Langkah demi langkah Henry berjalan menuju warungnya, perut yang kekenyangan membuat kantuk dimatanya kian menguat. Namun tuntutan masa depan Hani membuat Henry mengabaikan rasa kantuk dan lelah yang ia rasakan, dirinya memang tidak menggantungkan hidupnya di warung saja. Beberapa pekerjaan serabutan ia jalani hingga menjadi kuli panggul di pasar pun ia lakoni, kini hidupnya semakin membaik seiring berjalannya waktu dan tingkat pendidikannya. Dirinya yang sering dimintai tolong menjadi pengisi acara bahkan menjadi penyiar radio dibeberapa stasiun radio, meskipun sebagai pengganti penyiar tetap yang terkadang memiliki kegiatan mendadak atau karena sakit. Langkahnya kini terhenti saat menyadari lampu warungnya telah menyala, siapa lagi kalau bukan Aldi yang membuka warung. Aldi memang sangat suka membantu Henry dalam menjalankan usaha warungnya, karena tak jarang saat omset warung melebihi hari-hari biasa tentulah Aldi mendapat jatah untuk jajannya setiap hari. Namun ketika warung nampak sepi, Aldi sering kali menolak pemberian Henry, karena dirinya paham betul jika Henry pasti kesulitan mengatur modal yang akan diputarnya lagi menjadi bahan-bahan jualan. Aldi sudah sangat akrab dengan Henry, hingga tak jarang pelanggan mengenal mereka sebagai kakak adik. Henry yang awalnya ingin melanjutkan perjalanannya menuju warung kini malah berbalik arah menuju warung kopi yang berada tak jauh dari warungnya, betapa terkejutnya Henry saat mendapati Lara yang sedang asik bermain dengan adiknya, Hani.
"Ini coba dihitung dulu, caranya yang besar taro dimulut, yang kecil taro dijari. Berapa ini? 7+6, berarti yang 7 dimulut dan yang 6 ditangan. Habis 7 berapa? Delapan, Sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga be?" jelas Lara mengajari Hani berhitung.
"Lasss!!!" jawab Hani semangat.
"Nah, pinter!" jawab Lara mengelus kepala Hani dengan lembut.
Mereka tanpak akrab dan jelas terlihat kasih sayang diantara mata mereka berdua, tidak pernah dirinya melihat Hani yang sebahagia itu mengerjakan tugas rumahnya. Biasanya Hani akan mengerjakan tugas dengan kepala yang berat sekali untuk diangkat, kini dirinya malah melihat Hani tersenyum lebar saat mengerjakan tugas. Galau hatinya memikirkan cinta yang sangat rumit, kebingungan Henry semakin bertambah saat dirinya teringat pada kejadian beberapa hari yang lalu.
"Padahal cuma nemenin orang mabok, tapi orang mengira gue wanita nggak bener" kalimat itu kini bersarang dikepala Henry.
Cinta itu bagaikan kaktus, semakin keras kamu genggan makan hanya darah yang keluar dari tangan mu. Tapi jika dirimu sedikit terbuka dan melepaskan tangan mu, mungkin bukan cuma kamu yang dapat menikmati keindahan bunganya. Jadi, semakin dirimu keras terhadap prinsip mu, hanya akan ada penyesalan dan kecewa yang menghantui hari mu. Namun jika dirimu sedikit terbuka dan mencoba berpikir lain mengenai cinta mu, mungkin bukan cuma kamu yang merasakan kehangatan itu, misalnya saja Hani. Hani yang terlihat mengantuk akhirnya jatuh dipangkuan Lara, dengan sabar dan telatennya Lara menidurkan Hani. Dielusnya dengan lembut rambut Hani, sambil diselimutkannya jaket yang dipakainya untuk menutup tubuh Hani agar tidak kedinginan. Dilihatnya pula Aldi yang berjalan keluar dari warung menuju rumahnya yang berada dibelakang warung dan disekat oleh gang kecil yang mengharuskan Aldi berjalan memutar. Henry yang melihat itu langsung berlari dan menahan langkah Aldi.
"Al, udah dari tadi cewek itu disitu?" tanya Henry menunjuk Lara yang duduk memangku kepala Hani
"Dia disana udah dari siang mas, katanya sih nemenin Hani yang sendirian di warung. Aku baru aja tadi sore kesini buka warung, dari tadi dia yang jagain sampe suapin Hani makan. Eh, udah ya mas. Aku dipanggil ibu" kata Aldi yang kemudian berjalan meninggalkan Henry.
"Kayanya dia sering main di warung kamu ya, le" kata seorang penjual warung bernama Bu Tami.
"Ah, iya bu" jawab Henry kembali duduk dikursi dan menikmati sisa kopinya.
"Dia sebenernya anak baik, cuma nasibnya aja yang bikin dia jadi kaya gitu" jelas Bu Tami sambil mengelap gelas yang telah selesai ia cuci.
"Loh, Bu Tami kenal dia?" tanya Henry penasaran.
"Dulunya dia tinggal dipanti asuhan, dia anak yang paling besar dan suka mengantar kue buatan ibu pantinya untuk dijual di warung majikanku dulu" jelas Bu Tami lagi.
"Dia dan adiknya pernah diangkat sama sepasang suami istri, tapi ternyata mereka malah mau dijual di tempat nggak bener. Kasian banget le, untung aja mereka bisa kabur" imbuh Bu Tami.
"Loh, dia punya adek, bu?" tanya Henry lagi.
"Punya, tapi adik kandung atau adik bareng dipanti juga ibu kurang tau" jawab Bu Tami.
"Dia anak baik, le. Kalo kamu suka, jangan sampe bikin dia sakit. Dari kecil nggak pernah seneng itu anak" kata Bu Tami sembari memberesi barang dagangannya karena warung akan segera tutup.
"Gih, sana kamu temuin dia. Ibu mau beres-beres dulu, udah malem juga" kata Bu Tami meyakinkan Henry untuk segera menemui Lara.
Setelah mendengar seetik cerita hidupnya, kini Henry mulai memahami Lara. Sangat tidak mungkin Lara berbuat diatas batas wajarnya, karena dia saja nekad melarikan diri saat harus melayani laki-laki. Dukungan serta sokongan dari Bu Tami membuat dirinya memberanikan diri menemui Lara. Dilihatnya Lara yang menidurkan Hani diajak kursi dengan bantalan tas sekolahnya, buru-buru Henry berlari menuju Lara. Dirinya tak ingin lagi menyesal untuk yang kedua kalinya, jika bukan sekarang saatnya.
"Aku sayang sama kamu, Ra. Aku cinta kamu" bisik Henry yang dengan sengaja memeluk Lara hingga membuat Lara tak bisa berkata-kata dan hanya memandang luas pemandangan jalan raya dimalam hari. Nafanya seketika terhenti, pandangan matanya kabur dan mulutnya seakan kering. Untung saja Hani telah tidur dan Aldi sudah pulang, sehingga mereka berdua bisa bebas berpelukan tanpa merasa malu.