Chereads / Cinta Gak Salah / Chapter 7 - Percikan Api

Chapter 7 - Percikan Api

Setelah hari itu, selama beberapa hari aku tinggal di rumah. Kakek-ku sedang di bengkel mobil miliknya. Nenek-ku memasak oseng tahu yang wanginya sampai kedepan rumah. Aku sendiri membaca buku ditemani kopi dan rokok di kursi, di teras rumah.

Sudah cukup lama aku membaca buku. Rasanya kepalaku mulai agak sedikit penat. Ku teguk kopi yang tinggal setengah gelas setelah menutup buku dan menyimpanya di meja. Kembali aku menyalakan rokok. Asapnya menari terbawa angin. Ingatanku kembali pada Vie.

Hari itu waktu aku pulang dari rumah Vie agak sore, dia belum datang. Entah kemana dia dengan pacarnya. Mungkin dia benar-benar marah karena aku menanyakan De. Mamah terlihat iba menatapku ketika aku berpamitan lalu naik ojek. Hampir sama persis seperti kejadian kurang-lebih setahun yang lalu. Aku menunggu De sampai tengah malam. Tapi De tidak pernah muncul.

Pagi itu hari minggu. Ketika aku bangun, Yadi sudah tidak ada di tempat tidurnya. Ibunya Yadi bilang, kalau Yadi sedang jogging dengan De. Aku tidak cemburu. Karena memang Yadi bersahabat dengan De sudah sejak dari kecil.

Sudah dua bulan aku tinggal di rumah Yadi. Jadi, aku tau diri. Aku beraktifitas seprti di rumah sendiri. Mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, dan kegiatan beres-beres yang lainnya aku kerjakan. Ibunya Yadi sudah menyiapkan aku sarapan sebelum dia pergi kepasar untuk berdagang. Jadi, setelah selesai semua pekerjaan rumah yang biasa aku lakukan, aku langsung memanjakan lambungku. Setelah itu aku santai-santai baca buku sambil ngopi.

Saking asiknya tidak terasa sudah jam aepuluh. Yadi belum juga datang. Aku segera menutup buku dan meluncur menuju rumah De. Aku pikir mungkin Yadi sedang ngopi di rumah De. Aku melangkah penuh semangat. Karena ada rencana besar di benaku. Rencana untuk aku dan De.

Sesampainya di rumah De, aku mendapati suasana sepi. Aku celingak-celinguk mencari De dan Yadi. Rumahnya seperti kosong. Warung keluarga De terbuka lebar. Tapi juga sepi.

"Assalamuallaikum..." aku mengucapkan salam.

"Wa'allaikumsalam..." terdengar suara Vie menyahut dari dalam rumah.

Vie memmbuka pintu depan. Dia mengenakan jaket dan wajahnya agak pucat. Dia menyambutku dengan hangat.

"Eh.. Raka. Masuk!"

"Kenapa, Vie? Sakit?" Tanyaku sambil masuk ke ruang tamu.

Aku duduk duluan di sofa sambil masih celingak-celinguk mencari De dan Yadi. Vie duduk pelan-pelan di depanku. Dia terlihat lemas.

"Magh-ku kumat, Ka." wajah Vie terlihat sedikit menahan sakit. "Mual, gak enak badan, lemes." ia menyandarkan tubuhnya di sofa. "Kalo mau ngopi, bikin sendiri."

"Udah berobat?"

"Gak, ah. Ntar juga sembuh."

"Ya, kan harus di obtain."

"Udah pake obat magh dari warung."

"Kecapean kamu, Vie."

"Iya, badanku pegel-pegel."

"Udah, makan?"

"Udah. Bubur."

Aku mengangguk-nganggukan kepala. Vie membaringkan badanya di sofa.

"Mamah kemana?" tanyaku

"Ke pasar." jawab Vie agak berat.

"Istirahatin aja dulu di kamar, Vie."

"Yang jaga Warung siapa?"

"Biarin aku aja."

"Emangnya tau harga-harganya?"

"Ya, kalo harga kopi sama rokok sih tau."

"Vie mengarahkan wajahnya padaku sambil memejamkan mata dan menjulurkan lidahnya."

