BAB 14
ABEL
[Author ver]
Pintu lantai tig aitu terbuka lebar.
Terlihat seorang Wanita yang didandani bak pengantin dan menggunakan gaun putih yang menutupi mata kakinya dengan rambut hitam terurai kusut.
Tangannya diikat dibelakang kursi besar itu. Tak hanya tangan, mulutnya pun disumpal dan diikat mengelilingi senderan kursi.
Darah darah darah gaun putihnya dan sumpalan dimulutnya itu dihiasi dengan darah segar.
Pipi merahnnya menyentuh lantai semen yang dibanjiri darah.
"RAHMA!" teriak pak Krisna yang bergegas kesana.
Namun Zere dengan otot kekarnya berhasil mencegah pak Krisna.
"Lihat itu, anda akan merusak barang buktinya" ucapnya sinis mendorong pak Krisna kedekat pintu itu.
Sebenarnya, bukan hanya pak Krisna. Pak Aldo terlebih Putri juga kaget, baru aja ia membopong dan mengoleskan minyak kayu putih pada ibu hamil itu mengapa semua terjadi padanya? Apa salahnya? Apa maksud dari semua ini?
"HHAHAHAHAAH"
Terdengar suara tawa dari Gedung sebelah, seorang berbadan tinggi kira kira sekitar 170 an menggunakan topi dan pakaian serba hitam melambaikan tangan pada mereka yang berada dilantai 3 bangunan disebelahnya.
"Dia pelakunya?" Zere ternganga denga napa yang dilihatnya, apa pelaku kejahatan sekarang tidak takut dengan para apparat hukum?
"Hei! Kejar!" ucapnya lagi, dengan sigap Wisnu, Wahyu dan Ravi mengejar lelaki yang memakai hoodie yang kini juga lari melompati Gedung Gedung yang lain.
Disisi lain,
Suara Zere yang menggema dan terdengar sampai lantai bawah, membawa pak roni, pak Tommy, pak Bagas, Bobby, Dani dan beberapa petugas forensic segera menuju lantai 3.
"Apa yang kamu lakukan? Cepat keatas!" ucap Dani saat melihat Arya dari tim Alpha yang sedang asyik dengan telepon genggamnya.
Ia pun berlari mengikuti rombongan itu.
"Apa yang terjadi?" tanya pak Roni
"Mereka, mengejar pelakunya" jawab pak Aldo.
"Kenapa kalian diam disini seperti orang lemah? Ini sebabnya kalian tidak pernah ditempatkan di TKP kalian terlalu lemah!" Sindir pak Roni melihat jijik kearah pak Krisna.
-----
Mereka kehilangan jejak lelaki berhoodie itu.
"Huuhh hahhh, bagaimana ini bang?" keringat Ravi terpancar membasahi baju dinasnya.
"Ap akita harus berpencar?" tanya Wisnu yang tidak kalah letihnya.
"Baiklah sekarang kita berpencar, akku Bersama ravi kea rah barat, wisnu dan wahyu kea rah timur" ucap Zere seraya merapikan topi yang ia kenakan. Rambut Zere sangat basah, keriongatnya bagai hujan namun dia sama sekali tidak kelihatan Lelah.
Mereka Kembali berlari.
Zere Kembali mendengar suara tawa lelaki itu.
Sangat jelas terdengar, karena pasar tradisional ini sudah tidak lagi digunakan dan beberapa bulan lagi akan digusur.
Zere dan ravi berlari mengikuti asal suaranya.
Makin lama suara itu semakin dekat.
Zere membuka pintu toilet umum di pasar tradisional itu.
Suara pecahan kaca dan benda terjatuh terdengar.
Zere segera masuk dengan memegang pistol ditangan kanannya.
Terlihat ada seseorang yang kepalanya dibungkus karung goni, duduk menyender di dinding toilet itu.
Diatasnya ada tulisan 'Abel, temanmu datang begitu cepat. Maafkan aku tidak menyelesaikan ritual untuk kalian'
"Eeehhhkkk" suara itu berasal darinya.
Zere segera melepaskan karung goni itu.
