BAB 20
DIA PELAKUNYA PART 1
[Author ver]
00:00
Rizal meninggalkan toilet umum
"Lama banget waktu kita terbuang nih nungguin kamu" keluh Wisnu yang segera berdiri.
"Maaf ya, besar banget tadi" ucap Rizal menggaruk kebelakang kepalanya.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan, nanti pak Bagas sama pak Tommy marah lagi" khawatir pak Aldo.
Pak Krisna, pak Aldo, Wisnu dan Rizal menyusul yang lain.
Saat sampai dilokasi mereka terkejut. Sama sekali taka da bangunan di sana.
"Hah? Apa yang mereka lakukan?" pak Krisna yang tak percaya mendekat ke pasar itu. Kini tak pantas lagi disebut pasar.
Semuah sudah rata dengan tanah, ditambah campuran semen yang melapisi bekas bangunan itu sudah mulai kering.
"Sebenarnya apa yang mereka tutupi?" ucap seorang laki laki berjalan mendekati mereka.
"Zere? Kamu baik baik saja?" ucap pak Tommy segera menghampiri anggota timnya itu.
"Bapak bertanya apakah aku baik baik saja? Pantaskah bapak bertanya seperti itu? Kenapa bapak tidak menghalangi mereka menghancurkan pasar ini?" Zere mendorong tangan pak Tommy yang menyentuh pundaknya.
"Itu perintah atasan!" ketus pak Tommy.
"Lantas? Jika atasan meminta bapak untuk bunuh diri, apakah bapak benar benar akan bunuh diri?" ucapnya tak kalah ketus.
Pak Tommy kehabisan kata kata, dia tak bisa mengelak. Dia sangat takut kehidupannya akan seperti sebelumnya, saat pembunuhan 10 tahun yang lalu terjadi.
"Pak, huhhh hahh" ucap Putri yang datang menggunakan motor vespa miliknya.
"Putri, apakah kamu sudah baikkan?" tanya pak Krisna.
"Tak perlu mengkhawatirkanku" Putri tersenyum melihat pak Krisna. "Ehh tapi, pasar ini kenapa tiba tiba…"
Pak Tommy pergi, Kembali ke markas, dia tidak nyaman dan merasa bersalah tiap kali melihat pasar itudia selalu saja berkata 'kita harus mementingkan masyarakat dari pada diri kita sendiri' namun nyatanya dia tak bisa seperti yang dia katakana. Dia malu.
"Ada apa pak?" Tanya Putri yang belum mengerti keadaan sekarang pada pak Krisna.
"Mereka berusaha menutupi kasus ini" jawab pak Krisna singkat.
"Tapi kenapa?" tanya Putri Kembali tapi tak satupun menjawabnya.
"Putri, katakana telepon macam apa yang kamu dapatkan?" tanya Rizal yang duduk didekat pohon.
"Dia bilang, aku memintanya datang lagi. Psikopat itu datang karena aku memintanya. Dia membunuh lagi karena ambisiku untuk menemukan pembunuh ibuku" Putri termenung, menganggap semuah itu kesalahannya.
"Tidak, kamu tidak salah Putri. Dia yang melakukannya jadi dia yang bersalah." Jawab singkat Wisnu.
"Sekarang kita ke markas dulu, dan akan melacak nomornya nanti" ajak Rizal karena saat ini hanya Rizal, Putri, Wisnu, pak Aldo, pak Krisna, dan Zere yang ada di tempat itu.
Mereka kemudian pergi meninggalkan TKP yang sudah 'bersih' itu.
Putri menyerahkan nomor ponsel 'pelaku' itu pada salah satu staff disana untuk diperiksa.
Mereka Kembali ke ruang divisi, mereka semuah berkumpul disana, kecuali pak Tommy.
"Dimana pak Tommy?" tanya pak Aldo kepada Wahyu, yang ikut meninggalkan TKP Bersama pak Tommy.
"Tadi bilangnya izin, gaenak badan. Kayaknya sih pak Tommy merasa bersalah dengan TKP itu" ucap Wahyu meyakinkan pak Aldo.
Pak Aldo mengangguk.
Mereka Kembali memeriksa berkas berkas itu.
10:00
Rizal dan Ravi masih tertidur. Sementara yang lainnya sedang bergiliran mandi dan memeriksa berkas itu lagi.
Dring dring dring.
Rizal tersadar saat mendengar ocehan telepon itu.
