Chereads / Friendshit Zone / Chapter 4 - Sarapan Bersama Keluarga Arjuna

Chapter 4 - Sarapan Bersama Keluarga Arjuna

Makanan sudah terjejer rapi di meja makan. Semuanya sudah berkumpul di kursinya masing-masing untuk sarapan bersama. Sementara Yuni masih sibuk menyiapkan sesuatu di dapur.

"Rara cepetan duduk, Nak. Ayo sarapan," sapa Yuni ketika melihat Kiara sudah datang.

Sudah menjadi kebiasaan keluarga ini untuk melakukan sarapan pagi bersama-sama dengan tujuan agar tetap terjaga kedekatan di antara keluarga. Bahkan Arya, papa Arjuna juga sudah berada di sana sebelum pergi bekerja, karena siang dan malam pun tidak dapat dipastikan mengikuti makan bersama.

"Rara, sudah bangun?" Sapa Arya, papa Arjuna yang sudah duduk di kursinya.

Kiara yang datang terlambat pun berjalan malu-malu menuju kursinya di dekat Arjuna, semua orang sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama. Hal ini sangat berbeda dengan di rumahnya, bunda nya yang harus berangkat pagi-pagi ke rumah sakit terkadang tidak sempat menyiapkan sarapan, sedangkan ayahnya juga sering makan di luar, jadi Kiara pun jarang sekali makan di rumah apalagi bersama-sama seperti ini.

"Sudah, Paman, hehe," jawabnya dengan ringisan kecil kemudian mendudukkan dirinya di kursi diantara Arjuna dan Byan.

Kiara masih merasa malu-malu dengan Arya, papanya Arjuna, dia sering merasa canggung jika harus memanggil nya papa, berbeda dengan mamanya Arjuna yang memang sudah sangat dekat dengannya, ia terbiasa memanggil dengan sebutan mama sejak dulu kepada mamanya Arjuna.

"Kak Ra agak terlambat sedikit, tapi tidak apa-apa. Kita semuanya juga belum makan kok," bisik Byan di sampingnya dengan menunjukkan jempol di depan wajahnya.

Kiara tersenyum lebar menanggapinya dan mengangguk, kemudian ia beralih memandang Arjuna yang berada di sebelah kirinya. Cowok itu hanya memandangnya sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Ia mengambil piring dan makanannya untuk dirinya sendiri.

"Untuk ku?" Tanya Kiara padanya. Arjuna meliriknya kemudian berdecih kecil tak memedulikannya dan tetap melanjutkan menikmati makanannya sendiri.

"Ambil sendiri, punya tangan, 'kan? Masih berguna?"

Kiara memberengut kesal dan mengerucutkan bibirnya. Arjuna tetaplah Arjuna, tidak ada rasa perhatian sedikitpun untuknya. Padahal mereka sudah berteman sejak lama, mungkin memang baginya 12 tahun bersama itu tidak ada apa-apanya, cowok itu tetap saja bersikap dingin bahkan kepada dirinya.

"Tapi, 'kan aku tamu di rumah ini, kamu sangat tidak ramah kepada orang yang sedang bertamu," protesnya sengit menyindir cowok berkaos polos di samping kirinya. Arjuna menyunggingkan senyuman miringnya.

"Kalau biasanya tamu di sini tidak langsung meminta makan seperti mu, biasanya mereka lebih memilih untuk menolak ketika mama mengajaknya makan," jawab Arjuna dengan datarnya. Ia tak membalas tatapan Kiara yang ditujukan kepadanya.

"Apa?" Mata Kiara membulat dengan alis terangkat. Ia tak menyangka si kutub Utara akan menjawabnya sekejam itu. Jadi maksudnya dia mengusir dirinya dengan sindiran lembut begitu?

"Juna, jangan gitu ah. Ambilin juga dong buat Kiara," kata Arya menengahi perdebatan itu.

Arjuna menghela napasnya lelah, bahkan papanya sendiri pun membela Kiara bukan dirinya. Siapa sebenarnya anak kandung di sini?

