Chereads / Friendshit Zone / Chapter 9 - 9. Belajar Melupakannya

Chapter 9 - 9. Belajar Melupakannya

"Yang sabar ya, Ra. Kamu pasti bisa melewatinya, sudah ikhlasin aja cowok kayak gitu. Cowok yang nggak tau cara ngehargai ceweknya, cowok yang suka main di belakang. Udah ... Nggak usah sedih lagi," tutur Adel sambil mengusap-usap punggung teman sebangkunya yang sedang bersedih, menundukkan wajahnya di meja.

"Iya, Ra. Kamu itu nggak boleh nangisin cowok kek dia. Dia itu tuh nggak pantes kamu tangisin, harusnya malah dia yang nyesel udah ninggalin kamu."

"Hu'um, bener tuh kata Melani," sahut Serina.

Adel juga mengangguk menyetujui ucapan Melani.

Kiara mengubah posisinya menghadap teman-temannya. Ia mengusap air matanya dengan kasar.

"Tapi aku nggak bisa, Mel. Dia itu udah lumayan lama sama aku, udah menjadi kebiasaan aku sama dia. Dan kalau tiba-tiba harus berpisah seperti ini, keknya aku yang nggak bisa."

Teman-teman memandangnya dengan sendu. Biasanya Kiara yang paling ramai di kelas, dia yang ceria dan pembawa suasana baik.

Tetapi hari ini gadis itu harus bersedih karena sesuatu. Karena seorang cowok yang tidak tahu cara menghargai wanita, menghargai ketulusannya, menghargai cintanya.

"Walaupun dia sudah nggak mikirin aku lagi atau udah bener-bener nggak ada perasaan buatku, tetapi entah kenapa aku yang nggak bisa. Aku nggak bisa tiba-tiba harus melupakan semua kenangan-kenangan yang dulu, semua kehangatannya, kasih sayangnya padaku. Aku seperti hanya sepihak yang mengharapkan semua kembali seperti semula."

Kiara sendiri sebelumnya sudah bertekad untuk melupakan semuanya. Namun, ternyata usaha tidak semudah yang direncanakan. Dia berencana untuk tidak memikirkan lagi mantannya, tidak menyebut namanya, dan tidak mengharapkan dia kembali.

Tetapi ternyata itu semua sangat sulit untuk dilakukan. Yang dimiliki Kiara adalah mencintai dengan ketulusan, tetapi ia tidak menguasai cara melupakan dengan baik.

"Hmm, yang sabar ya, Ra. Ini adalah ujian, cowok baik pasti akan mendapatkan cewek yang baik juga, begitu pun sebaliknya. Aku yakin, pasti ada cowok yang lebih baik lagi untukmu, Ra."

Melani mengelus lengannya memberikan dukungan. Kiara menghela napasnya panjang.

Sedangkan di bangku belakang, Arjuna memerhatikan percakapan mereka. Ia menghela napasnya dan menyandarkan punggungnya di kursi. Riyan menyadari itu dan menepuk-nepuk bahunya.

"Sudah saatnya kamu menunjukkan eksistensi mu di hadapannya."

Arjuna menoleh melirik Riyan yang tersenyum padanya. Ia kembali menunduk dan memikirkan perkataannya. Dia sudah selama ini selalu bersama namun tidak pernah sekalipun memberikan pernyataan khusus pada Kiara. Hanya berani menemani dengan gulatan perasaannya sendiri.

"Aku juga setuju."

Arjuna menoleh ke depan ketika Adel berbicara sedikit keras.

"Sekarang itu harusnya kamu yang move on, nggak usah mikirin dia lagi. Kalaupun dia udah nggak mikirin kamu lagi berarti sudah waktunya kamu kembali kepada dirimu sendiri. Jangan terlalu tergantung dengan orang lain, jadilah dirimu sendiri. Tetap tegar dan bangkitlah, perjalanan mu masih sangat panjang."

Kiara memfokuskan pikirannya sejenak. Benar apa yang dikatakan Adel. Dia seharusnya yang menyudahi hubungan ini, kalau tidak ingin terjebak semakin dalam di bawah bayangannya. Dia harus bisa kembali hidup sendiri tanpa adanya Raka lagi di kehidupannya.

