BAB 3
APA BENAR ANDI?
Polisi terus mencari keberadaan mereka dan mendalami kasus ini.
Sejujurnya polisi juga tidak yakin Achmad Andi tersangka atas pembunuhan tersebut karena :
1. Achmad Andi tidak bisa menggunakan pisau dengan benar,
petugas polisi yang melihatnya menusuk Polisi Bayu mengatakan, tangannya bergetar saat menusuk pisau itu dan saat memegang pistol jari manisnya menjaga pelatuk. Hal itu bisa menyebabkan pergeseran pada tulang, dia seperti tidak pernah menyentuh bend aitu.
2. Achmad Andi fobia darah. Dia sering merasa pusing saat
mencium bahkan melihatnya dari tv pun ia akan muntah.
3. Achmad andi memiliki gangguan panik. Dibuktikan dengan
temuan resep dokter di kamarnya saat penggeledaan. Yang jelas membuatnya akan sesak nafas dan panik berlebihan saat benar benar membunuh.
4. Ditambah pengakuan dari adik dan tetangganya
"Aku melihat darah dari kamar ibu, jendelahnya terbuka lebar.
Aku tidak tahu ibu tertusuk di bagian mana tapi darahnya, sangat banyak, mendengar aku berteriak suara hantaman tubuh bang Abdi semakin besar kea rah pintu setelah itu aku tersungkur lemas tidak ada lagi yang ku ingat" Nia
"Aku tidak tahu apa yang terjadi tiba tiba Bang Dimas berteriak
dan banyak orang dating ke rumah kami. Bang Andi menghantamkan badannya dengan keras ke pintu itu, setelah itu tetanggaku menggendongku keluar tapi aku mendengar suara napas bang Andi berat tandanya harus minum obat. Aku tidak sempat memberi bang Andi obat itu sebabnya ya bang Andi sampai sekarang tidak mau menemuiku?" Nia
"Andi? Orangnya baik banget tidak mungkin dia membunuh
ibunya, membayangkan saja terdengar seperti lawakan untukku. Tapi orang orang di ambulance? aku menduga itu memang benar ulah ibunya, banyak orang dari kampung ibunya manusia jadi jadian" Pak Jinawar
"Aku mendengar suara anak kecil berteriak, aku langsung menuju
kearah suara itu. Sudah banyak orang berkumpul disana, ambulance dan polisis dating setelah itu. Aku melihat bu Irma dibopong kearah ambulance bad. Jujur aku senang melihat itu karena dia seperti aib bagi keluarga kami. Keluarga bu Irma penganut ilmu ghaib, sekampung kami juga percaya bahwa Andi tidak melakukan semuah yang dituduhkan Andi anak baik" Pak Hasyim
banyak lagi lainnya yang tidak percaya denga napa yang terjadi.
Memang sulit untuk mempercayai anak penyayang seperti Andi melakukan hal ini.
Tapi apa yang bisa diharapkan, manusia cepat berubah bukan?
Walls have ears.
Doors have eyes.
Trees have voices.
Beasts tell lies.
Beware the rain.
Beware the snow.
Beware the man you think you know.
-Catherine Fisher
[Author Ver]
Tidak semuah percaya Andi
Tidak terlibat dalam pembunuhan ambulance. Diam diam Marwah dan Rio menaruh benci pada Andi, bahkan Nia dan Dimas.
"Halo? Iya kediaman bapak Heru, saya anaknya ada apa ya?" Marwah bicara dari telepon dengan seorang sambal menyeruput the melati itu.
"Apa! Tidak mungkin, saya baru saja berbicara dengan ayah saya! Mungkin kamu salah orang!" Marwah teriak, berdiri dan membuang gagang telepon rumah itu.
"Sini kamu sini! Teriak Marwah pada Nia yang sedang bermain ular tangga Bersama Rio.
"Dasar pembunuh!" Ucap Marwah seraya melayangkan tamparan kepada Nia.
"Kak jangan kak, kakak kenapa?" Rio berusaha menghentikan niat kakaknya.
"UHUUUHHH PERGI DARI SINIII" Dia melepaskan cengkraman kasarnya dari tubuh Nia, menyebabkan Nia terjatuh dan menangis.
Marwah pergi ke dalam, menyeret tubuh Dimas yang masih lemas. Aku yakin, Dimas kesakitan pada saat itu.
