Jika jahat dibalas kejahatan, maka itu adalah dendam.
Jika kebaikan dibalas kebaikan maka itu adalah perkara biasa.
Jika kebaikan dibalas kejahatan maka itu adalah zhalim.
Tapi, jika kejahatan dibalas kebaikan itu adalah mulia dan terpuji.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Andra belum juga pulang. Berulang kali Nafesa menguap, tapi ia masih setia menunggu hingga baru beberapa saat dia membaringkan tubuhnya di atas kursi panjang.
Pintu berdaun dua itu terbuka lebar membuat Nafesa terbangun dari baringnya.
Dia berlari kecil menuju pintu, tapi langkahnya terhenti sesaat setelah melihat siapa sosok orang yang berada di balik pintu.
Dia mematung di tempatnya dan keheranan melihat kedatangan orang itu.
Matanya membulat sempurna, mulutnya menganga hingga beberapa ekor lalat pun bisa masuk bersarang di dalam rongga mulutnya.
Bukannya karena kedatangan orang itu yang membuatnya berdiri mematung, diam seribu bahasa, tapi karena orang itu bergandengan tangan dengan penuh kemesraan di depan matanya.
Andra menatap jengah ke arah istrinya itu. Sedangkan Lidya yang berada di sampingnya Andra yang sedari tadi tersenyum penuh kelicikan menatap rendah Nafeesa.
Lidya memeluk erat tubuhnya Andra bagaikan perangko saja. Sejak turun dari mobilnya, dia tidak melepaskan pelukannya dari pinggang Andra begitu pun sebaliknya yang dilakukan oleh Andra.
"Mas sudah pulang?" ingin meraih tas kerja Andra.
"Iya Saya sudah pulang, dan kali ini saya datang bersama kekasihku yang beberapa hari lagi akan jadi istriku juga," wajahnya tersenyum merendahkan Nafeesa.
Nafeesa berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan perasaan terkejut dan kecewa sekaligus sedihnya mendengar perkataan dan kejujuran dari suaminya sendiri.
"Sini Nafesa yang bawain tasnya Mas," tangannya ingin meraih tas tersebut.
Tapi seperti biasa, tangannya selalu ditepis dengan kasar bahkan kali ini lebih kuat dari biasanya. Hingga tubuhnya Nafeesa terhuyung ke belakang. Punggungnya terbentur ke tembok.
"Aaaauuuhh," teriaknya saat punggung kecilnya terantuk ke tembok.
Lidya yang melihatnya semakin dibuat tersenyum dan merasa di atas angin. Dia menatap wajah Nafeesa yang meringis kesakitan dengan senyuman khasnya.
"Makanya, jangan sok perhatian dan sok cari muka di depanku, Kamu perlu tahu sampai kapan pun, Aku tidak ingin disentuh oleh Kamu."
Mereka berlalu dari hadapan Nafeesa yang berdiri seperti seekor tokek yang menempel di dinding.
Embun di pelupuk matanya hanya menunggu waktu yang tepat untuk menetes dan mengalir membasahi pipinya.
Semakin dia berusaha untuk menahannya, air mata itu ingin meninggalkan tempatnya. Dia menolehkan ke atas agar air matanya tidak menetes.
Matanya sudah berkaca-kaca hingga buliran air matanya pun menetes juga disaat Andra dan Lidya memutar tubuh mereka dan berjalan ke arah Nafeesa yang masih berdiri.
"Mulai detik ini, Lidya akan tinggal bersama Saya, jadi Kamu harus melayani Lidya layaknya seorang Ratu dan Saya tidak ingin tahu ada kesalahan sedikit pun yang Kamu lakukan, camkan itu," jarinya menunjuk ke wajahnya Nafeesa.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke arah Kamar pribadinya di lantai atas. Mereka berjalan sesekali bercanda bareng dan saling membalas ciuman.
Mereka sama sekali tidak menghiraukan dan perduli dengan perasaan dari Nafeesa sedikit pun.
Air matanya menetes membasahi wajahnya, dia sudah berusaha untuk menahannya, tapi apa lah daya gaya gravitasi bumi lebih kuat dan dominan sehingga air mata itu membanjir wajahnya.
"Aku harus, Aku tidak boleh kalah dan menyerah dengan keadaan," jari lentiknya menghapus jejak air matanya itu.
Andra masuk ke dalam kamarnya bersama kekasih gelapnya. Mereka melakukan hal yang seperti biasa yang mereka lakukan.
Sedangkan Nafesa berjalan ke arah dapurnya lalu memasukkan semua makanan yang sudah dia masak. Ia memasak makanan itu dengan sepenuh hati dan jiwa raganya, tapi tidak disentuh secuil pun oleh Andra.
