BAB 4
TERBARING LEMAS
"Dek, istirahat dulu, kondisinya belum pulih benar" dokter dan perawat membantuku Kembali ke ranjang ini.
"Sebenarnya sudah berapa lama saya disini? Apa yang terjadi? Dimana bang Dimas? Dimana bang Andi?" Aku menanyakan semuah yang ada dipikiranku saat itu, aku takut sesuatu yang bruruk menimpa mereka.
"Hahahhhah banyak sekali pertanyaannya, dek sekarang kamu pulih dulu ya, nanti kakak ceritakan semuahnya" polisi Wanita itu tertawa sembari menepuk kepalaku. Apa dia piker aku bercanda?
"Aku benar benar khawatir, kenapa kamu tertawa? Apa kekhawatirankuseperti lawakan di telingamu?" aku menghempas tangannya, memalingkan mukaku.
"Tidak saying, apa yang kamu bicarakan? Tentu saja aku akan menceritakan segalahnya padamu, tapi nanti setelah pak dokter memeriksa keadaanmu, kamu tidak ingin bertemu kakakmu?" Aku melihatnya sekilas, dia tersenyum manis. Ntah mengapa aku merasa nyaman di dekatnya. Seperti sosok ibu? Wanginya juga mengingatkanku pada ibu, manis.
"Iya dek, kata pak dokter Cuma periksa sebentar aja kok, boleh ya" dokter itu juga tersenyum padauk. Baiklah aku akan menunggu orang dewasa ini menjalankan tugasnya.
-------
"Jadi kamu sudah bertemu bang Dimas?" Ucapku menengok ke atas, ke arahnya.
"Sudah, diam anis sekali ya" ucapnya tersenyum tipis sembari men dorong kursi rodaku.
"Eumm ketemu dimana? Sebenarnya aku melihatnya pergi Bersama orang lain. Tapi aku mengira itu lelaki, ap aitu kamu?"
"Lelaki? Kamu ingat ciri cirinya?! Kapan kamu melihatnya?" Dia menghentikan laju kursi rodaku, terduduk dihadapanku dengan raut wajah kaget.
"Tidak, saat itu aku sangat pusing. Tapi aku mendengar suaranya, seperti usia 30an, aku tidak pernah melihatnya, ap aitu temanmu?"
Dia terdiam saat mendengar pertanyaanku diakhir. Raut mukanya berubah, dia tidak mempercayaiku.
Dia Kembali ke belakang tanpa berkata apapun, mendorong kursi rodaku hingga sampai di kamar nomor 119.
Aku kearahnya. Dia melihatky hanya dengan mata tanpa menurunkan kepalanya. Aneh.
Dia membuka pintu. Terus menatapku. Ntah mengapa aku terpaku saat menatapnya. Seperti ia mengendalikan tubuhku.
Pintunya perlahan terbuka dengan suara yang nyaring, membuatku merinding ngilu.
Aku melihat seseorang yang terbaring diranjang.
"Bang… Bang Dimas" aku berusaha berdiri dan berjalan ke arahnya, namun terus terjatuh. Mencoba merangkak, akhirnya tergapai. Walau sakit, tapi tak apa.
"Dia, masih sakit banyak luka di tubuhnya" polisi Wanita itu membuka tirai yang langsung menerangi ruangan ini.
"Kamu melihatnya? Orang itu, sepertinya dia yang melakukan semuah ini" ucapnya mengalihkan pandangan kearahku
"T-tttidak, aku berusaha mengingatnya, tapi tak bisa"
"Polisi sudah memeriksa TKP, dan menanyai saksi, tidak ada yang melihat orang masuk kedalam. Hanya kalian berdua saja disana. Aku tahu kamu masih 10 tahun, tapi bukan tidak mungkin kamu pelakuknya" Dia menghela napas Panjang
Lalu menatapku, berjalan lambat kearahku. Dia sangat mencurigaiku, sangat mengintimidasiku.
[Nia ver]
Polisi itu menatapku tanpa kedip, pelan pelan berjalan kearahku.
Dia sangat mencurigaiku, sangat mengintimidasiku.
"Hmmmm…tapi aku tidak percaya kamu melakukan ini, tapi aku akan mencari Taunya, aku akan mencari tahu siapa sosok lelaki yang kamu lihat waktu itu" dia tersenyum dan menepuk dahiku,
Aku menunduk, aku berusaha mencerna semuah kejadian ini. Bukankah ini terjadi begitu cepat?
