BAB 19
KASUS TERKUTUK
"Bagaimana dengan bang Dorta, apa kalian sempat pergi ke toilet umum itu?" tannya Arya yang masih saja mengkhawatirkan Dorta.
"Sebenarnya…" Weni celingak celinguk terlihat seperti orang ketakutan "Sebenarnya, aku yakin di setiap gang, di setiap took di pasar itu adalah pembunuhan" Weni murung.
"Weni? Sudah kamu serahkan berrkasnya?" tanya seorang lelaki bertubuh tinggi, kira kira 190cm memakai kacamata dan berjas lab datang menghampiri Weni.
"Ahh kak Desta, sudah kak hehehe" Weni menggaruk garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Rizal, Arya, cepat Kembali, nanti kalian dimarahin lagi" Desta seperti mengusir mereka berdua secara halus.
Mereka mengangguk dan meninggalkan ruangan itu.
"Bang, tulisan di dinding itu, seperti petunjuk kan? Pembunuhnya seperti mengenal orang orang itu dengan baik" Arya terus menatap Rizal yang lebih tinggi darinya.
"Iya, aku juga berpikir sesperti itu, apa walikota mengetahui sesuatu hingga memepercepat pembangunan Kembali daerah itu?" Rizal juga mulai curiga, ia berpikir pasti ada yang disembunyikan oleh orang orang berkuasa di luar sana.
"Tentang walikota, aku tidak yakin, berkatnya kota kitab isa lumayan maju seperti sekarang. Kalau saja tidak terjadi pembunuhan 10 tahun yang lalu!" Arya tampak kesal.
"Sudah, jangan bicarakan kejadian itu, terlebih dihadapan Putri" ketus Rizal.
"Heii kenapa? Kak Putri juga sering kok bicarain kejadian itu, akhir akhir ini juga dia bilang sering terbayang kejadian itu dan sering memimpikannya semenjak kasus pembunuhan ibu Nia dan Dimas. Karena kasihan jadinya dia jadi orang tua angkat mereka kan?" jelas Arya.
"Kejadian itu, salah satu korbannya adalah ibunya si Putri, dia membicarakan itu untuk menutupi kesedihannya dan dia sepertinya sekarang curiga jika orang ada yang dibalik kasus ini juga menjadi pembunuh ibunya" jawab Rizal yang matanya terpaku melihat jalanan, memikirkan betapa sedihnya hati Putri. Rizal sudah meminta Putri untuk tidak mengikuti kasus ini tapi Putri bersikeras akan menuntaskan kasus ini demi Nia dan Dimas.
"Benarkah! Astaga! Aku tidak mengetahui itu aku merasa bersalah" mata Arya terbuka lebar.
"Sudah cepat buka pintunya" pinta Rizal yang tidak bisa membuka pintu ruang divisi itu karena kedua tangannya memegang berkas berkas dari tim Forensik
[Author verr]
23:00
"Sudah cepat buka pintunya" pinta Rizal yang tidak bisa membuka pintu ruang divisi itu karena kedua tangannya memegang berkas berkas dari tim forensic .
Saat pintu itu terbuka, seluruh pandangan terpusat pada mereka berdua.
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa lama sekali?" pak Bagas mengernyitkan menghampiri mereka.
Mengambil paksa berkas berkas itu. Iapun menyerahkan pada pak Tommy.
Pak Tommy membolak balikkan lembar demi lembar seeprti yang dilakukan Rizal tadi.
"Ap aini? Mereka sudah gila!" mata pak Tommy mendadak membesar menatap Rizal dengan penuh amarah.
"Saya curiga di pasar itu masih banyak korban pembunuhan" jawab Rizal mendekati kursi pak Tommy.
Rahang pak Tommy mengeras. Ia tak percaya apa yang telah dibacanya.
"Ini tidak bisa dibiarkan, kita harus kesana lagi, passti psikopat itu meninggalkan jejak disana itu sebebnya…" Pak Tommy menggeleng gelengkan kepalanya "ayo cepat kesana kita mulai mencari lagi"
Mereka pergi kesana lagi.
Kali ini dengan berjalan kaki, karena mendadak mobil mereka ada yang mogok, bannya kempes sementara mobil tim BM mesinnya sama sekali tidak bisa menyala.
"Ahhh ap aini… bukankah kasuss kali ini sangat aneh?" Oceh Ravi berbisik pada Arya yang tepat ada di sebelahnya.
