Chapter 5 - 5

Tanpa memedulikan makian dari Ki Danur, Ki Ireng dengan cepat membantu Ki Daru yang mengalami luka dalam. Kesigapan cantrik Resi Chandakara dalam memeriksa keadaan tubuh Ki Daru, telahmeredakan luka dalamitu.

"Minumlah butir ramuan ini, ki." Kata Ki Ireng, sembari memberikan sebutir obat kepada Ki Daru.

"Terima kasih..."

Selesainya membawa Ki Daru dan menyandarkan dibawah pohon mahoni, Ki Ireng kembali menghadapi salah satu dari Sepasang Begal Bulak Sepi yang tersisa.

"aku tidak menduga jika kakang Sanjaya dengan cepat kau kalahkan, tapi jangan sombong dulu kisanak." ucap Ki Danur,lalu lanjutnya "walau dia saudara tertua seperguruanku, tetapi dalam mendalami ilmu jaya kawijayan, dia sudah tertinggal jauh dariku."

"Hem maaf ki, bukannya aku menyombongkan diri, mungkin kisanak memang memiliki ilmu sundul langit serta aji yang mampu menghancurkan gunung, tetapi aku akan berusaha semampuku untuk menghadapi kisanak." Sahut Ki Ireng.

"Hahaha, baiklah bila kau sangat ingin tahu, aku akan meluluskannya dengan cepat."

Dan kuda-kuda yang kokoh sudah diperagakan oleh murid kinasih Resi Gangsiran. Kaki kanan agak ditekuk kedepan serta kaki kiri mendoyong di belakang, tangan kanan terbuka menyembah didepan dada kemudian tangan kiri terkepal di samping tubuh agak ditekuk menyiku. Sorot matanya begitu tajam mengarah tubuh lawan, seolah mampu menembus sampai dalamdada.

Kebalikannya dengan Ki Ireng, walau tidak menunjukkan kuda-kuda, namun sebenarnya kaki yang bertenaga itu begitu bertenaga mengakar kebumi. Hanya mengarahkan saja menggunakan jari terbuka miring saling disilangkan di depan dada.

"Hiiat..!!!" Teriakan Ki Danur mengiringi kaki menjejak tanah dan meluncur menyerang lawannya.

Kaki kanannya dengan sebat menyapu lambung kiri Ki Ireng, tapi lawannya sudah menangkis menggunakan tangan kananya yang berbentuk siku. Segera kaki kanan Ki Danur ia tarik kembali lalu di bagian tubuhnya kesamping yang dibarengi tangan kiri memukul mengarah ke ubun-ubun lawan.

Pukulan cepat dan ganas itu hampir saja mengenai sasaran, bila Ki Ireng tidak segera menggeser kaki ke belakang, walau begitu lawannya tak mau melepaskan begitu saja. Tangan kanan lawan yang terkepal mengarah di depan, dan kaki kiri tertekuk menyerang perutnya.

Walau terus diserang dengan gencar serta bertubi-tubi,Ki Ireng mampu menangkisnya dan membalasnya. Perkelahian pun berlanjut dengan seru dan betapa dahsyatnya tataran demi tataran meningkat selapis demi selapis. Tanah yang mereka pijak pun bagai teraduk bajakan sawah, daun-daun yang menguning juga tidak luput berguguran terkena hempasan berasal dari dua orang yang saling menyambar serta mencakar saling susul menyusul bagaikan dua ekor elang yang sedang bertarung di udara. Sementara itu Ki Daru yang bersandar dibawah pohon mahoni, terpana memperhatikan tata gerak yang rumit yang diperlihatkan Ki Danur juga Ki Ireng.

"Siapa sebenarnya orang yangmenghadapi kakang Danur itu.? Tata geraknya bisa mengatasi gerakan kakang Barong." Desis menantu Tumenggung Braja Wasiso itu. Sudah memakan waktu sekian lama pertempuran itu berlangsung, keduanya sekarang mulai merambah tenaga cadangan. Hempasan angin yang ditimbulkan pun makin dahsyat. Loncatan kaki mereka begitu ringan seolah tidak berbobot membuat tubuh mereka bergerak layaknya bayangan. Kalau hal itu dilakukan pada malam hari serta terlihat orang kebanyakan, pasti orang itu lari terbirit-birit ketakutan menduga melihat sepasang hantu.

Setelah dirasa sudah waktunya penuh pertarungan itu, keduanya tanpa mendapat aba-aba dengan cepat kebelakang menjaga jarak. Nalar serta budi menyatu yang mampu membangkitkan tenaga limpahan yang Maha Agung serta diterapkan sebagai aji pamungkas.

Ki Danur yang berdiri menggunakan kaki sedikit renggang dan telapak tangan saling digosokan, sampai mengeluarkan kabut tipis mengepul dari sela-sela telapak tangan, tidak sampai di situ saja kedua tangan Ki Danur telah membara.

"Aji Tapak Dahana." Desis Ki Ireng, disela dirinya mempersiapkan ilmunya, "Semoga Aji Tameng Waja ku mampu menahannya."

Ki Ireng dengan menyilangkan tangan dan kuda kuda yang kokoh siap menahan gempuran Aji Tapak Dahana. Sebuah teriakan yang keras disertai loncatan, sudah mengantarkan Ki Danur menggempur lawannya yang berdiri bertahan.

Suara dentuman serta ledakan mengoyak bulak sepi yang sepi itu. Daun-daun, ranting, serta batu-batu kecil sudah meranggas dan berterbangan terkena aji yang dahsyat itu. Sementara itu Ki Ireng yang mendapatkan gempuran itu terdorong dua tombak kebelakang dan dengan seperti tenaga menjaga keseimbangannya jadi tidak jatuh.

Lain halnya dengan Ki Danur, Aji Tapak Dahana seolah-seolah membentur tembok baja dan memantul mengarah ke dirinya sendiri, naas tubuhnya dengan deras terhempas mengenai pohon jati. Sesaat tubuhnya menggelepar serta sebuah tarikan nafas telah membuatn yawa Ki Danur tanggal dari raganya