Dia terduduk di kursi meja dapur, " Apa seperti ini jalan ceritanya pernikahanku ya Allah?"
Meja dapur serta furniture dan perabot dapur lainnnya menjadi saksi bisu dari kesedihan, rasa kecewa dan keterpurukan yang dialaminya.
Gadis yang baru menginjak usia yang ke 21 tahun, harus hidup berumah tangga yang bagaikan neraka saja.
Mati enggan hidup pun segan. Pepatah itu sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana kisah hidup dari Nafeesa.
Seorang gadis baik hati, penyayang, gadis lugu, ramah dan karena ingin membalas budi Kakek dan ke dua orang tua angkatnya, sehingga dia memenuhi permintaan mereka walaupun hati kecilnya tidak menghendakinya.
Sejak umur tiga tahun, dia diangkat oleh keluarga besar Brawijaya dari Panti Asuhan Sayang Anak.
Info yang dia dapatkan, katanya dia ditemukan di depan Panti Asuhan disaat badai hujan turun. Hanya keranjang bayi dan beberapa potong pakaian serta kalung yang sedari dulu dia pakai sebagai bukti identitas asli orang tuanya.
Nafeesa menatap atap langit-langit dapur tersebut. Dia melakukan hal itu agar tangisannya berhenti.
"Kakek, tolong Nafeesa, serasa tidak mampu Aku melanjutkan pernikahan ini lagi," tangannya sesekali meraih box tissue.
Beberapa saat kemudian, dia bangkit dari kursinya. Langkahnya kembali terhenti ketika Lidya berdiri di depannya dengan menyilangkan ke dua tangannya di depan dadanya.
Dia menghapus sisa air matanya Nafeesa dengan senyuman penuh artinya.
"Begini lah rasanya, jika harus menikahi kekasih dari wanita lain."
Lidya memajukan langkahnya lagi hingga berhadapan dengan Nafeesa yang hanya terdiam tanpa ada niat untuk menimpali perkataan dari kakak sepupunya.
"Andai saja dulu, Kamu tidak setuju dengan permintaan Kakek, aku sangat yakin jika semua penderitaan dan air mata ini aku yakin tidak akan mengelilingi kehidupanmu,"
Nafeesa menyingkirkan tangannya Lidya dari wajahnya. Dia merasa jijik dengan kelakuan Lidya yang tidak bermoral.
"Tolong singkirkan tanganmu dari wajahku, Aku tidak sudi disentuh oleh tangan kotormu itu."
Dia menepis kembali tangannya Lidya dari pundaknya.
"Mungkin hari ini Kamu merasa bahagia, menang di atas penderitaanku, tapi yang perlu Kamu tahu Tuhan itu tidak tuli dan tidak tidur, aku yakin suatu saat nanti Kamu akan merasakan apa yang Aku rasakan bahkan lebih."
Setelah mengucapkan itu, Nafeesa berlalu dari hadapan Lidya.
"Ternyata anak itu tidak boleh Aku pandang sebelah mata, Aku harus waspada dan lebih berhati-hati lagi."
Lidya tersenyum menatap punggung Nafeesa.
"Anak itu sudah pintar melawan juga, Aku tidak boleh berdiam diri dan untungnya Andra menyuruhku untuk tinggal bersamanya."
Lidya berjalan ke lemari pendingin, ia ingin mengambil air putih karena kehausan di tengah malam gara-gara habis berolah raga malam.
Nafeesa menutup pintu kamarnya dengan sedikit keras. Hal itu membuat Lidya tersenyum penuh kemenangan, karena merasa telah berhasil menghancurkan keangkuhan Nafeesa.
Dia meluruhkan tubuhnya hingga atas ke lantai. Air matanya tumpah ruah. Dia menangis tersedu-sedu di balik pintu Kamarnya.
Sekuat apa pun, sesabar apa pun pasti akan ada saatnya seseorang berada dititik terendah dalam hidupnya. Terpuruk dalam kesedihan dan penyesalan.
"Sepertinya Aku harus hamil, Aku yakin akan membuat Mas Andra menceraikan istrinya di perempuan cupu itu."
Dia kembali meneguk air putih yang tersisa sedikit lagi hingga tandas.
"Iya, Aku yakin Mas Andra akan sangat bahagia jika Aku bisa memberikan dia anak."
Lidya melenggang pergi dari dapur. Dia bahkan tidak memasukkan kembali botol air mineral yang dia ambil tadi.
"Mas apa salahku? kalau Mas tidak sayang padaku tolong ceraikan aku saja haaaaa!!!"
Nafeesa berteriak kencang di dalam kamarnya. Lidya yang kebetulan melewati kamarnya Nafeesa berjalan ke arah pintu dan mendekatkan telinganya agar bisa mendengar apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Nafeesa.