"Sudah ku duga keluarga kalian gaada yang bener! Salah kami apa sih? Kalian membuat kami jadi yatim piatu!" Marwah membentak mereka, Nia membantu Dimas berdiri.
"A-ah aku tidak tahu apa yang kakak bicarakan" ucap Nia terbata bata, Rio berlari keluar menyenggol tubuh Nia yang sedang memapah tubuh Dimas.
Seketika itu Nia dan Dimas terjatuh. Marwah menginjak pergelangan kaki Dimas.
"Aaaaaaaarrrrgggggggghhhhhh sakit kak huhuhuhuhu" Dimas meraung kesakitan "kak jangan kak, maafin kami kak, kami tidak tahu apa apa" Nia memohon dan berusaha mengangkat kaki Marwah. Namun Marwah menendang tangan Nia dan mengenai mukanya, meninggalkan jejak di pipi sebelah kiri.
"Tidak tahu kalian bilang! Kecil kecil sudah pandai berbohong! Aku tahu keluarga kalian bagaimana! Pastinya kalian juga memiliki sifat itu!" Nada bicaranya seperti sudah membenci keluarga Nia sedari lama ditambah Marwah melotot seolah olah matanya akan keluar dan mengikat tubuh Nia dan Dimas.
Mereka ketakutan bukan main, keringat bercucuran.
"Tunggu apa lagi! Pergi!" Dari belakang Nia dan Dimas muncul seseorang, ntah siapa mukanya menyeramkan, tattoo memenuhi tubuh atletisnya.
Tak butuh waktu lama, Nia Kembali menampah tubuh Dimas walau tangannya tremor ia tetap berusaha berjalan secepat mungkin meninggalkan rumah itu.
------
[Nia ver]
Sudah sampai.
Ke rumah yang masih diberi garis polisi dan dipenuhi bau amis.
Kami pulang.
"Dim gapapa?" Ucapku rebahkan tubuh bang Dimas di sofa depan kamar ibu.
"Eunggg-gapapa, kamu gapapa? Tadi ditendangkan, sakit?" Suara bang Dimas melemas dan Nampak khawatir.
"Gapapa, bang Dimas istirahat dulu, aku beresin kamarnya ya" aku meninggalkan bang Dimas sendiri di sofa itu berjalan ke arah kamarnya.
Aku mencium bau yang aneh, bukan darah. Ntah apa tapi bau ini membuatku pusing.
"Uhuk uhuk bau apa sih ini" aku memutuskan duduk sejenak, namun kepalaku tiba tiba berat, aku tidak lagi bisa merasakan apapun, napasku mulai sesak, tidak bisa bergerak apalagi mengeluarkan suara. Aku terkapar di lantai dingin berdebu padahal baru seharian ini kami tidak di rumah, kamar bang Dimas sangat kotor.
Di dalam keterpurukan, dari sela sela pintu aku melihat bang Dimas berbicara dengan seseorang! 'bang Dimas tolong aku' aku berusaha teriak tapi nihil aku tidak dapat mengeluarkan suaraku.
Orang itu Nampak taka sing. Aku melihat bang Dimas keluar dengan orang itu, meninggalkanku sendiri.
Mata ini samapi di titik terendah.
Dan akhirnya aku tak sadarkan diri.
[Nia ver]
Aku terbangun
Terbaring di ranjang rumah sakit
Seseorang Wanita berseragam polisi muncul dari tirai bilikku
"Kamu sudah sadar rupanya, biar kakak panggilkan dokter dulu" ia berbalik, pergi meninggalkanku, terdengar suara pintu terbuka dan bayangnya hilang dari hadapan.
Aku berusaha meningat apa yang membuatku terbaring di sini
Ah! Bang Dimas dimana bang Dimas?
Aku berusaha berdiri meninggalkan ruangan ini namun terjatuh dengan sangat keras.
"Dek, istirahat dulu, kondisinya belum pulih benar" dokter dan perawat membantuku Kembali ke ranjang ini.
"Sebenarnya sudah berapa lama saya disini? Apa yang terjadi? Dimana bang Dimas? Dimana bang Andi?" Aku menanyakan semuah yang ada dipikiranku saat itu, aku takut sesuatu yang bruruk menimpa mereka.