Ki Wilis pagi itu telah menyiapkan makanan serta minuman untuk resi Chandakara, yang baru saja menuntaskan semedinya. Cantrik satu ini semenjak kecil sudah mengabdi kepada Resi Pucangan tersebut.
"Silakan, Resi. Wedang jahe ini semoga memberikan kehangatan untuk Resi." ucap Ki Wilis.
"Terima kasih, Wilis. Oh ya tolong panggil Ki Ireng kemari."
"Inggeh."
Ki Wilis pun lalu meninggalkan bilik itu untuk mencari kawannya, Ki Ireng.
Pada belakang bangunan pertapaan, seorang lelaki berbadan tegap sedang sibuk menarik tali senggot sembari menembang dengan suara merdu.
"Wah pagi-pagi adi sudah nembang asmaradhana." tegur Ki Wilis, lalu ucapnya kemudian, "Apakah adi lagi wuyung dengan bidadari dari nirwana.?", Dan gelak tawa meriuhkan pertapaan di lereng Gunung Penanggungan itu.
"Hahaha... Kakang bisa saja."
"Oh ya adi, Resi Chandakara memanggilmu untuk menghadapnya."
Mendengar itu, Ki Ireng segera menghentikan kegiatannya dan menemui panutannya selama ini. dengan perlahan serta sopan, Ki Ireng mengetuk bilik Resi Chandakara.
"Masuklah Ireng".
Ki Ireng yang diiringi oleh Ki Wilis memasuki bilik yang tidak terlalu luas itu, dan duduk di depan Resi Chandakara.
"Kalian berdua sudah lama mengikuti aku dalam mengarungi kehidupan ini, serta aku telah menganggap kalian berdua seperti keluargaku sendiri." Dengan sareh Resi Chandakara mengawali perkataannya.
"Hari ini aku kembali meminta kesediaan kalian untuk membantuku, apakah kalian bersedia.?"
Kedua cantrik itu bingung saling pandang untuk beberapa waktu.
"Resi, kami berdua telah menyerahkan jiwa raga ini untuk mengabdi pada Resi, oleh karena itu apa pun perintah dari resi akan kami jalankan sesuai kemampuan kami, tentunya." kata Ki Ireng, yang diikuti oleh anggukan kepala Ki Wilis.
"Oh jagat dewa bathara, terima kasih atas ketulusan kalian berdua."
"Baiklah, Wilis aku meminta tolong kepadamu untuk pergi menemui Ki Mahesa Anabrang yang kini berada di kadipaten Pranaraga, katakan padanya untuk ke sini membawa putranya Adigama Bayu Shankhara."
"Baik Resi."
"Dan untukmu Ireng, tolong panggilah pamanmu Empu Citrajati kemari, katakanlah terdapat bahan mengagumkan di Pertapaan diriku."
"Baik resi, hari ini juga kami akan berangkat ke kademangan Tegowangi serta kakang Wilis ke kadipaten Pranaraga." sahut Ki Ireng selanjutnya.
"Berhati-hati kalian berdua di perjalanan, khususnya kau Wilis, jalan yang kau lalui akan bersimpangan dengan pasukan Demak."
"Baik resi, kami akan menjaga diri." ucap Ki Wilis. Dan hari itu juga Ki Wilis dan Ki Ireng siap berangkat dengan tujuan masing-masing. dua kuda berbadan sedang akan menjadi tunggangan keduanya.
"Resi, kami mohon diri."
"Berangkatlah kalian berdua serta berhati-hatilah." kata Resi Chandakara, melepas kepergian keduanya di regol Pertapaan.
Setelah memberi hormat, dua cantrik itu menaiki kuda masing-masing dan membedal kudanya. Keduanya membedal kudanya dengan pelan serta hati-hati ketika menuruni jalan yang tak terlalu lebar serta berbatu itu, hingga keduanya sampai dipersimpangan jalan, kuda mereka berhenti.
