya, dia berusaha membantu Henry dengan ikut mencuci mangkok dan gelas yang kotor. Tiba-tiba saja datang seorang perempuan menggunakan setelah kaos dengan rok mini berwarna abu-abu, potongan bajunya sangat minim sehingga dapat memepertontonkan pusar wanita itu.
"Mas, biasa ya. Mie soto kuah pake sayur dan cabai rawit yang banyak" pesan wanita itu pada Henry.
"Al, tolong layanin itu" kata Henry menyuruh Aldi.
"Bang, dia cewek yang kemarin" bisik Aldi ditelinga Henry.
Henry yang kaget mendengarnya lansung berdiri dan melangkah pergi meninggalkan warung. Lara yang melihatnya merasa bingung dengan sikap Henry, namun Lara tidak curiga dengan apa yang dilakukan Henry. Lara kembali meneriakkan pesanannya kembali.
"Mas, mie soto pakai sayur dan cabai yang banyak ya" pesan Lara kembali.
"Bikinin aja, Al. Nggak papa, ini biar aku yang selesein" kata Rama menyuruh Aldi.
Aldi segera membuatkan pesanan itu dan memberikannya kepada Lara. Lara yang merasa lapar pun menghabiskan makanannya dalam sekejap sembari terus bermain hp.
"Hih, ini apasih jawabannya" gerutu Hani yang kesal akan tugas sekolahnya.
"Kenapa dek?" tanya Lara halus.
"Ini loh kak, soal nomor satu. Dari kalimat diatas, manakan yang termasuk ungkapan, lalu apa artinya? Dari tadi udah dibaca berkali-kali tapi masih belum paham kak" jelas Hani sembari terus membolak balik bukunya.
"Gini nih, kamu dari kalimat diatas. Yang paling kamu nggak tahu artinya apa?" tanya Lara sambil meletakkan hpnya dan fokus mngajari Hani.
"Ini kak, naik daun. Masak penyanyi naik daun, kan bukan ulat" jawab Hani polos.
"Hahaha, iya ya. Nah, itu namanya kalimat ungkapan dek. Artinya terkenal" jelas Lara.
"Oh, gitu ya kak. Makasih ya, akhirnya tugasku selesai semua" jawab Hani sambil menutup bukunya.
"Iya, sama-sama. Mas, ini berapa ya?" tanya Lara pada Aldi.
"Sebentar mba, boleh saya bicara sebentar sama mba nya?" tanya Rama yang beranjak dari tempat cucian piring.
"Oh, boleh mas. Kenapa ya?" tanya Lara bingung.
"Kita ngobrolnya didepan ya mba" jawab Rama sedikit tak enak hati.
"Maaf sebelumnya, kalau boleh tau. Mba kerja di Cafe Melody?" tanya Rama sedikit berhati-hati.
Namun entah karena tersinggung dengan pertanyaan Rama, Lara memutuskan pergi meninggalkan Rama setelah meletakkan uang 50 ribu diatas meja tempat dirinya tadi menghabiskan makanan. Tak lama kemudian Henry datang dan melihat Rama beserta Aldi sudah pulang kerumah maing-masing, aku kembali duduk dengan secangkir kopi yang menemaniku berjaga malam ini. Kunikmati hidupku yang tergambar jelas oleh secangkir kopi dengan tambahan sedikit gula yang hanya jadi pemanis, memang tidak terlalu manis, tapi setidaknya telah mengingatkanku bahwa disisi pahit kopi masih ada manis yang bisa kunikmati. Sore berganti malam, larut cahaya malam bersinar remang lampu neon yang kupasang di warungku. Kupikir memang sudah terlalu larut, akupun berpikir untuk mengemasi semua barang dan pulang kepersinggahanku. Untuk hari ini mungkin cukup sampai disini, aku tidak mau terlalu mengejar materi, karena tidak enak dengan tetangga jika aku terlalu kaya.