Byan tertawa keras melihat tingkah mereka berdua. "Hahahaha ...."

"Sudah kak Ra, jangan didengerin omongan si Jun-jun, dia emang gitu kalau lagi kelaparan." Kiara mengangguk beralih menatap Byan dan menyetujui ucapannya.

"Byan, kamu manggil aku apa?!" Arjuna kembali bersuara saat mendengar adiknya berbicara tentang dirinya.

"Nggak, Kak Ajuun. Aku nggak ngomong apa-apa," sahutnya terkekeh menirukan gaya panggilan Kiara kepada Arjuna.

"Ada apa sih ini ribut-ribut? Udah ayo cepat dimakan ntar keburu dingin makanannya." Yuni telah menyelesaikan pekerjaannya dan bergabung untuk makan bersama.

"Jadi itu jawaban ku kalau kamu datang sebagai seorang tamu. Lagian juga aku tidak tahu porsi makanmu seberapa banyak, jadi jangan manja! Ambil makananmu sendiri!" balas Arjuna tak kalah sengitnya.

Kiara merebut piring kosong itu dari Arjuna dengan tatapan siletnya. Ia mengambil nasi secukupnya dan lauk yang paling dekat dengannya. Kemudian segera melahap makanan sendiri tanpa berbicara apapun lagi kepada Arjuna. Dia sungguh kesal dengan sikap cowok itu kepadanya.

Arjuna menatapnya tersenyum kemudian. Bukannya tidak mau mengambilkan, tetapi ia ingin melatih Kiara agar tidak terbiasa manja. Mungkin memang orang tuanya sendiri yang memanjakannya saat di rumah, tetapi berhubung gadis itu sedang di rumahnya, jadi dia juga harus mengikuti peraturannya di sini.

"Dasar cowok pelit, nggak perhatian. Udah dingin kek es batu," gumamnya pelan agar tidak terdengar oleh Arya dan Yuna yang juga sedang makan di sana. Tetapi Arjuna masih mendengarnya jelas jika perkataan itu ditujukan untuk dirinya.

"Nih, airnya. Jangan lupa minum, ntar keselek pas makan sama ngocehnya."

Arjuna menyodorkan gelas berisi air putih hampir penuh kepadanya. Laki-laki itu cukup perhatian di dengan memberikannya minum, tetapi tidak lupa dengan sindiran khasnya dibelakang. Kiara tidak lagi berterimakasih tetapi malah merebut gelasnya dengan cepat dan meliriknya sewot.

"Aku sudah tau!"

Semuanya makan dalam diam, tidak ada pembicaraan lagi di meja makan. Sudah menjadi kebiasaan keluarga di sini lebih mementingkan etika. Yaitu ketika sedang makan tidak boleh ada yang berbicara kecuali yang penting dan sangat mendesak saja, beberapa menit di sana hanya terdengar suara dentingan pelan sendok yang tak sengaja beradu dengan piring.

Tak lama kemudian terdengar suara deringan telepon rumah yang berada di ruang tamu, yang tidak terlalu jauh dari meja makan hanya tersekat oleh tembok di sebelahnya.

Kriiingg

Kriiingg

Kriiingg

"Siapa yang menelepon?"

Byan dengan semangatnya segera beranjak dari kursinya. "Aku aja yang ngangkat teleponnya!"

"Ya sudah, tolong angkatkan teleponnya ya, Nak?"

"Siyap, Mah."

Dengan kecepatannya berlari Byan sudah berada di ruang tamu dan mengangkat gagang telepon nya berdekatan dengan telinga.

"Halo, ini siapa, ya?"

Tak terdengar jawaban apapun dari ruang makan karena suaranya yang sangat lirih. Juga terhalang dengan tembok di sampingnya membuat mereka tidak begitu jelas mendengarkannya.

"Mah, ini bibi telepon!" Teriak Byan dari ruang tamu. Yuna yang mendengarnya segera beranjak dari kursinya meninggalkan sarapannya sebentar.