"Benar, aku juga merasa aneh, sejak mendiang bang Dorta bilang 'mereka ada di sekitar kita' wahhh aku jadi mencurigai beberapa orang" jawab Arya memeluk dirinya yang kedinginan.
"Aku juga mencurigai seseorang" ucap Ravi "Siapa?" tanya Arya kaget, mereka berteman sejak SD dan tak biasanya Ravi mencurigai seseorang. "kamu curiga sama siapa?" tanya Ravi balik pada Arya.
"Eii kamu dulu" Arya mendorong pelan Pundak Ravi.
"Kamu! Kamu! Kamu!" Mereka mendadak bertengkar karena tidak ada yang mau duluan menyebut nama seseorang yang dicurigai.
Mereka menghela napas Panjang, dan mengeluarkannya Bersama.
"Bang Rizal" bisik mereka bersamaan.
Mereka kaget bukan main.
-----
[Putri ver]
19:00
Kami sampai rumah, aku membangunkan Nia dan Dimas dari mimpi indah mereka. Dan berjalan Bersama mereka masuk kedalam rumah.
"Nia, Dimas sekarang kita resmi jadi keluarga" aku mengatakan hal itu dengan sangat Bahagia.
"Maksud kak Putri?" Tanya Dimas yang duduk di sofa sembari mengucek matanya.
"Kakak mengadopsi kalian" aku masih tersenyum mereka tampak tidak mengerti sama sekali.
"Adopsi?" Nia mengatakan itu dengan lemmah. Kini dia berbaring di paha Dimass.
"Gimana ya jelasinnya, kaka, secara hukum emm jadi kakak kalian, seperti hubungan kalian sama bang Andi" jelasku, aku bingung menjelaskannya pada dua anak polos ini.
"Kakak kan, memang kakak kami" ucap Dimas melihatku dengan mata indahnya.
"Ahhh begitu ya" aku tidak percaya, ternyata ini bukan kejutan bagi mereka.
"Kak, sejak awal sudah seeprti kakak kami, kakak mengurusi kami, bahkan lebih baik dari bang Dimas" Nia berjalan mendekatiku dan memelukku. Dimas pun begitu.
"Kami saying sama kak Putri " ucap mereka. Air mataku menetes.
"Kkak Putri masih sakit ayo istirahat dulu: ucap Dimas melepaskan pelukannya.
Aku menuruti kata mereka, aku pergi ke kamarku dan tidur di sana.
23:59
Dring Dring Dring
"Halo?" aku mengangkatnya tanpa melihat kontak yang menelponku "Halo?" taka da jawaban aku mengulanginya sebanyak 7x tetap tidak ada yang menjawab.
"Aku akan matikan teleponnya, pengganggu" sinisku menjauhkan ponsek genggam dari pipiku.
"Aku? Pengganggu? Sepertinya itu kamu. Kamu kemana? Bukannya kamu yang meminta aku datang lagi?" ucap orang yang suaranya di edit.
"Siapa kamu?!" aku meninggikan suaraku.
"Aku ingat saat ibumu berkata 'tidak, aku tidak akan melakukannya lagi, aku tidak akan meminta lebih, tolong jangan bunuh aku' hahhaha mata besar yang penuh harap itu membuatku senang bermain dengannya" dia tertawa seakan kejadian itu menyenangkan baginya.
"Apa maksudmu? Siapa ka…."
"Apa kamu massih ingin menangkapku? Aku Bersama teman temanmu sekarang hahaha kamu tetap pengecut" dia mematikan teleponnya.
"Halo? Halo?" Tentu saja tak ada jawaban darinya.
Aku dengan cepat mencari kontak Rizal.
"Halo? Halo? Rizal kamu dimana?" tanyaku.
"Sebentar Putri aku sedang buang air, ada apa?" jawabnya menggema
"Rizal aku serius, kalian pergi ke suatu tempat?" tanyaku Kembali seraya berdiri meninggalkan Kasur empuk itu.
"Ia, kami sedang di perjalanan ke pasar dibelakang markas tau kan? Ada apa?"
"Aku, mendapat telepon misterius, aku akan kesana sekarang" jawabku singkat.
"Tapi anak anak itu?" Rizal terdengar mengkhawatirkan Nia dan Dimas.
"Gapapa, sebenarnya aku sudah menyewa pembantu sekaligus pengasuh" ucapku menenangkan Rizal.
Aku mematikan ponsel dan segera bersiap mengenakan pakaian dinasku.