Chereads / Aku Di Antara Kalian / Chapter 4 - Malam Pertama Harus Kesepian

Chapter 4 - Malam Pertama Harus Kesepian

Lafaz nikah mu telah menjadikan aku sebagai pelengkap hidup mu, bukan untuk sehari atau setahun, tetapi sebagai istri yang menemanimu hingga ke ujung nyawaku.

Andra sama sekali tidak mengingat dengan perempuan yang baru dinikahinya, walaupun hanya sekedar untuk berbasa-basi bertanya apa sudah tidur. Dia melupakan dengan status dirinya yang sudah memiliki seorang istri. Istri dengan sabarnya sedang menunggu kepulangannya di dalam kamar Hotel.

Lidya sengaja membuat kekasihnya sedikit pun tidak mengingat, bahkan sama sekali tidak membahas tentang pernikahannya yang baru hitungan jam saja. Lidya tidak ingin malam istimewa dan spesialnya terganggu oleh Nafeesa.

Dan inilah tujuan sebenarnya Lidya memutuskan untuk menyewa satu unit Kamar di Hotel tempat Nafeeesa menginap.

Sedangkan Nafesa yang sudah berganti pakaian dengan gaun malam tampil sangat cantik dan seksi. Lingerie itu disediakan dan dipersiapkan oleh adik iparnya, tapi tidak ada gunanya sama sekali.

Awalnya Dia tidak ingin memakai pakaian itu, karena menurutnya pakaian itu sangat terbuka, transparan dan kekurangan bahan.

Tetapi, teringat dengan perkataan adiknya yang mengatakan, jika memakainya akan membuat suaminya semakin sayang, cinta dengannya.

Ia kembali bersemangat dan antusias untuk memakainya walaupun sedikit risih dan malu, karena seumur hidupnya dia tidak pernah dan belum pernah memakai pakaian yang seksi.

Nafeesa kembali ke atas ranjang, ia sesekali melirik ke arah dinding di mana jam dinding berada. Berulang kali dia menguap karena sudah lewat dari jam tidurnya.

Sedari tadi ia berusaha menahan kantuknya, memutuskan untuk berbaring lalu membuka aplikasi Novel yang ada di dalam gawainya tersebut.

Terkadang tangan kirinya yang menumpu kepalanya kadang terlepas dari tumpuan kepalanya. Hpnya pun terlepas sewaktu-waktu jika matanya sekilas terpejam.

"Apa sebaiknya Aku telpon Mas Andra saja yah?"

Dia menutup aplikasi novel online yang sedari tadi dia perhatikan dan baca untuk mencegah kantuknya.

Dia mencoba menghubungi nomor handphone suaminya, tapi nomor handphone Andra selalu berada di luar jangkauan hanya operator seluler yang menjawab panggilannya.

Nomor hpnya Andra dia peroleh dari adiknya Andra. Anita Hara lah yang memberikan walaupun Nafeesa malu untuk memintanya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, tinggalkan pesan setelah nada beet berikut."

Berulang kali hanya itu yang dia dapatkan. Dia memegang hpnya lalu mendekatkan ke dagunya.

"Mungkin Mas punya pekerjaan yang urgen dan sangat mendesak sehingga harus dikerjakan olehnya."

Itu lah karakter Nafeesa yang memandang segala sesuatunya dengan positif thinking. Sedikit pun dia tidak merusak kesehatan tubuhnya dengan berfikiran negatif.

Sedari dulu tidak pernah punya niat untuk memikirkan hal-hal yang tidak baik yang nantinya akan berakhir tidak baik pula untuk kesehatan dan tubuhnya.

Ia kelelahan menunggu kepulangan Andra yang tidak kunjung pulang juga. Dia memilih untuk tidur sendirian di atas ranjang nya.

"Ya Allah lindungilah suamiku di mana pun dia berada."

Hanya doa tulus yang selalu dia panjatkan untuk keselamatan suaminya.

Nafesa tidur di malam pertamanya ditemani oleh bantal guling dengan taburan bunga mawar merah.

Sedangkan di kamar sebelah yang tidak terlalu jauh dari kamarnya, di hotel yang sama dan di lantai yang sama pula, Suaminya dan Kekasihnya masih berolahraga malam hari.

Mereka menuntaskan hasratnya yang beberapa hari ini tidak tersalurkan, karena kesibukan mengurus segala sesuatu hal pernikahannya. Lidya pun yang sibuk bekerja hingga intensitas pertemuannya pun terganggu.

Hingga subuh menjelang mereka melakukan tanpa henti. Mereka tidak pernah sedikitpun memikirkan nasib Hyuna yang tidur sendirian di kamarnya.

Malam semakin larut, perlahan cahaya sinar rembulan mulai redup seiring berjalannya waktu. Jam dinding menunjukkan pukul 05.00 subuh. Sang Fajar sudah menampakkan dirinya di ufuk Timur.

Alarm hp Nafeesa pun berbunyi yang menggangu tidur lelapnya yang baru beberapa jam lamanya.

Ia mengerjapkan matanya berulang-ulang kali. Dia mengumpulkan semua nyawanya yang belum terkumpul dengan baik. Kelelahan menunggu yang tak pasti membuatnya baru terbangun dari tidurnya.

"Syukur Alhamdulillah, sudah subuh ternyata," senyuman selalu terpancar dari wajahnya.

Walaupun dalam hatinya ada kegundahan dan keresahan yang menderanya. Sebisa dan sekuat mungkin dia menghalau perasaan itu.

Istri mana yang tidak akan kesepian, sedih dan kecewa jika, suami di malam pertamanya tidak kunjung pulang dan malah beraktifitas di luar.