"Iya tunggu sebentar, Nak. Mama kesitu," ucap Yuni bergegas mendatanginya.

Kiara melihatnya kebingungan, sedangkan Arjuna tetap melahap makanannya tanpa terganggu apapun.

"Itu bunda?" Tanyanya kebingungan, biasanya memang bundanya sering mencari dirinya ketika tidak pulang semalaman.

Arya menatapnya tersenyum. "Kamu pasti belum meminta ijin bundamu, 'kan tadi malam kalau mau nginep di sini?"

Sekarang Kiara yang cengengesan seperti orang bodoh. Dia memang tidak pamit apapun kepada bunda ataupun ayahnya. Kiara pikir mereka segera paham kalau dirinya bermalam di rumah Arjuna. Karena kemana lagi dia akan pergi sampai menginap kalau tidak ke rumah tetangga dekatnya ini?

"Iya, Lin. Rara di sini sudah sejak tadi malam." Mama Yuni berbicara dengan Lina, bundanya di telepon.

" ... "

"Ah, kalau itu nggak tau. Aku kira Rara udah ngomong ke kamu, tapi dia sekarang sudah di sini, aman. Dia sedang sarapan bareng-bareng di sana."

" ... "

"Iya, nanti aku sampaikan ke Rara."

" ... "

"Iya, sama-sama."

Mama Yuni menutup teleponnya dan mengembalikan gagangnya di tempatnya. Kemudian ia mengajak Byan balik ke meja makan melanjutkan sarapannya.

"Itu tadi bunda, Mah?" Tanya Kiara sesampainya Yuni di meja makan.

"Iya, itu bundamu lagi nyariin kamu. Pasti kamu kan tadi malam belum pamit sama bundamu. Kasihan loh bunda nyariin kamu kayak gitu, lain kali jangan gitu, ya, Sayang? Boleh nginep di sini, tapi ya harus pamit dulu," nasihat Yuni kepadanya.

Wanita paruh baya berumur 40 tahun itu tersenyum memandang Kiara yang sedang menundukkan wajahnya. Ia sudah terbiasa dengan sikap ceroboh putri sahabatnya ini yang kerap kali membuat bundanya sendiri kebingungan.

"Iya, Mah. Maaf," jawab Kiara menyesal. Menundukkan kepalanya memandang meja makan.

"Kubilang juga apa. Harusnya kamu pamit dulu, bilang sama bundamu, jangan asal main aja ke sini. Tuh, 'kan bundamu jadi khawatir nyariin kamu. Jangan diulangi lagi!" Tambah Arjuna yang malah semakin membuat Kiara merasa bersalah dan menghentikan sarapannya.

Yuni memberi isyarat kepada Arjuna agar berhenti dan tidak mengatakan seperti itu lagi. Tetapi Arjuna gagal paham dan mengangkat bahunya.

"Kenapa? Benar, 'kan yang kukatakan?"

Semua orang memandang ke arah Arjuna. Suasana menjadi canggung sekejap. Byan yang melihatnya segera mengalihkan atensi.

"Nggak apa-apa, Kak Ra. Kamu sering-sering nginep di sini, nanti tiap malem ajarin aku menggambar dan melukis. Aku tau kakak pandai melukis, jadi nanti ajarin aku, ya?" Pinta Byan memecahkan suasana canggung di meja makan.

Kiara kemudian mengangkat wajahnya tersenyum dan mengangguk ke arah Byan. "Iya, pasti. Aku bisa mengajari mu melukis apapun, nanti ya kalau aku sudah longgar aku ajarin kamu sampai bisa."

"Yeay, makasih, Kak Ra. Soalnya kalau aku minta ajarin Kak Juna pastinya malas nggak mau ngajarin aku," jawab Byan sambil melirik ke arah Arjuna yang berada di seberangnya setelah Kiara.

Arjuna yang mendengarnya hanya berdecih kecil. "Aku lagi yang kena," gumamnya lirih terus melahap makanannya tanpa mendengarkan apapun lagi.

***