Aku tertawa ringan.

"Bikin kopi sana!" Vie menggerakan tanganya.

"Baru ngopi, tadi."

"Beli...!" seseorang berteriak dari arah warung.

Vie berusaha untuk bangun.

"Biarin aku yang layanin. Kamu rebahan aja. Nanti kalo aku gak tau harganya aku nanya sama kamu." ujarku.

Vie mengacungkan ibu jari tangan kananya.Dengan sigap aku melayani orang yang berbelanja di warung keluarga ini. Beberapa kali aku bolak balik dari warung ke ruang tamu untuk menanyakan beberapa barang yang harganya aku tidak tau. Ada dua lagi pembeli yang datang kemudian. Aku berusaha menjadi pedagang yang baik.

Ketika aku hampir selesai melayani pembeli yang terakhir. Mamah datang dengan ojek. Belanjaanya lumayan banyak. Aku tidak bisa membantu karena sedang melayani pembeli. Tukang ojek membantu Mamah membawa belanjaan ke dalam warung.

"Bu, menantu, nih?" canda tukang ojek sedikit berteriak sambil sedikit melirik padaku.

"Karyawan baru." kata Mamah.

"Menantu juga gak apa-apa, bu." sahut pembeli yang baru saja selesai aku layani.

"Aamiin..." kata Mamah sambil membayar ojek.

Aku hanya tersenyum.

"Yang mana nih? Nia kan masih sekolah." tanya pembeli.

Mamah melirik pada ku.

"Vie, dong. Dia kan udah ngajar di SD." kata tukang ojek.

"Aamiiin doa-nya dari semuanya." ucap Mamah sambil tersenyum.

"Iya, bu saya doain." Kata pembeli yang sudah selesai belanja itu sambil pergi.

"Saya juga ngedoain.... Mari, bu." kata tukang ojek sambil naik ke motornya.

"Iya, mang, terimakasih." Mamah tersenyum.

Tukang ojek meluncur. Mamah masuk ke warung. Aku bersalaman dengan mamah dengan menyucup punggung tangan kananya sambil membungkukan badan.

"Vie nya kemana?" tanya mamah.

"Rebahan di sofa. Kecapean kayaknya ya, Mah."

"Iya, dari semalem Mamah pijitin, dikerokin. Merah-merah tuh punggungnya."

Aku dan mamah berbincang sambil berjalan kedalam rumah. Kemudian mamah masuk ke kamar. Aku kembali duduk di depan Vie.

"Terima kasih, ya." kata Vie.

"Gak usah repot. Santai aja." ucapku.

Kami terdiam sejenak.

"De, kemana Vie?"

"Jangan pura-pura gak teu, deh."

"Ya, aku tau. Yadi bilang, mau jogging sama De."

"Kamu gak ikut?"

"Pas adzan subuh aku bangun, Yadi udah gak ada."

"Yadi bilang, mau ngajak kamu?"

" Bilangnya sih dia mau bangunin aku."

"Ya, udah. Tunggu aja. Ntar juga pulang."

"Awal aku kenal, De gak begini." aku menyandarkan tubuhku ke sofa. "Dia, nunjukin dirinya penuh semangat." aku menghela nafas. "Aku ngerasain, ada pemberontakan di dalam dirinya." aku menatap Vie. "Tapi aku gak tau dia berontak terhadap apa?"

"Ada banyak hal yang kamu gak tau, atau mungkin belum waktunya kamu tau tentang keluarga ini." Kata Vie sambil bangun Dari rebahanya.

"Sebelumnya De cukup terbuka sama aku.

Tapi, ya... walaupun adik sendiri, aku gak sepenuhya ngerti soal dia."

"De gak pernah curhat sam kamu?"

"Bentar." Vie berdiri sambil menutup mulutnya. Lalu secepat mungkin dia berusaha berlari mencapai kamar mandi.

Aku kaget melihat hal itu. Terdengar Vie muntah beberapa kali di kamar mandi. Aku berdiri di ruang tengah menatap ke kamar mandi. Terlihat dari pintu kamar mandi yang terbuka Mamah sedang memijit pundak Vie.