Tapi, sebisa mungkin Nafeesa menepis segala batu prasangka yang menghantui dan menggerogoti perasaan dan pikirannya.

Nafeesa meraba tempat tidur yang ada di sebelahnya, tapi ternyata masih kosong. Bahkan masih rapi seperti sebelum dia tertidur.

"Aku sangat yakin Mas Andra pasti sangat sibuk sampai-sampai tidak pulang juga, Aku tidak boleh suudzon dulu."

Nafeesa celingak-celinguk memeriksa seluruh pojok ruangan, tapi hasilnya masih sama. Sosok pria yang telah menikahinya beberapa jam yang lalu tidak ada di dalam kamar pengantinnya.

Nafesa segera bangkit dan bergegas ke kamar mandi, karena dirinya takut jika terlambat untuk mengerjakan sholat subuh.

Dia sedih tapi, dia tidak ingin menangis ataupun mengeluh dengan keadaan. Dia berusaha untuk selalu tersenyum dalam keadaan apa pun.

Setelah salat subuh, ia menyempatkan dirinya untuk membaca al-quran beberapa ayat. Dia berdiri lalu merapikan kembali perlengkapan shalatnya.

"Untung tadi bawa mukenah sama Al-Qur'an," senyumannya terbit di kala hatinya sedih.

Dia mengganti pakaiannya karena dirinya ingin pulang ke rumah. Tetapi ia, kebingungan mau pulang kemana, harus kah pulang kerumahnya sendiri atau ke rumah mertuanya. Mungkin Andra memiliki rumah pribadi sendiri.

Nafesa baru saja berniat ingin menelepon Andra, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Dia melirik sekilas ke arah suaminya lalu tersenyum.

Dia tidak ingin menyerang Andra dengan berbagai macam pertanyaan yang akan membuat Andra marah.

Jika dirinya melemparkan banyak pertanyaan takutnya, dirinya mendengar perkataan yang tidak sepantasnya dia dengar pagi itu.

Makanya Nafesa memutuskan tidak banyak tanya kepada suaminya. Dia memilih untuk diam, tenang dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Walaupun dia tidak menampik jika ada beberapa hal pertanyaan yang muncul di dalam benaknya.

Andra masuk saja kedalam kamarnya tanpa basa-basi ataupun menegur istrinya yang berdiri mematung untuk menyambut kedatangannya.

Nafeesa baru ingin meraih tangan Andra, tapi langsung ditepis kasar oleh Andra. Saking kasarnya membuat dirinya terhuyung ke belakang.

"Astagfirullahaladzim,"

Dia mengelus dadanya dan tersenyum manis ke arah Andra.

"Harus sabar, sabar Nafesa."

Hanya tatapan sendu yang diberikan oleh Nafesa. Dia tidak menyangka jika sifat asli suaminya seperti ini. Sebelum menikah, orang-orang sama sekali tidak pernah berbicara jelek tentang Andra.

Bagas menatap saja tidak ada niat apalagi untuk memulai percakapan dengan Nafesa. Andra berdiri menatap tajam ke arah istrinya tanpa sedikitpun senyuman tipis sekalipun tidak ada.

Andra langsung berbicara kepada Nafesa dengan suara yang cukup lantang seakan-akan sedang berbicara dengan pembantunya saja.

"Kemas seluruh barang-barangmu, kita pulang ke rumahku," ucap Andra.

Dia berucap sambil membuka pintu lemarinya dan tidak ada niat sedikit pun untuk melihat ke arah istrinya. Nafeesa hanya mematung yang membuat Andra mengeluarkan suara emasnya lagi.

"Apa lagi yang Kamu tunggu haaa!!"

Nafeesa segera bergerak dan manut saja dengan perintah dari suaminya. Dia mengemas seluruh pakaiannya yang sempat dia bawa ke kamar hotel itu.

Mereka segera cek out dari Hotel tersebut. Andra tidak ingin berlama-lama di Hotel tersebut bersama Nafesa, apa lagi Lidya sudah pulang dari Hotel tersebut.

Andra membawa istrinya ke rumah barunya yang baru saja dibelinya beberapa minggu yang lalu.

Andra membeli rumah tersebut khusus untuk istrinya kelak. Dan awalnya rumah itu dia beli khusus untuk kekasihnya yaitu untuk Lidya.

Jika kelak mereka menikah nanti.

Tetapi takdir berkata lain, Andra terpaksa menikahi Nafesa atas kemauan kedua orang tuanya. Perjodohan yang sudah lama kedua belah pihak keluarga rencanakan.

Dengan berat hati Andra menuruti keinginan dari ke dua orang tuanya tersebut, karena tidak ingin menjadi anak durhaka yang membangkang. Ia memenuhi dan menjalankan perintah dari ke dua orang tuanya. Dia pun tidak ingin jika, namanya harus dicoret dari kartu keluarga dan otomatis tidak mendapatkan harta apa pun itu.

Lidya melihat mobil yang dipakai oleh Andra dan Nafesa meninggalkan parkiran Hotel. Lidya segera keluar dari persembunyiannya.

Lalu berjalan kembali ke dalam Loby Hotel.

"Bye bye Andra," dengan lambaian tangannya ke arah mobil Andra.

Dia berjalan ke arah lift dan bergegas naik ke lantai 13 tempat tujuan selanjutnya. Seringai liciknya selalu menghiasi wajahnya.

Wedding rings are only a symbol of happiness, but true happiness is in the ark of the household.

A great marriage is not when the perfect couple gets together, but when the imperfect couple learns to enjoy their differences.

by Kasma Sayang

Takalar, Rabu, 29 Juni 2022