Chapter 10 - Siapa?

Malam yang sunyi, riuhnya kendaraan berlalu lalang dengan klakson yang bersaut-sautan. Udara yang dingin serta sorot lampu jalan yang redup, Lara dengan pelan melepas pelukannya dengan Henry. Dilihatnya lagi Henry yang tersenyum kepadanya, hatinya berbunga-bunga, matanya berbinar-binar dan tangannya bergetar. Dirinya tak sanggup membalas ucapan Henry, Lara terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Henry yang polos mencintai wanita seperti Lara, entah apa yang Lara pikirkan. Dirinya lantas pergi meninggalkan Henry tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Henry tak tahu jalan pikiran Lara saat itu. Henry tak sempat mengejar Lara karena Hani terbangun dari tidur singkatnya, rupanya Lara meninggalkan jaketnya yang sedari tadi ia gunakan untuk menyelimuti Hani. Untung saja warung sudah dibereskan Aldi sebelum dirinya pulang tadi, kini Henry hanya tinggal mengunci warung dan memastikan semuanya tertutup rapat.

"Kakak udah pulang? Kak Lara mana?" tanya Hani bangun dari tidurnya.

"Kak Lara pulang, kita pulang. Yuk?" ajak Henry sambil menutup pintu warungnya.

Henry tak tega melihat adiknya yang terkantuk-kantuk berjalan menuju rumahnya, dirinya kemudian menggendong adiknya sembari terus berjalan menuju rumah.

"Kak Lara, sini. Kita mainan ini aja" kata Hani yang rupanya hanya mengigau.

"Kalian ngapain saja sih dari tadi? Sampe kabawa mimpi" bisik Henry mengajak Hani berbicara.

"Main lompat tali, kuncir-kunciran" jawab Hani yang rupana mendengar pertanyaan Henry.

"Hahaha, kok Kak Henry nggak diajak?" tanya Henry lagi.

Kini Hani tidak lagi menjawab pertanyaan Henry, dirinya malah tertidur lelap dibahu laki-laki yang mungkin saja menjadi cinta pertamanya sebagai pengganti sosok ayah bagi Hani.

Malam berganti siang hingga senja menyapa menyapa Henry yang penat dengan kegiatan kuliah sedari pagi, dirinya segera menuju warung untuk menyiapkan jualan. Nampaknya hari ini Aldi cukup sibuk untuk membuka warung, disiapkannya segala peralatan dan bahan yang akan ia jual. Menyiapkan berbagai macam mie instan, mengecek bahan tambahan dan menyalakan lemari pendingin yang berisi minuman.

"Tumben baru buka?" tanya Rama yang duduk disalah satu kursi pelanggan.

"Iya nih, baru pulang. Emang kamu nggak kuliah?" tanya Henry.

"Nggak, lemes banget sih kayanya?" tanya Rama curiga.

"Iya, lagi nggak enak hati aja" jawab Henry.

"Lara?" tebak Rama bertanya pada Henry.

Henry hanya mengangguk pelan sembari menyiapkan minuman untuk Rama dan dirinya. Dengan wajah yang suntuk dan masam, Henry duduk menyebelahi Rama sembari memberikan minuman yang sebenarnya tidak dipesan oleh Rama.

"Makasih, tau aja lagi haus. Oh ya, Lara kenapa? Kamu belum cerita" tanya Rama.

Dengan singkat padat dan jelas Henry ceritakan kejadian tadi malam yang terjadi antara dirinya dan Lara yang menyebabkan Lara pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya bahkan meninggalkan jaket yang digunakannya untuk menyelimuti Hani.

"Terlalu gegabah kamu, Hen. Kamu pikir aja, latar belakang dia bukan wanita baik-baik. Tapi dengan santainya kamu peluk dan bilang kaya gitu. Kalo aku liat, dia bukan tipe wanita yang mudah didekati. Bahkan asal kamu tau, waktu aku tanya pekerjaannya pun dia pergi gitu aja. Dia emang orang yang humble, tapi bukan semua tentang dia harus kamu tau. Cukup membuat dia nyaman aja, lama-lama dia bakal membuka hati dengan sendirinya" jelas Rama seakan menjadi pakar cinta. Begitulah hidup, kita bisa memberi masukan kepada orang lain sedangkan untuk diri sendiri saja masih merasa bingung dengan perasaanya.

"Iya, aku tau salah. Makanya aku bingung mau cari dia kemana, aku mau minta maaf dan coba buat memahami dia" jawab Henry mengakui kesalahannya.

"Udah, mungkin dia pengen sendiri. Tunggu aja, perempuan itu kalo dikejar malah semakin menjauh" jawab Rama lagi.

"Eh, iya. Kamu kenapa? Muka mu juga nggak kalah kusut sama serbet ini" goda Henry membandingkan wajah Rama dengan serbet yang ia pegang sedari tadi.

Kini giliran Rama yang menjelaskan apa yang ia rasakan, mulai dari kemarin dirinya menyadari Myra mempunyai alergi yang sama dengan dirinya yang tentu saja sama persis dengan kakaknya yang hilang beberapa tahu lalu. Dirinya yang mendapati mamahnya pergi kerumah Myra, ia juga menceritakan tebakannya mengenai hubungan mamahnya dengan Myra yang berkemungkinan besar adalah kakaknya. Dirinya tidak menyangka bahwa akan mencintai kakak kandungnya yang telah lama mereka cari, apakah takdir harus sejahat itu kepada Rama. Namun apakah ini tidak terlalu kelewatan untuk Rama yang hanya memiliki kenakalan yang wajar sebagai anak remaja, dirinya bahkan tidak mengkonsumsi barang terlarang atau minuman keras yang membuat dirinya pantas mendapat hukuman ini.

"Kalo kata aku sih, mending kamu tanyain langsung ke Myra atau Tante Risa. Daripada kamu kesiksa sama tebakan yang belum sepenuhnya benar, bisa aja itu cuma ketidak sengajaan yang menurut kamu sesuai sama tebakan mu" jelas Henry mencoba memberi solusi pada Rama.

"Percuma, mamah nggak akan ngasih tau aku" jawab Rama putus asa.

"Myra, kamu udah tanya Myra?" tanya Henry.

"Menurut mu?".

"Perlu, sana. Coba tanya, nggak ada salahnya kan? Mungkin aja mereka ada hubungan, tapi bukan antara ibu dan anak. Karna kamu tau sendiri kan? Keluaga mu donator di SMA kita dan Myra pernah menjadi guru pengganti disekolah kita" jelas Henry memberi alasan yang cukup logis untuk kedekatan Tante Risa dan Myra.

"Oke, aku pergi ya. Doain ya" ijin Rama pergi meninggalkan Henry yang masih belum bisa menyelesaikan rasa bersalahnya terhadap Lara.

Deru mesin mobil melaju dengan kencang dan hanya perlu beberapa menit untuk sampai didepan halaman rumah Myra, Rama berusaha memantapkan diri dan menyiapkan beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakannya kepada Myra tanpa membuat Myra merasa tak enak. Dibukanya pintu mobil Rama dengan amat hati-hati, dirinya melangkah menuju pintu rumah Myra. Diketuknya pintu kayu rumah Myra yang dihiasi tanaman yang digantung disekeliling rumahnya, namun betapa terkejutnya Rama saat mendapati orang yang ia kenal mambuka pintu rumah Myra. Perasaan linglung membuatnya tak mampu berkata-kata lagi, dirinya kemudian terduduk dikursi depan rumah Myra dengan terus menatap seorang wanita yang tadi membukakan pintu rumah Myra.