Setelah Vie salesai muntah-muntah, Mamah segera ke daour dan menuang air hangat ke gelas. Vie kelur dari kamar mandi setelah menyiram bekas muntahnya. Mamah memberikan segelas air hangat pada Vie. Vie kembali menuju pada ku. Kemudian kami berdua kembali duduk di ruang tamu.

"Ka, boleh minta tolong?" Tanya Vie setelah minum air hangat.

"Boleh. Apa tuh?"

"Tolong pijitin dong." Badanku gak enak banget nih.

"Oke." Aku menyanggupinya tanpa pikir panjang.

Kemudian aku meminta Vie pindah duduknya ke sofa kecil yang tidak memiliki sandaran. Vie mengikuti permintaanku. Aku mulai memijat pundaknya. Tapi jaketnya yang lumayan tebal membuat Vie tidak merasakan pijitanku. Dia memintaku berhenti sebentar. Aku menurutinya. Lalu Vie membuka jaketnya. Aku mulai memijatnya kembali.

Aku bukan ahli pijat. Tapi aku sering diminta kakek untuk memijat tubuhnya. Jadi sedikit banyaknya aku bisa karena terbiasa. Mamah melintas di ruang tengah dan berhenti sebentar melihat kami berdua. Ekspresinya agak sedikit kaget melihat aku memijat Vie yang hanya mengenakan kaos tipis. Aku agak sedikit kikuk menyadari apa yang aku lakukan. Mamah kembali melanjutkan aktifitasnya. Vie meraskan pijatanku di Pundak, punggung, leher, kepala, tangan , dan kaki.

Setelah di pijat, Vie mengaku badanya terasa lebih ringan. Dia mengenakan jaketnya kembali. Pucat di wajahnya sudah jauh berkurang.

"Kok, laper ya?" Vie memegangi perutnya.

"Biasanya kalo abis dipijit, begitu. Anginya keluar."

"Kamu laper?"

"Laper. Kekuras. Abis mijitin kamu." aku tertawa kecil.

"Sebagai tanda terima kasih, aku mau masak buat kamu."

"Eh, jangan. Kamu kan masih sakit."

"Udah segeran, kok."

Adzan dzuhur mengalun. Aku melirik pada jam dinding. Jam dinding menjawab, pukul dua belas kurang sedikit. De belum juga pulang. Vie tampak memahami apa yang aku pikirkan.

"Kamu shalat dulu. Siapa tau nanti setelah dzuhur De pulang."

"Aku ke rumah Yadi dulu, deh."

"Ke sini lagi. Kamu harus cicipin masakan aku."

"Udah sembuh, Vie?" tanya Mamah mangagetkan kami.

"Alhamdulillah, dipijit Raka, Mah." jawab Vie.

"Hebat bisa mijit, ya." ujar Mamah.

"Biasa mijitin kakek, Mah." jelasku.

"Jadi, sekarang Vie kuat nih? Udah bias masak?" Mamah menatap Vie.

"Iya mah, biar Vie yang masak." ucap Vie.

"Oke..." Mamah mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu melangkah menuju kamar.

"Aku ke rumah Yadi dulu, ya." ucapku.

"Kesini lagi, tapi!" pinta Vie.

"Iya." aku meyakinkan Vie.

Sambil membawa rasa kesal pada Yadi dan Kecewa pada De aku melangkah ke rumah Yadi. Tapi hadirnya Vie di pikiranku membuat kesal dan kecewa yang aku rasakan tidak terlalu berdampak. Sedikit lagi aku sampai kerumah Yadi. Aku memilah antara De dengan Vie melalui rasaku. Dan rasanya, Vie masih berada di pikiranku, tapi De sudah masuk kedalam dada. Aku tersenyum sendiri merasakan rasa itu. Sampai tiba-tiba aku melihat De keluar dirumah yadi tepat ketika aku berada diteras rumah Yadi.

Yadi berdiri di pintu. De terkejut melihat ku. Aku menatapi mereka berdua. Tanpa berkata apa-apa, De berlalu sambil menundukan kepala. Yadi menatap ku. Aku menatap Yadi.