"Hmm ... Sepertinya benar apa katamu. Aku harus move on. Aku harus berusaha melupakan dia dan bangkit." Kiara bangkit dari meja dan meluruskan posisi duduknya.

Arjuna sempat terkejut melihatnya. Kemudian ia pura-pura membaca buku saat Kiara tak sengaja bertatapan mata dengannya.

Adel menyadari itu ketika pandangan Kiara ke arah Arjuna. Kemudian ia berdeham kecil.

"Itu juga kamu masih punya Arjuna. Kamu bisa minta bantuannya untuk membantumu melupakan si Raka," kata Adel memberi saran. Kemudian segera diberi anggukan oleh kedua temannya.

"Nah bener tuh, setuju aku," kata Melani.

"Iya, sepertinya akan lebih mudah kalau ada seseorang lain di sisimu, Ra. Apalagi Arjuna kan selalu bersamamu," sahut Serina.

"Hmm ... Kalian berpikir begitu, ya?" Tanya Kiara ragu.

"Iya, Ra. Memang kamu nggak mikir ke situ sebelumnya, padahal udah jelas-jelas ada Arjuna di depanmu," balas Adel.

Arjuna merasa salah tingkah ia membolak-balik halaman bukunya dan berusaha tidak kelihatan sedang mencuri-curi dengar obrolan mereka.

Kiara memandang Arjuna di bangku belakang yang masih sibuk belajar. Ia menurunkan bahunya lemas.

"Iya benar. Aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Aku menganggap Arjuna adalah saudaraku, jadi aku tidak bisa memanfaatkan nya hanya untuk masalah seperti ini," gumam Kiara lirih.

Teman-teman dapat mendengarkan nya, tetapi Arjuna tidak. Karena jarak antara bangku Kiara dengan bangkunya berjarak tiga bangku, lumayan jauh. Dia tidak dapat mendengarkan ucapan Kiara tentang dirinya, apa sebenarnya yang dipikirkan gadis itu tentang nya. Arjuna sangat penasaran dengan hal itu. Ia sedikit memajukan kursinya.

"Yah, kamu sendiri sih yang berpikiran seperti itu. Coba aja tanya ke Arjuna sendiri, bagaimana dia terhadap mu. Siapa tahu dia bersedia membantumu untuk hal ini, percayalah dia pasti mau melakukannya untukmu," ucap Adel mencoba meyakinkannya.

"Emm ... Okedeh. Akan kucoba nantinya, semoga aja dia paham kondisiku dan mau membantu," kata Kiara sambil memerhatikan cowok berambut hitam pekat itu di belakang. Tatapan matanya sendu seolah hanya dia adalah harapannya. Tidak ada cowok lain lagi yang segitu perhatiannya dengan dirinya kecuali Arjuna. Temannya sejak kecil.

***

Satu jam pelajaran telah terlewati. Mata pelajaran pagi tadi kosong karena Pak Tio, guru matematika sedang ada kepentingan sehingga kelas yang ditinggalkan disuruh belajar sendiri di kelas masing-masing.

Bel istirahat telah berbunyi. Para murid segera berhamburan keluar kelas.

"Aku masih ada urusan sebentar, kalian pergi ke kantin aja dulu nanti aku nyusul."

"Oke deh, jangan lama-lama ya. Aku udah laper banget, nih!" Adel menepuk-nepuk pelan perutnya.

"Hu'um, aku juga!" Seru Serina segera bangkit dari duduknya.

"Eeh? Kamu nggak makan bareng cowok mu, mana si Riyan?" Tanya Melani penasaran.

"Ehehe, enggak. Katanya dia masih ada latihan basket gitu, nggak tau sih. Entahlah, pokoknya aku ikut kalian!"

"Ooh gitu. Ya udah ayok!"

"Ra, kita pergi duluan, ya?"

"Iya, nggak apa-apa. Nggak usah dipesenin dulu akunya, ntar aku kesana pesen sendiri," jawab Kiara sambil memasukkan bukunya di dalam tas.

"Siap. Laksanakan!"

"Bye, Ra!"

