Kebahagiaan tidak menghampiri mereka yang memiliki segalanya, namun kebahagiaan akan menghampiri mereka yang berterus bersyukur atas nikmatnya.
Happiness does not come to those who have everything, but happiness will come to those who continue to be grateful for the blessings.
Sudah delapan bulan pernikahan Andra dan Nafeesa. Begitu pun juga lamanya Lidya numpang tinggal dan makan di rumah mereka.
Hubungan Nafesa dan Andra sedikit pun tidak ada perubahan. Masih seperti diawal pernikahannya. Sikap kasar Andra semakin menjadi saja. Tidak ada perhatian untuk Nafeesa walaupun secuil.
Andra yang selalu pulang bersama dengan Lidya dengan penuh kemesraan. Mereka dengan sengaja memperlihatkan kemesraannya di depan ke dua matanya Nafeesa. Tetapi, mungkin karena sudah terbiasa jadi baginya sudah tidak berarti lagi.
Seperti seseorang yang setiap hari makan nasi, seperti itu lah keadaan dan perasaan yang dirasakan oleh Nafeesa.
Kadang terbersit sedikit niat dan harapan darinya, ingin kehidupan rumah tangganya. Seperti layaknya orang lain yang bahagia menjalani kehidupan rumah tangganya.
Nafeesa sedang menyetrika pakaian yang baru saja dia angkat dari tali jemuran. Nafeesa kadang mendendangkan lagu favoritnya.
Sore harinya ia menelepon istrinya untuk menyampaikan kepadanya, jika kedua orangtuanya akan datang berkunjung ke rumah mereka.
.Andra menyuruh Nafeesa untuk segera memindahkan beberapa pakaiannya ke dalam kamar di rumahnya yang masih kosong.
Hingga aktifitasnya terganggu gara-gara nada dering handphonenya yang cukup besar. Dia bergegas mengambil hpnya untuk mengangkat telpon orang yang sedari tadi menelponnya.
Nafeesa tanpa mengangkat dan memindahkan setrika dari atas gaunnya Lidya yang nanti malam akan dia pakai ke Pesta.
Nafeesa segera berdiri untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Andra. Sifat cerobohnya yang sudah mendarah daging dalam karakternya.
Nafeesa tidak ingin mendapatkan omelan dan cacian dari Andra sehingga dia bergegas memindahkan beberapa barangnya sebelum kedatangan kedua mertuanya.
Andra tidak ingin kedua orang tuanya curiga dan mengetahui, jika mereka selama ini tinggal di kamar yang berbeda bahkan tidur bersama pun tidak pernah mereka lakukan.
Karena Itulah Andra meminta Nafeesa untuk memindahkan sebagian barang-barangnya.
"Mas, kalau Ayah dan Ibu datang ke sini, terus bagaimana dengan nasibku Mas?" tanyanya dengan penuh manja dan mesranya.
"Kamu tetap tinggal bersamaku walaupun ke dua orang tuaku datang, Kamu tetap bersamaku dan alasannya serahkan semuanya padaku, Kamu tidak perlu merisaukannya."
Andra menciumi bibir seksi Lidya sebelum dia menyalakan mesin mobilnya. Tangannya Andra sudah bergerilya ke mana-mana. kelakuan Andra membuat lenguhan kecil dari bibirnya Lidya.
Tangannya segera menekan tombol power untuk menutup jendela mobilnya. Andra tidak ingin ada rekan kerjanya melihat apa yang dia lakukan bersama selingkuhannya.
Beberapa kancing baju Lidya sudah terbuka, tangan kekar milik Andra sudah meremas puncak gunung mount Merapi.
"Aaahhh sudah dong sayang, Aku lapar," kilah Lidya padahal dia ingin segera pulang dan bersiap untuk bertemu dengan seseorang.
Lidya tidak membohongi dirinya, dia juga menginginkan hal itu, tapi dia baru teringat jika dia memiliki janji dengan seseorang.
Andra tersenyum lalu mengelus sudut bibir kekasihnya.
"Ingat berhati-hati lah jika Ayah dan Ibu ada di rumah, dan untuk sementara Saya akan berpura-pura menjadi suami yang baik di hadapan Nafeesa."
"Oke, aku setuju, tapi ingat hanya di depan Ayah dan ibu."
"Siap sayangku," dia kembali memajukan wajahnya ingin mencium bibir Lidya tapi, dia segera membuka pintu mobilnya, sehingga hampir saja bibirnya mencium jok mobilnya andai saja tidak sigap.
"Hahahaha," tawa Lidya saat melihat wajah kekasihnya yang bersungut-sungut.
"Ingat cepat lah pulang, dan berakting baiklah di depan orang tuaku," dengan sedikit berteriak karena Lidya sudah berlalu dari hadapannya.
Lidya hanya menganggukkan kepalanya tanpa menoleh lagi.
"Tanpa Kamu suruh pun Aku pasti akan selalu berakting dan bersandiwara untuk mencapai tujuanku," seringai liciknya terbit lagi di sudut bibirnya.
