BAB 15
KUDA YANG RAKUS
"Kamu mau jadi polis ikan? Lihat itu laki laki yang paling tinggi, bermain basket, dia Bobby dan itu yang melempar handuk pada Bobby itu Namanya Dani, jika kamu pikir dengan menjadi kuat saja kamu bisa dengan mudah masuk polisi, kamu salah dan kamu juga akan kalah dari mereka berdua. Tes polisi bukan hanya tentang kekuatan tapi otak, dan otakmu itu sangat payah" ucapnya, aku membalikkan badan dan berdiri tegap dihadapannya.
"Apa maksudmu? Kamu pikir aku bodoh?"
"Saat ulangan apa kamu pernah tidak remidi? Yang mudah aja deh, apa kamu pernah mengerjakan pelajaran dengan sungguh sungguh?" dia mentapku tajam.
Ahh aku menyerah, siapa yang aku bohongi?
Aku Kembali duduk.
"Aku bisa mengajarimu, tapi sebagai imbalannya…"
"Aku akan melakukan semuah untukmu! Tolong jadikan aku polisi" aku Kembali menangis, imbalan apa? Seperti Sudah pasti saja aku akan diterima.
"Tidak, aku akan mengajarimu, bukan langsung simsalabim kamu jadi polisis" ia terkekeh, apa dia bisa mendenngar isi otakku?
"Baiklah sebutkan syarat untuk aku menjadi muridmu"
"Aku mau kita berteman" dia tersenyum padauk.
"Kamu bingung? Hari pertama sekolah tidak ada yang mau berteman denganku, dan saat mereka tau aku pintar mereka hanya memanfaatkan ku saat ada Latihan soal selebih itu mereka mengabaikanku. Tapi saat ada yang menyebar rumor ayahku seorang polisis terpandang disini, mereka selalu ingin bermain denganku, bahkan guru guru itupun, terdengar menjijikkan bukan?" ia menatap langit, sepertinya dia juga sepertiku.
"Tidak, aku tidak sepertimu, mentalmu sangat kuat"
"Kamu cenayang!" mataku melihatnya kaget, aku tidak akan memakai narasi mulai sekarang!
"Tambahkan saja narasinya, agar mereka tau kamu ada di novel ini, hahahaha. Aku tau hamper semua tentangmu"
"Selain cenayang kamu juga penguntit? Aku tidak mau berteman denganmu"
"Menguntitmu? Untuk apa? Siapa yang sekolah disini tidak tau tentang cerita sedihmu? Lupakan sekolah ini, kota ini sangat kecil tidak ada orang yang bisa menyembunyikan sesuatu di kota ini. Kamu selalu jadi pelampiasan orang tuamu kan? Kamu ingin menjadi polisi agar tidak tinggal Bersama mereka atau malah ingin melaporkan mereka karena perbuatannya selama ini?"
"Melaporkan orang tuaku? Tidak masuk akal"
Dorta mengangkat alisnya "Jika aku jadi kamu, aku akan melaporkannya. Tidak pedulli dia orang tuaku, kakek bahkan nenekku. Jika dia melakukan kesalahan maka dia salah terlepas dari segala hubungan kami" dia tersenyum kepadaku.
"Aku tidak tersenyum padamu, wajahku memang terlihat selalu tersenyum"
Buuuggh
Aku menghadihinya sebuah tinjuan.
Setelah hari itu, aku dan dorta semakin dekat. Dia membantuku mengerjakan banyak soal Latihan, dan akhirnya kami diterima menjadi taruna kepolisian.
Tapi kami berpisah, aku tetap disini menjalani masa pelatihan sementara Dorta menjalani masa pelatihan di Jakarta.
Kami bertemu setelah berpisah sekitar 2 tahun. Dan kami berada di tim yang sama.
Namun dia terlihat sangat berbeda, dia sama sekali tidak tersenyum lagi padauk.
"uhukk uhukkk uhukk, mereka di dekat kita uhukkk jangan jatuh lebih jauh uhukkkk jangan terlibat dengan semua ini, maafkan aku Zere" diakhir kalimatnya, Dorta tersenyum nafasnya tidak lagi berhembus.
Zere berteriak sekecencang kencangnya air matanya mencucur keluar tubuhnya mmebeku tidak percaya jika sahabatnya itu meninggalkannya untu selamanya.