Mereka bertiga segera pergi keluar. Sekarang suasana di kelas tidak seramai sebelumnya. Banyak yang sudah pergi ke kantin, koperasi, perpustakaan, dan lainnya.

Di kelas hanya ada tiga orang. Kiara di bangku depan, Arjuna di bangku belakang, dan satu lagi cowok yang sedang tidur di bangku pojok kanan dekat tembok.

Arjuna tidak tahu melakukan apa lagi. Ia tidak mengerti bagaimana cara menghibur orang yang sakit hati karena putus cinta. Walaupun sebelumnya Kiara sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya, tetapi ia tetap saja masih canggung jika disuruh menghiburnya lagi. Apalagi dengan perasaannya yang masih sama.

Di lubuk hatinya terdalam ia menginginkan untuk melakukan apa yang dikatakan Riyan tadi. Tetapi ia tidak ingin memanfaatkan keadaan terpuruk Kiara saat ini hanya untuk perasaan egonya sendiri. Bahkan dirinya pun juga sudah menganggap Kiara lebih dari saudaranya, lebih dari apapun di hidupnya. Ia tidak ingin egois.

Tapi tetap saja, perkataan itu selalu muncul di pikirannya.

'Lo aja masih nggak mau ninggalin zona nyaman mu, 'kan? Padahal orang lain aja sudah mulai berjalan ke depan.'

'Ini sudah jadi kesempatan mu, 'kan?'

'Sudah saatnya kamu menunjukkan eksistensi mu di hadapannya.'

"Aaishh! Kenapa rumit sekali!" Geramnya mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Eung? Ada apa, Jun. Kenapa kamu terlihat resah begitu, apa ada masalah?"

Arjuna terkesiap saat menyadari Kiara, gadis yang sejak tadi ia pikirkan tiba-tiba muncul di depannya.

'Sejak kapan dia di sini?'

'Ada dia mendengar ucapan ku tadi?'

'Eeh, nggak mungkin. Kan aku membatin tadi, nggak mungkin juga Kiara bisa membaca pikiranku.' batin Arjuna.

"Ehmm ... Nggak ada apa-apa kok, Key. Eee, ada apa? Kamu butuh sesuatu?" Tanyanya menawarkan sesuatu kepadanya agar tidak terlihat gugup sendiri.

Kiara menggeleng. Arjuna mengernyitkan keningnya.

"Ayo ke kantin!"

Arjuna mengedip-ngedipkan matanya tak percaya. Kiara mengulurkan tangannya kepada nya. Ia tidak langsung menyambutnya, tetapi masih banyak pikiran yang berseliweran di kepalanya.

"Kamu tidak lapar? Nggak mau ke kantin bareng aku?"

"Aku mau!"

Dengan secepat kilat Arjuna memegang tangan Kiara dan menggenggam nya. Ia tidak tahu apa yang membuatnya menjadi berperilaku aneh seperti ini. Apalagi saat Kiara tertawa melihatnya.

"Ahaha, benar, 'kan. Sebenernya kamu tuh lapar?"

"Ehe itu-"

Arjuna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia sangat canggung dengan sikapnya sendiri, ingin kembali menarik kembali tangannya dari Kiara. Tetapi gadis itu sudah menariknya untuk keluar.

"Let's go!"

Kedua tangan itu saling bertautan satu sama lain. Arjuna menahan senyumnya di belakang. Kiara sangat erat memegangi tangannya, ia pun menggenggamnya dengan baik. Mereka berjalan menuju ke kantin.

Dalam keadaan seperti ini, Arjuna merasa tidak ada yang salah dengan hubungannya. Ia merasa baik-baik saja walaupun tidak diakui perasaannya. Berhubungan dekat di antara sahabat tidak ada salahnya. Mereka pun juga pastinya lebih bahagia daripada harus menjalani hubungan kekasih dan berakhir kandas.

Arjuna merasakan bibirnya berkedut dan perlahan mengembang. Seperti ada ribuan kupu-kupu yang berada di perutnya. Dia tahu, hubungan sahabat itu tidak ada putusnya. Dan ia rasa ini akan baik-baik saja.

***