Lidya melenggak-lenggok seperti biasanya jika sedang berjalan.
Andra kembali menelpon nomor istrinya untuk memastikan apa dia sudah menjalankan semua tugas yang diberikan olehnya.
Nafeesa menyimpan hpnya setelah selesai menelpon dengan suaminya. Tiba-tiba hidungnya mengendus bau yang tidak sedap.
"Sepertinya ada bau benda terbakar, tapi apa yah?" hidungnya mencoba terus mencari sumber bau gosong tersebut.
"Aku tidak masak, terus itu bau apa?"
Hingga matanya melihat ada asap yang mengepul di sekitar setrika. Dia segera berlari setelah menyadari apa yang terjadi sebenarnya.
Nafeesa segera mematikan dan mencabut saklar setrikanya. Ia mengangkat pakaian yang tadi dia rapikan sudah bolong di tengahnya.
"Astaugfirullah, Aku harus bagaimana? pasti Lidya akan memarahiku," wajahnya seketika sendu dan cemas.
Bukannya dia takut dimarahi hanya saja dia sudah bosan mendengar setiap Lidya ada di rumahnya pasti akan berteriak-teriak dan marah-marah tidak jelas.
Nafeesa terpaksa menyembunyikan gaun malam itu ke dalam kamarnya.
"Mungkin aman jika aku simpan di sini, nanti setelah ayah dan ibu pulang nantinya baru Aku katakan semuanya pada Lidya.
Lamunannya buyar saat hpnya kembali berdering. Dia terlonjak kaget saat hpnya bergetar.
Dia belum bilang halo, Andra sudah memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan.
"Ingat semua yang aku katakan kepada Kamu, jangan sekali-sekali membuka mulutmu itu, jika saya tidak pernah tidur bersama Kamu bahkan melakukan kewajibanku,"
Andra menjeda sesaat perkataannya karena dia melihat ada seseorang wanita yang duduk di atas mobil yang mirip dengan Lidya.
"Itu tidak mungkin Lidya, pasti aku hanya salah lihat saja, tadi kan Lidya memakai baju peach sedangkan itu orang memakai baju merah."
"Halo Mas," Ia sedikit berteriak karena sedari tadi Andra terdiam sedangkan telponnya masih tersambung.
Andra kembali teringat jika dia sedang menelpon untuk menasehati istrinya.
"Ingat jika Kamu mengatakan yang sejujurnya kepada mereka, Aku tidak akan segan segera mengusir kamu," ancam Andra yang tidak main-main.
"Mas sekarang ada di mana?" tanyanya yang hanya sekedar basa-basi saja.
Tut... tut...
Andra tanpa mengucapkan salam langsung mematikan telponnya secara sepihak tanpa perduli dan menghiraukan pertanyaan dari Nafesa.
Nafeesa melanjutkan kembali pekerjaannya setelah menyetrika beberapa tumpukan pakaian.
Dia berjalan ke arah dapur untuk memasak makanan khusus untuk menyambut mertuanya.
Berbagai jenis masakan sudah selesai dibuat oleh Nafeesa. Ada semur jengkol, ayam goreng krispi, rendang daging, telur balado, serta sup ayam.
"Alhamdulillah sudah jadi, sebaiknya Aku mandi dulu, gerah banget soalnya."
Apron sudah terlepas dari tubuhnya. Dia berjalan ke kamarnya.
"Semoga Ayah dan Ibu tidak mengetahui kekakuan Mas Andra dan Mbak Lidya selama ini, Aku tidak ingin melihat mereka sedih, kecewa gara-gara ulah mereka."
Baru beberapa saat dia selesai mandi, bel di rumahnya berbunyi.
"Mungkin itu Ibu dan Ayah," senyumannya langsung terbit di wajahnya.
Dia berlari kecil ke arah pintu, dengan senyuman yang tidak pernah pudar.
Ibu Anna Nadia Handoko dan Bapak Handoko saat pintu terbuka langsung memeluk tubuh anak menantunya.
Mereka sangat sumringah melihat Nafeesa yang dimata mereka bahagia dengan pernikahannya.
Nafeesa mencium punggung tangan ke dua mertuanya silih berganti.
"Ibu sangat bahagia melihat Kamu sayang," kebahagiaan ibu Anna dia perlihatkan di depan Nafeesa dengan perlakuannya.
"Nafeesa juga Bu."
"Di mana suamimu, apa dia belum pulang?" Pak Handoko melihat ke Sekeliling rumahnya Andra.
"Mas Andra belum pulang Ayah, mungkin masih sibuk," jelasnya.
Suara deru mesin mobil membuat mereka mengalihkan pandangannya ke arah mobil berwarna hitam itu.
Wajah ke duanya kebingungan dan keheranan melihat siapa yang turun dari mobil tersebut. Pak Handoko dengan istrinya saling berpandangan dan kening mereka saling bertautan.