Dari mulai ibu meninggal, bang Andi menjadi buronan pembunuhan ibu, ayahku juga menghilang tanpa kabar dan sekarang bang Dimas masih tidak sadarkan diri. Apa yang salah dengan keluargaku?
2 bulan setelah itu
"Bang sini bang!" Aku berlari di halaman belakang rumah kak putri, iya benar polisi Wanita itu sekarang aku dan bang Dimas tinggal dirumahnya ia takut kami akan kesusahan jika dirumah tanpa orang dewasa.
"Pelan pelan Nii, abang belum terlalu mahir menggunakan tongkat ini" ucapnya melangkah sambal tertawah manis.
"Aaaaaaaah abang mah ga seru, abang aja deh yang lari nanti aku kejar" aku berjalan pelan mendekati bang Dimas yang berusaha menghindar, yapp bang Dimas sangat lamban beradaptasi dengan tongkat itu.
"DIMAS NIAA!" Mata kami langsung tertuju kearah teriakan Wanita itu.
"Selamat dating di rumahkak putri!" kami menundukkan kepala tanda hormat pada kak putri.
"Abang kalian, Bang Andi! Bang Andi tidak bersalah atas pembunuhan itu!" Kak putri memeluk kami terasa seperti ia memenangkan kuis 1 Miliar, kemudia dia menangis samar samar terdengar "aku mengerti, Bayu kamu sudah tau kan Andi tidak bersalah, kamu ingin melindungi Andi dengan caramu, kalua begitu aku akan melindungi anak anak ini. Aku merindukanmu Bayu" seperti itulah walau tidak terlalu jelas karena tertutupi suara tangis.
"kakak bilang apa?" Dimas sepertinya tidak mendengar apa yang dibisikkan kak Putri itu.
"Bang Andi, dia, bukan dia yang memebunuh Ibu kalian, bukankah ini sangat melegakan? Polisi sekarang lebih intens mencari keberadaannya" kak Putri mengelap air mata yang membasahi pipi merahnya berusaha terlihat tersenyum dihadapan kami.
"Kak Bayu? Apa kakak merasa senang?" tanya ku membantu menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti.
"Iya, kakak senang sekali, kakak sangat merindukannya,seperti kalian merindukan bang Andi"
Aku tidak mengenal Bayu itu, tapi aku sering mendengar kak Putri menyebut nama itu. Tidak, aku tidak menguping tapi saat tidur kak putri berteriak memanggil Namanya. Tetangga kami juga sering memarahi kak Putri karena kebiasaannya berteriak saat tidur.
Pernah sekali, kak Putri berteriak "Bayu jangan pergi Bayu!" Satpam yang berkeliling langsung datang menerobos pintu rumah kami dan melihat kearah kak Putri yang sedang menggunakan masker kecantikan berdiri dan berteriak kepada mereka "HEI KALIAN, DIMANA BAY! CEPAT BERITAHU! KALAU TIDA KALIAN SEMUAH AKAN MATI DITEMPAT INI" salah satu satpam itu terjatuh dan kepalanya membentur gagang pintu, pasti sakit sekali karena banyak darah disana dan satpam lainya dikabarkan jatuh sakit berhari hari.
Kak putri merasa tidak enak dan segera meminta maaf atas kejadian hari itu.
Karena berteriak seperti itu aku pikir ia sangat membenci Bayu, tapi dilihat dari kondisi sekarang. Aku rasa ia sangat menyayanginya,
"Lalu siapa yang harus disalahkan, kak, apa yang sebenarnnya menimpa ibu" suara Dimas sangat hampa begitu pula dengan tatapanya kearah kak Putri sangat kosong.
"Kak Putri, ummm kakak sebenarnya…" suara panggilan masuk memutus penjelasan kak putri
"baiklah, saya akan membawa mereka juga" mata kak Putri tertuju pada kami, dia akan membawa kami kemana?
"siap siap, kita akan pergi sekarang" kak Putri pergi ke dalam rumah mendahului kami.
Siapa yang menyuruhnya membawa kami?
[Putri ver]
"Lalu siapa yang harus disalahkan, kak, apa yang sebenarnya menimpah ibu" dari suara Dimas aku merasa ia sangat sakit hati atas perbuatan orang itu.
Baiklah, aku harus mengatakan ini walaupun pahit untuk didengar
"Kak Putri, umm kakak sebenarnya…" dering telepon genggamku menghentikan percakapan kami.