"Dorta?! Ravi, cepat panggil ambulans" suara Zere sangat panik melihat sahabat karibnya itu yang lemas terus mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Uhuk uhuk, mereka didekat kita uhuk jangan jatuh lebih jauh uhuk" itu kata kata terakhir dari Dorta sebelum menghembuskan napas terakhirnya.
Zere berteriak sekencang kencangnya air mata mengalir deras kakinya terasa dingin.
-----
Throwback
[Zere ver]
2006, bulan januari dimana anak anak SMA menyiapkan ujian kelulusan.
"Zere erlangga! Karenamu kelas kita tidak menjadi peringkat 3 teratas try out!" bentak seorang Wanita 30 tahunan yang memakai blouse biru ditutupi jam krem dengan rambut dikuncir kuda tepat di depan meja Zere.
Seketika ia menjadi pusat perhatian dikelas.
"Kamu pikir karena nilaimu jelek hanya kamu yang bakal dihukum? Tidak Zere. Ibu dan teman temanmu juga! Kalian diharuskan mengadakan kelas malam untuk belajar ini semuah! Dan ibu harus menunggu di sekolah ini sampai kalian pulang!" bentaknya Kembali, kini wajahnya semerah tomat.
"Coba kamu contoh murid baru itu, Dorta Arafa dia mendapat nilai tertinggi di sekolah ini! Dia juga…."
"Terimakasih Zere, berkatmu aku bisa menambah jadwal belajar" Dorta tiba tiba ada didepan mejaku juga, dia pindah kesekolah ini pada bulan oktober kemarin dan baru kali ini bicara padauk.
Kutu buku ini, apa dia mempermalukan ku juga sekarang? Mentang mentang ayahnya kepala polisi disini.
"Berkatmu juga mungkin besok aku juga akan mendapatkan nilai tertinggi se Indonesia, dan ibu? Ibu guru seni kan? Setauku tidak ada ulangan kesenian di sekolah ini, dan dalam ujian nasional juga tidak ada? Jika ibu ingin pulang terlebih dahulu tidak apa apa. Ibu pikir dengan memarahi seperti ini dia bisa tiba tiba pintar? Tidak bu, semua butuh proses" aku tidak tahu apa yang terjadi padauk, diantara semuah orang yang menemani 18 tahun terakhur ini. Hanya dia, hanya dia yang membelaku di depan banyak orang.
Dia, apa yang terjadi, perasaan ini membuatku ingin menangis.
Bruuukk!
Suara nyaring kursi yang kujatuhkan, aku berlari aku tidak tahan dengan situasi itu.
Aku berlari ke atas Gedung, dimana tidak ada satu orang pun yang pernah kesana.
Aku menangis, aku tau aku tidak pintar aku juga tidak memiliki keluarga harmonis dan kaya seperti mereka apa karena itu mereka memandang aku rendah? Apa aku memang rendahan?
"Tidak" suara itu tidak, aku menoleh ke belakang.
"Hei kamu menangis? Apa kata kataku sangat berarti bagimu?" ia tersenyum dan duduk disebelahku.
"Ini, baca buku ini, kata kata itu adalah dialog buku ini hahahha apa aku sekeren itu?" Ia menyerahkan buku itu, buku yang berjudul 'Selamat Tinggal' covernya terlihat aneh dan tidak menarik sama sekali.
"Kamu, kenapa kamu tiba tiba membelaku?" Aku mengusap air mata, tidak mengambil buku itu dan malah berbalik arah. Aku sangat malu dilihat menangis seperti ini.
"Kamu mau jadi polis ikan? Lihat itu laki laki yang paling tinggi, bermain basket, dia Bobby dan itu yang melempar handuk pada Bobby itu Namanya Dani, jika kamu pikir dengan menjadi kuat saja kamu bisa dengan mudah masuk polisi, kamu salah dan kamu juga akan kalah dari mereka berdua. Tes polisi bukan hanya tentang kekuatan tapi otak, dan otakmu itu sangat payah" ucapnya, aku membalikkan badan dan berdiri tegap dihadapannya.
"Apa maksudmu? Kamu pikir aku bodoh?"
"Saat ulangan apa kamu pernah tidak remidi? Yang mudah aja deh, apa kamu pernah mengerjakan pelajaran dengan sungguh sungguh?" dia mentapku tajam.