Aku termenung. Mataku berkeliling menatapi ruang tamu. Sudah hampir satu tahun aku baru menginjakan kaki lagi di rumah ini. Aku mengingat berbagai hal. Tentang aku dan De. Sekarang aku merasakan rindu ingin berdua dan berbagi canda dengan De. Di ruangan ini. Seperti dulu. Ah, di sisi lain ada gejolak cemburu di dalam dadaku untuk Vie.
Nia adik Vie. Si bungsu. Mendatangi aku di ruang tamu sambil membawa secangkir kopi dan sebungkus rokok di baki.
"Eh, Nia. Santai ajah. Gak usah repot."
Nia tersenyum. Dia menaruh baki itu di meja tamu, lalu duduk di sampingku.
"Padahal, nanti aja, aku bikin sendiri." ucapku.
"Kata mamah, dulu, kalau kak Raka kesini, selalu minta sama ka De untuk disiapin kopi sama rokok." Nia menatap ku sambil tersenyum. "Santai aja. Nia keluar dulu ya, kak." tangan kirinya menepuk paha kanakku. "Nanti mamah mau ngobrol, katanya." ujarnya sambil berdiri.
Aku kehilangan kata-kata. Hanya menatapi Nia yang melangkah berjalan keluar rumah. Seorang lelaki seusia Nia dengan speda motor bebek yang telah dimodifikasi berhenti di depan rumah. Nia meluncur dengan lelaki itu.
Aku memandang segelas kopi hangat, sebungkus rokok, dan sebuah korek gas di baki di atas meja. Wajah De berkelebat di pelupuk mataku. Aku perlahan menguyup kopi. Teguk pertama, hangatnya terasa sampai kepala. Senyum De berkelebat di benakku. Teguk kedua, matanya yang bening di bingkai bulu yang lentik terasa menempel di mataku. Teguk ketiga, aku melihatnya mengenakan mukena sambil membaca Al-Quran di ruang tengah. Sampai pada saat aku menyalakan rokok dan menghisap asapnya agak dalam, aku merasa melayang menembus dimensi ruang dan waktu. Ketika asap rokok itu ku tiupkan ke udara, aku melihat diriku berjalan menuju rumah ini.
Itu malam jumat. Selepas magrib aku keluar dari rumah Yadi yang tidak seberapa jauh dari rumah De. Suara orang-orang membaca Surat Yasin di masjid desa yang ku lalui terdengar jelas di pengeras suara. Jalanan sepi. Hanya sesekali motor lewat. Langkahku pasti melangkah menuju rumah De.
Ketika sampai di depan warung milik keluarga De yang menempel dengan rumahnya, aku mengatur nafas berlahan dan menenangkan diri.
"Assalamuallaikum....!" ucapku
Belum ada yang menjawab.
"Assalamuallaikum...!"
Masih sepi.
"Assalamuallaikum...!"
"Waallaikumsalam..." Mamahnya De keluar masih mengenakan mukena. "Eh.. Raka."
"Mah. De nya ada?" tanyaku pada mamah De yang juga mamah Vie dan Nia yanh biasa kupanggil mamah.
"Ada, lagi ngaji. Masuk." jawab mamah.
"Iya, mah."
"Lewat sini aja, gak apa-apa." mamah masuk kembali ke pintu samping yang menghubungkan rumah itu dengan warung.
"Iya." aku masuk mengikuti mamah.
Sampai di ruang tengah rumah, aku mendapati De duduk di sofa dengan mengenakan mukena sambil membaca Surat Yasin. Mamah tidak terlihat, mungkin sudah masuk kembali ke kamarnya. Aku duduk di sofa di depan De yang terhalang meja kaca seperti di ruang tamu. Aku diam dan mendengarkan De membaca Surat Yasin yang sepertinya masih setengahnya lagi. Aku terus memandangi De.
Tidak berapa lama, De menutup Al-Quran di tanganya, di cium, lalu di dekapnya. Baru kemudian dia melirik kepada ku.
"Assalamuallaikum..." salamku pada nya.
"Waallaikumsalam..." jawabnya dengan suara lembut. "Aku ganti kostum dulu, ya."
"Oke."
De kemudian menuju kamarnya. Senang sekali aku melihatnya. Sudah cantik, rajin membaca Al-Quran pula. Sambil menunggu De berganti pakaian, aku menyulut rokok. Sebentar kemudian dia keluar. Rambutnya yang panjang sepinggang diikat buntut kuda.
"Sebentar, ya. Aku bikin kopi dulu."
Aku mengangguk. Ini adalah kali ketiga aku main kerumah De. Sudah dua kali, ketika aku mau main kesini sebelumya aku SMS dulu. Pesan kopi dan rokok. Mamahnya bersikap sangat baik pada ku. Walau memang pada awal aku muncul, mamah sempat berfikir negative dengan cara aku berpakaian dan model rambut mohak panjang di kepang menghias kepalaku. Tapi mungkin karena aku berusaha bersikap santun akhirnya mamah berusaha untuk menerima ku.
"Kopi hangat datang!" De muncul dari arah dapur.
"Thank you, cantik." aku tersenyum.
"Ssst...!" De menempelkan jari telunjuk ke bibir mungilnya. "Nanti kedengeran mamah. Malu tau." wajahnya cemberut sambil menaruh kopi dan cemilan di baki ke atas meja di depanku.