"Halo? Siapa?" ucapnya yang massih setengah terbangun "Pak Tommy?" ia berusaha membesarkan matanya mencari keberadaan pak Tommy "Sebentar, Wahyu Wahyu dimana pak Tommy? Ibunya menelpon dengan telepon kantor" Wahyu mendekat Rizalpun menyerahkan telepon itu pada Wahyu dan Kembali tidur bersama Ravi.
"Astaga? Benarkah? Sejak tadi malam saya tidak bisa menghubungi ponselnya dan istrinya, telepon rumahnya pun tidak ada yang mengangkat. Firasat saya tidak enak, bisa kamu cari kerumahnya?" ucap ibu itu.
"Ahhh, baik nanti saya akan pergi kerumahnya, saya akan beritahu ibu kalau ibu menelpon ke kantor, ibu jangan khawatir ya" ucap Wahyu sebelum mematikan teleponya.
"Kenapa?" tanya Putri yang telah selesai sarapan.
"Itu, ibunya pak Tommy, pak Tommy dan keluarganya tidak bisa di hubungi sejak tadi malam" jawab Wahyu yang kini meletakkan nasi bungkusnya diatas meja "Setelah sarapan aku akan kesana" jelasnya.
"Tidak usah, ibunya pasti sangat khawatir, biar aku saja yang kesana. Toh disaat seperti ini kita membutuhkan bantuan pak Tommy" Putri sembari memakan kerupuk yang dikeluarkan Wahyu.
"Hei jangan ambil!" cegatnya.
"Ini punya Rizal kan? Aku yang membelinya, harusnya aku yang mengatakan itu padamu" Putri yang terus makan kerupuk kulit sapi yang enak itu.
"Heheheh terimakasih" ucapnya memelas, diam diam menjauhkan bungkus kerupuk itu dari Putri.
Putri bersiap siap pergi ke rumah pak Tommy.
Membuka pintu divisi.
"PUTRI! TERIMAKASIH!" teriak Wahyu.
Putri memasang symbol 'oke' dengan jari kanannya.
Putri berkendara menggunakan motor merahnya menyusuri jalanan kea rah rumah pak Tommy.
"Permisi, pak! Pak Tommy!" teriak Putri sambal menekan tombol bel disana.
Sudah berulang kali dilakukan namun tidak ada balasan. Ia membuka gerbang itu dan mengintip lewat jendela disebelah pintu masuk.
Tidak terlihat ada tanda kehidupan disana.
Putri berulang kali mengetuk pintu rumahnya.
Namun ternyata pintunya tidak terkunci.
Putri segera masuk, takut terjadi sesuatu pada keluarga pak Tommy.
"Pak Tommy! Anda di dalam?" teriak Putri saat saat memasuki ruang tamu dan ruang ruang lain di dalam rumah besar itu.
Begitu terkejutnya Putri. Saat memasuki kamar tidur pak Tommy.
[Author ver]
"Pak Tommy! Anda di dalam?" teriak Putri saat saat memasuki ruang tamu dan ruang ruang lain di dalam rumah besar itu.
Rumah itu terlalu besar untuk ditempati seorang polisi dengan istri dan satu anak.
Begitu terkejutnya Putri. Saat memasuki kamar tidur pak Tommy.
Dikasurnya tergeletak istri dan anak perempuannya yang baru berusia 17 tahun, bersimbah darah.
Putri berlari mencari keberadaan pak Tommy.
Seorang gadis kecil yang berusia 13 tahun datang kearah Putri terlihat seperti sangat ketakutan.
"Kamu siapa?" Tanya Putri merunduk.
"A-aku a-anaak pak Tommy-y, mere-eeka berte-riak to-lo-ng" ucap gadis kecil itu.
"Anak pak Tommy?" Putri mengira pak tommy hanya memiliki satu anak perrempuan, hanya lusi. Karena pak Tommy hanya membicarakan lusi saja di kantor. Lusi juara ini, Lusi juara itu.
Gadis kecil itu menarik Putri keruang kerja pak Tommy.
"A-yahh" lirihnya menunjuk seseorang yang terpaku pada sebuah peti.
Terpaku. Berarti benar benar memaku tangannya di samping peti kayu itu.
Putri melangkah perlahan mendekatinya.
Didalam peti itu, ada jasad Dorta, yang lengkap dengan pakaian dinasnya.
"Apa yang terjadi?" Putri terkaget jemarinya bergetar bukan main, berusaha tidak panik didepan gadis kecil itu dan menelpon Rizal.