Setelah dari Hotel, mereka memilih untuk langsung pulang saja. Andra membawa istrinya ke rumah barunya.
Tetapi, di tengah jalan baru beberapa meter mobil itu melaju, Andra menyuruh Nafesa duduk di bagian kursi belakang.
"Mas mau masuk ke Toko itu, jadi Mas menghentikan mobilnya di depan indo April?" tanyanya yang sama sekali tidak mengerti.
Nafesa melirik ke arah suaminya yang terdiam saja tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan dari Nafesa.
Andra hanya membuka pintu bagian kursi yang diduduki oleh Nafesa.
"Turun dan duduk di belakang saja, Aku tidak suka jika Kamu duduk di sampingku," dengan raut wajah yang sedikit jutek.
Nafesa tidak pernah melihat senyuman tipis sedikit pun terpancar dari wajah Suaminya setelah resepsi pernikahan mereka.
Nafesa segera turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu belakang.
"Kamu melupakan tasmu, ambil Aku tidak ingin tasmu itu mengotori lantai mobilku," sarkas Andra.
Andra sama sekali tidak ingin berhubungan sedikit pun dengan Nafesa, tanpa terkecuali memandang status mereka sebelumnya.
Andra melempar tas itu kehadapan Nafeesa dan mengenai dadanya. Andra menatapnya dengan jengah.
Nafesa baru ingin mendudukkan bokongnya ke atas jok mobil, Andra tanpa pemberitahuan terlebih dahulu melajukan mobilnya. Hal itu, membuat tubuh Nafesa terdorong ke depan hingga keningnya terantuk ke kursi supir.
"Aauuuhhh," keluhnya sambil memegang keningnya yang sedikit membiru itu.
Andra tersenyum licik melihat apa yang dialami oleh Nafesa.
Nafesa sudah duduk dengan baik di kursi. Walaupun sedikit perih, Dia sama sekali tidak ingin mengeluh.
Andra kemudian berteriak kencang ke arah Nafesa lalu berkata,"Hey, apa Kamu tidak punya pakaian dan model lain? jujur saja kalau gitu pakaianmu terus, aku sangat malu."
Nafesa terkejut mendengar perkataan dari Andra yang menilai cara berpakaian dan penampilannya.
"Aku tidak menyangka kenapa Ayah dan ibu menikahkan Aku dengan gadis modelan gitu, apa menariknya sih?"
Andra mengamati Nafesa dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.
"Kemarin cantik banget waktu di make up dan memakai pakaian pengantin, loh sekarang cupu, culung amat yah?"
Nafesa kesehariannya memakai baju kemeja garis-garis dengan dipadukan rok rempel. Rambutnya yang selalu diikat atau dikepang dua.
"Maaf Aku tidak punya pakaian lain," jelasnya.
Andra hanya menggelengkan kepalanya dan tidak menyangka gadis ibu Kota lahir di Kota, tapi penampilannya seperti orang yang berasal dari pelosok Kampung saja.
"Insya Allah Aku bisa melalui semua ini."
Tidak lama kemudian, Mobil mereka sudah memasuki area perumahan elit milik Andra. Mereka turun dari mobilnya dan berjalan ke arah pintu masuk.
"Ini adalah rumahku, mulai hari ini Kamu akan tinggal bersamaku di sini, tapi bukan sebagai istriku hanya sebagai pembantu, ingat dan camkan baik-baik perkataanku sampai kapan pun."
Nafesa menganggukkan kepalanya tanpa suara. Dia mengamati rumah Andra yang cukup bagus dan mewah walau pun ukurannya tidak terlalu besar.
Awalnya, kedua orangtuanya menginginkan mereka untuk menetap dan tinggal di rumah utama keluarga besar Andra. Dia menolak dengan berbagai macam alasan, sehingga mau tidak mau kedua orang tuany menyetujui keinginan dan keputusan Andra.
Ke dua orang tuanya tidak ingin memaksakan kehendaknya. Mereka sudah bahagia dan bersyukur karena Andra memenuhi permintaannya untuk menikahi Nafesa.
Andra tidak ingin, pernikahannya yang tidak sehat dan tidak beres diketahui oleh kedua keluarga besar mereka. Jika mereka tinggal se atap dengan keluarganya, keburukan dan kebusukannya otomatis akan ketahuan oleh orang lain.
Terutama Andra tidak ingin perselingkuhannya terbongkar di hadapan keluarganya yang nantinya akan membuat dirinya dikeluarkan dari kartu keluarga dan dihapus dari penerima warisan.