"Gak apa-apa, mamah kamu juga pernah muda kali." kataku setengah berbisik.
"Aku bilangin mamah, loh." bisiknya sambil melotot.
"Kamu kalo melotot tambah cantik, ya."
"Ih gombal!"
"Ada apa sih,ribut-ribut?" mamah keluar dari kamar sambil membawa bungkusan.
"Ini mah Raka omongannya aneh-aneh."
"Aku bilang, De cantik. Bener kan mah?"
"Iya dong, siapa dulu mamahnya."
"Tuh, kan. Aku meledek De."
"Mamah kok belain dia sih?!" De menunjuk hidungku.
"Udah Ah, Mamah mau ke rumah Bi Tarmi dulu sebentar. Nganterin pesenan." mamah melirik padaku. Awas, jangan macem-macem. Lalu mamah berjalan ke arah pintu samping yang menuju warungnya.
Tinggal aku dan De. Aku meneguk kopi. De memandangi aku. Kemudian aku menatapnya sambil menikmati cemilan yang disajikan.
"Kenapa? Ada yang salah sama aku?" tanyaku.
"Orang mah, kalo mau main ke rumah orang tuh, pakeannya yang bener." turur De.
"ya, ini bener. Berpakaian. Kalo nggak berpakaian, nah itu gak bener."
"Ih, maksudnya tuh kamu, kalo mau bertamu, pake celananya yang bener, jangan celana sobek-sobek begini. Jaketnya juga tuh, yang itu-itu aja, bau tau."
"Kamu kok gak tutup idung?"
"Kamu, mah." De cemberut manja "Udah rambutnya kayak begitu. Apa kata orang coba?"
"Aku gak peduli apa kata orang. Yang penting aku gak menyakiti orang lain."
"Tapi kan umumnya orang melihat luarnya dulu, kak."
"Waktu kamu ngeliat aku pertama kali, gimana?"
"Aku kan udah dapet bocoran dari Yadi. Jadi gak kaget dan enggak berfikir negatif. Coba kalo belum. Mungki sekarang kita gak akan sedeket ini."
"Itu berarti aku deket sama kamu bukan karena keinghinan ku."
"Maksudnya?"
"Aku gak pernah minta Yadi untuk mempromosikan diriku sama siapa pun. Tapi tiba-tiba dia menceritakan diriku ke kamu. Terus dia juga cerita tentang kamu ke aku. Kamu nyuruh dia gak untuk nyeritain tentang diri kamu ke aku?"
"Ya enggak lah."
"Nah, jelaskan?"
"Maksud kamu..?"
"Apa..?"
Sejenak aku dan De saling tatap.
"Maksud kamu aku sama kamu jodoh gitu?" De tampak memaksakan diri untuk mengatakan itu.
"Kamu yang bilang, ya. bukan aku."
"Ih enak aja. Kita kan baru ketemu." ketus De.
"Ya, emang ketemu sih baru empat kali. Sekali di kampus. Yang tiga kali aku main kesini. Kalo kenal kan udah dari dua bulan yang lalu."
"Kamu tuh, maksa, ya."
"Aku cuma ngomong fakta, De."
Tiba-tiba pintu depan rumah terbuka. "Hayo maksa apa nih..?!" seorang perempuan masuk, parasnya tidak kalah cantik dengan De. "De, siapa yang maksa kamu?" perempuan itu manghampiri kami di ruang tengah.
"Oh ini temen aku Raka." De berdiri.
Aku ikut berdiri.
"Raka, ini kakak aku. Vie." De mengenalkan perempuan yang baru datang itu.
"Hai.. !" sapa Vie.
"Hallo...!" aku balik menyapa.
Aku dan Vie bersalaman. Kami saling tersenyum.
"Trusin-terusin. Aku ke kamar dulu." ujar Vie.
"Gabung di sini, ka." ajakku pada Vie.
"Nggak ah, nanti ngeganggu lagi." Vie masuk kamar.
"Nggak kok, ka. Nggak ngeganggu. Santai aja." Jawab ku.
De memandangiku sedemikian rupa. Aku menatapnya sejenak. Aku dan De duduk lagi di sofa. De masih melihat dan memperhatikan ku. Sepertinya dia ingin tau apa yang ada di dalam pikiranku.
"Kalo kita jodoh, pernikahan itu bukan Cuma menyatukan dua hati antara aku sama kamu. Tapi menyatukan dua keluarga. Kalo aku sayang sama kamu. Aku juga harus menyayangi keluarga kamu. Kamu juga ke aku harus gitu." aku mengatakan apa yang aku pikirkan.
"Ka, Vie!" De agak sedikit berteriak.
"Ya, De ada apa?" sahut Vie dari dalam kamar.
"Sini Raka mau ngobrol."
Aku melongo mengerutkan jidat memandang De.
"Kalo kakak aku gabung, kamu gak akan bisa gombalin aku lagi." tutur De.
Aku hanya tersenyum menatapi De. De tertawa pelan meledek aku. Vie keluar dari kamar. Aku melirik padanya. Sambil mengikat rambutnya mata Vie melirik pada ku sambil berjalan ke arah dapur. De menyusul Vie ke dapur. Aku hanya menatapi De. Terdengar mereka saling berbisik. Aku meneguk kopi-ku kembali. Tiga tegukan. Mereka agak lama di dapur. Entah apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mala ini akan seru.