"Adi sampai di sini kita akan berpisah,berhati-hatilah."
"Baik kakang, begitu pula dengan kakang yang berjalan kearah barat." sahut Ki Ireng.
Akhirnya mereka pun berpisah untuk melakukan tugas masing-masing. Udara pada siang itu terasa panas serta menyengat, Ki Ireng yang melakukan perjananan menuju kademangan Tegowangi baru memperoleh setengah perjalananannya.Walaupun jalan yang dilaluinya jalur utama antara Ujung Galuh dan Daha, namun jalan itu sudah banyak rusak dikarenakan perang saudara antara Majapahit dan Kediri, apalagi ditambah campur tangan kadipaten Glagahwangi yang sekarang menjadi kesultanan Demak Bintoro, keadaan makin runyam.
Penguasa pura Kediri sepeninggalnya prabu Giriwardana, makin pudar serta mundur. banyak bekas prajurit menjadi begal serta kecu. Ki Ireng dengan santainya duduk di pinggir jalan yang ada pohon trembesi rindang. dalam ketenangannya itu, sayup-sayup terdengar derap kaki kuda.
"Siapa mereka.?" desis Ki Ireng perlahan.
Derap kaki kuda itu makin usang makin mendekat serta tampak, yang ternyata berjumlah dua kuda dengan penunggang dua orang lelaki berbadan tegap serta sangar. Sesampainya dekat pohon trembesi, keduanya menghentikan kuda mereka serta turun menghampiri Ki Ireng. Kedua pendatang itu sesaat saling pandang, selesainya memperhatikan buntalan yang menggelantung pada samping pelana kuda Ki Ireng.
"Maaf apakah kisanak juga dalam perjalanan jauh seperti kami.? tanya salah seorang pendatang itu.
"Begitulah kisanak,apakah kisanak berdua juga begitu.?"
"Benar, kami berdua ingin menemui kerabat kami yang berada di Daha." jawab orang yang terdapat tahi lalat di dagunya, "apakah kisanak seorang diri.?
"Iya ki."
Orang yang memiliki tahi lalat di dagunya,mengerutkan keningnya,lalu katanya, "apakah kisanak tidak mengetahui desas-desus pada Bulak di depan itu.?"
"Desas-desus apa ki.?" tanya kembali Ki Ireng dengan mengrenyitkan keningnya.
kedua penunggang kuda yang baru datang itu saling pandang mengetahui ketidak tahuan Ki Ireng tentang desas-desus di Bulak Sepi.
"Wah untung kisanak bertemu kami sebelum memasuki Bulak Sepi itu, ketahuilah kisanak di lebatnya bulak yang panjang itu, di huni oleh sepasang begal yang ganas serta keji." kata kawan orang yang ada tahi lalatnya.
"Benar apa yang dikatakan temanku ini kisanak, oleh karena itu kami melakukan perjalanan berdua, serta agar kisanak aman lebih baik bersama dengan kami." ajak orang yang bertahi lalat.
Mendengar hal itu, Ki Ireng termangu untuk sesaat.
"Bila kisanak ragu-ragu, lebih baik memutari bulak ini lewat pertigaan jalan yang tentunya kisanak lalui tadi. Itupun akan lama serta menyita banyak waktu"
"Baiklah kisanak, aku menyetujui usul kisanak berdua." Kata Ki Ireng, menyetujui usul kedua penunggang kuda yang baru tiba itu.
"Baiklah, jika begitu mari kita berangkat sebelum matahari makin ke barat."
Ketiganya lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan melewati Bulak Sepi. Bulak itu memang memiliki letak yang baik untuk para begal melakukan perampasan harta benda yang dibawa para pedagang maupun orang yang lalu lalang.
Kuda ketiganya tidak terasa sudah memasuki Bulak Sepi,makin kedalam banyak ilalang dengan tinggi orang dewasa tumbuh di kanan kiri jalan,dan hal yang menggetarkan sudah terjadi.
"Bersambung ..."