"Dasar bodoh! Dasar lemah! Aku bilang bertahan sebentar lagi, ambulance akan datang! Jangan bercanda seperti ini!" Zere meronta ronta.
Disis lain,
"Lapor komandan, Dorta, Dorta diduga diserang juga oleh pelaku, kini keadaannya kritis, kami butuh ambulance dan tenaga medis" ucap lelaki yang memiliki tubuh sedikit gempal itu.
"Dorta?" pak Bagas seketika melihat kea rah pak roni, pria berumur 50-an, namun fisik dan rupanya masih sangat sedap dipandang. "Apa maksudmu! Baiklah urus dia dengan sebaik baiknya"
"Pak Dorta…" pak Bagas menghadap pak Roni.
"Anak itu membuat masalah lagi? Walaupun dia anakku, kamu harus lebih tegas padanya jika tidak nama kepolisian akan hancur" jawabnya memalingkan wajah.
"Tidak pak, aku pikir dia berusaha menangkap pelaku itu, sayangnya dia, tidak berhasil dan naas kini dia kritis" timpa pak Bagas berusaha menjelaskan pada atasannya itu.
"Hah! Cepat kita kesana, panggil ambulance" pak Roni panik setelag mendengar penjelasan pak bagas.
Pak Roni, pak Bagas dan Bobby pergi ke lokasi penyerangan Dorta.
Disana didapatinya Zere yang meronta ronta disebelah tubuh dorta yang sudah kaku.
"Apa yang terjadi!" teriakan pak Roni membuat Zere dan Ravi melihat kearahnya.
Mata Zere sembab karena banyak menangis berusaha bangkit dan berjalan kea rah pak roni.
"Ini semuah karena mu!" Ia mendorong jari telunjuknya pada dada sebelah kiri pak Roni.
"Jaga sikapmu" pak Bagas mencoba menghalau jari itu.
"Tidak, dia tidak ingin ayah seperti anda. Sejak dulu anda selalu menuntut lebih padanya. Itu membuatnya tertekan! Saat dipindahkan kesini pun dia sangat frustasi karena itu! 'Huh dari Jakarta dimutasi ke kota kecil ini, anak tidak berguna' itu yang anda katakana padanya kan? Dia selalu berusaha diatas orang lain karena itu. Dan saat dia dibebas tugaskan? Dia bahkan mencari pelaku sebenarnya! Itu semua karena toxic parent seperti anda!" Dengan napas tersenga senga Zere terus berteriak pada pak Roni.
"Minggir" balas pak Roni melemparkan tangan pada bahu Zere.
"Apa yang kamu lakukan? Kamu menikmati tidur di toilet kotor ini? Menjijikkan sama sepeerti ibumu" setelah mengatakan itu, pak Roni pergi.
"Orang tua macam ap aitu, katakana, orang tua macam apa yang melihat jasad anaknya dan mengatakan hal seperti itu!" Zere Kembali berteriak, Bobby memeluknya.
"Sudah, sudah… Ingat kata Dorta, jika terlalu mengikuti perasaan kita tidak bisa menjadi polisi hebat" Bobby berhasil menenangkannya.
Dorta dibawa dengan dibungkus plastic jenazah, karena mobil ambulance tidak bisa masuk ke area itu, mereka membopong jazad Dorta ke jalan raya.
Di sepanjang perjalanan, air mata Zere tak henti hentinya mengalir. Mendadak dia tak tau cara mengehntikan kesedihannya.
Ambulance datang meminta plastic jenazah itu. Zere juga ingin memasuki ambulance itu untuk memastikan Zere tetap aman disana. Namun petugas ambulance memintanya untuk tidak ikut dan berjanji akan menghantarkan Zere ke rumah sakit dengan keadaan aman.
Zere tidak mengindahkan, sampai sampai pak Bagas, Bobby dan pak Tommy menghalaunya.
Ambulance pergi semakin jauh meninggalkan titik itu.
Perasaan zere tidak enak, hatinya seperti memintanya untuk tetap menjaga jazad itu.
-----
Di TKP awal, ruko bekas rumah makan padang.
"Kak Putri, sebenarnya" Arya menghampiri Putri yang sedang melihat TKP kamar 1.
"Sebenarnya, tadi bang Dorta sms aku, dia mengirimkan beberapa foto dan juga pesan" Arya menyerahkan ponsel itu pada Putri.