Nafesa mengikuti langkah Andra hingga ke dalam kamarnya, karena sedari tadi berjalan dengan menundukkan wajahnya hingga disaat Andra berhenti secara tiba-tiba, diapun menabrak punggung keras Andra.
"Aauuhhhh," teriak Nafesa.
Kening yang masih sedikit terasa ngilu dan perih gara-gara terbentur di mobil, sekarang kembali terulang lagi walaupun dengan benda yang berbeda.
Andra menatap Nafesa dengan sinis sekaligus jengah dengan kecerobohan Nafesa.
Andra kembali melanjutkan langkahnya hingga ke dalam kamar pribadinya. Dia semakin dibuat marah saat dia melihat Nafesa sudah meletakan tasnya di atas meja nakasnya.
Dia langsung berteriak ke arah Nafesa berada.
"Hei!!!! keluar dari kamarku."
Nafesa terjingkak dari tempatnya berdiri saat telinganya menangkap suara intrupsi dari Andra yang menggelegar bagaikan petir di siang bolong.
"Kamu tidak berhak tidur ataupun tinggal di kamarku ini, kamarmu itu ada di bawah di lantai dua," ucap Andra dengan suara besarnya.
Nafesa yang mendengar teriakan tiba-tiba dari suaminya, langsung refleks bergegas meraih tasnya.
"Maafkan saya Mas, saya tidak tahu kalau kamar ini bukan kamar Saya," ucapnya.
Nafesa merasa kecewa karena ternyata diusir dari kamar pribadi suaminya oleh yang punya kamar itu.
"Ingat mulai detik ini dan sampai kapan pun, Kamu tidak boleh menginjakkan kaki Kamu ke dalam sini, aku haramkan Kamu untuk menyentuh dan berada di dalam kamarku."
"Baik Mas," jawabnya dengan senyuman tipis Nafesa.
Walaupun kecewa dan sedih dengan perlakuan suaminya, tapi dia selalu berusaha untuk selalu terus tersenyum.
Dia berjalan ke arah luar dan tidak lupa menutup pintu itu dengan rapat.
"Ya Allah kuatkanlah hatiku, berikanlah Aku kesabaran menghadapi sikap suamiku, dan lembutkanlah hati dan perasaannya suamiku Mas Andra."
Dia kemudian berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sesekali melirik ke belakang, dia berharap Andra berubah pikiran dan mengajaknya tinggal bersama di dalam kamarnya.
Tapi, harapan hanya tinggal harapan apa yang diharapkan dan diimpikan olehnya tidak terwujud hingga langkahnya sudah menapaki undakan tangga terakhir.
Keningnya berkerut ketika mengetahui bahwa apa yang dia inginkan tidak akan jadi kenyataan.
Dia berjalan ke arah kamarnya hanya berjarak beberapa meter saja dari tangga. Pintu yang bercat putih itu terbuka. Dia memperhatikan ke sekeliling kamar sebelum menginjakan kakinya di dalam kamarnya.
"Alhamdulillah," ucapnya lalu membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang pas untuk ukuran tubuhnya saja.
Dua minggu sudah berlalu sejak mereka menikah. Tapi, hingga detik itu juga Andra tetap tidak berubah, selalu saja bersikap dingin, cuek, dan tidak perduli pada istrinya sedikit pun.
Mereka tidak pernah duduk di meja makan yang sama untuk makan bersama. Berpapasan saja sangat jarang, apa lagi untuk berbincang-bincang hanya sekedar basa-basi doang.
Nafesa selalu melayani suaminya dengan cara mencucikan pakaiannya, membersihkan seluruh rumah, memasak walaupun masakannya untuk dicicipi saja tidak pernah apa lagi untuk memakannya.
Dia ingin mengabdi kepada suaminya selalu gagal, karena apa yang dilakukan olehnya selalu tidak diinginkan dan ditolak mentah-mentah oleh Andra.
Seperti hari ini Nafesa masak makanan makan malam untuk suaminya. Tapi, Andra belum menampakkan batang hidungnya sedari tadi.
Nafesa duduk di kursi tamu. Ia menunggu kedatangan suaminya. Dia tidak bosan menatap ke arah dinding tempat Jam berada.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Andra belum juga pulang. Berulang kali Nafesa menguap, tapi ia masih setia menunggu hingga baru beberapa saat dia membaringkan tubuhnya di atas kursi panjang. Pintu berdaun dua itu terbuka lebar membuat Nafesa terbangun dari baringnya.
Dia berlari kecil menuju pintu, tapi langkahnya terhenti sesaat setelah melihat siapa sosok orang yang berada di balik pintu.
Dia mematung di tempatnya dan keheranan melihat kedatangan orang itu.