Aku masuk ke rumah Yadi smbil terus menatap wajahnya. Yadi tampak berusaha tenang. Aku menepuk pundak Yadi sambil berbisik.
"Lo tau, kenapa Arok memberontak dan membunuh Tunggul Ametung?" ucapku.
"Ya. Itu semua dilakukan untuk Dedes." jawab Yadi.
"Gue juga bisa senekat Arok untuk ngedapetin De." jelasku.
"Jadi, lo mau jajal gue?" tanya Yadi.
"Abis Shalat. Gue pengen semuanya jelas." tandasku.
"Ok." timpal Yadi.
Aku langsung ke kamar mandi. Setelah berwudlu aku masuk ke kamar Yadi. Yadi duduk di sofa menatapku. Dadaku benar-benar bergejolak. Nafasku hampir tidak beraturan. Aku berusaha tetap tenang. Tapi shalatku benar-benar kacau. Pikiranku terus mengingat De dan Yadi. Rasanya ingin meledak.
Selesai shalat aku menghampiri Yadi yang tengah menikmati sebatang rokok di ruang tamu.
Aku duduk di depanya, dan berusaha tetap tenang sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di meja tamu. Aku menyulutnya. Beberapa saat aku dan Yadi tetap diam dan saling tatap.
"Kenapa? Lo suka sama De?" aku memulai percakapan.
"Cemburu?" Yadi tersenyum mencibir.
"Jelas." tandasku.
"Hah, dia temen gue dari kecil." ujar Yadi.
"Itu gak nghalangin lo buat jatuh cinta sama dia."
"Susah kalo ngomong sama orang yang cemburu."
"Apa yang lo umpetin dari gue?"
"Gue gak bisa bilang sama lo. Ini privasi-nya De."
"Lo harus cerita ke gue. Karena gue serius sama De."
"Lo percaya sama gue. Gue gak ada apa-apa sama De."
"Kalo gak ada apa-apa, kenapa lo jalan berdua dan ngerahasiain sesuatu dari gue?"
"Lo temen gue. De juga temen gue. Dia minta supaya lo jangan tau masalah pribadinya dia."
"Kalo gue gak tau, gimana gue bisa bantu dia?" dudukku bergeser agak ke depan hingga posisiku menjadi agak lebih dekat dengan Yadi yang duduk di sofa di sebrang meja tamu di depanku.
"Lo, percaya sama gue. Gue gak bakalan bocorin rahasia De." Yadi juga menggeser duduknya agak lebih depan. " Kalo lo bener serius sama dia, lo harus dapetin kepercayan dia. Sampe dia bener-bener terbuka sama lo." ia menatapku.
"Dan sekarang dia terbuka sama lo?" aku menunjuk wajah Yadi.
"Hah, emang susah ngomong sama orang yang lagi cemburu." celetuk Yadi.
PLAK...!
Aku menampar Yadi sekuatnya sampai badanya miring kekanan. Dia menatap ku sambil memegangi pipi kiri-nya. Wajahnya berubah merah padam. Aku berdiri, lalu melangkah menuju halaman rumah Yadi sambil menggerakan tangan kiriku untuk memberi isyarat agar Yadi mengikuti aku.
Aku menunggu di halaman rumah Yadi sambil mengerak-gerakan leher, pundak, dan kedua tanganku. Yadi keluar dari rumah menghampiri ku. Kami saling berhadapan.
Yadi melayangkan kepalan tangan kananya mengarah kepalaku. Aku mundur selangkah dan menarik tubuhku ke belakang. Pukulan Yadi hanya mengenai angin. Tapi dengan cepat Yadi melangkah kedepan sambil mengayunkan kepalan tangan kirinya mengarah pipi kananku. Aku mundur lagi selangkah sambil agak merunduk dan tangan kananku menangkis tangan kiri Yadi.
Kemudian kami saling hantam membabi-buta. Beberapa kali wajahku terkena pukulan Yadi. Begitu pun wajah Yadi beberapa kali mencicipi pukulanku.
Tiba-tiba suara jerit anak kecil memekakan telinga. Wajahku kembali di makan pukulan Yadi bersamaan dengan pukulanku menghantam wajah yadi. Kami berdua terdorong mundur beberapa langkah dan berhenti sambil melirik ke arah suara jeritan anak kecil itu.
Tampak adik Yadi yang baru kelas 1 SD menangis di depan pintu. Kami segera menghampiri dia. Yadi menggendongnya. Aku mengusap usap kepalanya.
"Jangan berantem...!" Tangis adik Yadi ketakutan.
"Enggak, kakak sama kak Raka cuma bercanda" Yadi berusaha menenangkan adiknya.
"Iya kita cuma latihan." aku menimpali.
"Kok kayak beneran?"
"Kakak mau ikut lomba. Harus beneran biar juara." kata yadi.
"Lomba silat?" tangis adik yadi mereda.
"Iya. Do'ain ya. Biar kita juara." aku meyakinkan adik Yadi.
Adik Yadi sudah kembali tenang. Dia turun dari gendongan Yadi. Lalu menarik lengan Yadi untuk masuk ke rumah.
"Ajarin silat, kak. Ajarin silat." adik Yadi tampak senang.
"Lo, sih. Ribet nih urusan." kata Yadi melirik padaku sambil masuk ke rumah mengikuti tarikan tangan adiknya.
"Mangkanya jangan bikin ribet orang." balasku sambil berlalu menuju rumah De.
Aku berjalan agak sedikit terhuyung. Kepalku terasa sedikit berat. Ternyata pukulan Yadi terasa agak lumayan berbobot.
Sesampainya di rumah De, tampak pintu depanya terbuaka. Vie sedang duduk memegan HP. Dia menengok ke pada ku. Tanpa salam aku langsung masuk dan duduk di depan Vie. Vie masih menggerakan ibu jarinya di keyboard HP. Aku menuang air bening ke gelas yang memang tampak sengaja disiapkan Vie. Vie menaruh HP-nya di meja. Aku menguk air bening yang baru saja di tuang itu.
"Lama sih, Ka?" tanya Vie.
"Ngobrol dulu sama Yadi." jawabku.
"Mereka udah pulang?" Vie menengok keluar. "De nya mana?" ia melirik padaku.
"Loh, tadi kan dia kesini duluan." jelasku.
"Gak ada?"
"Waduh...!"
"Apa pulang ke rumah Kakek, ya?" Vie menatap ku.
"Hah... Bisa jadi."
"Kamu ngobrol sama Yadi, apa berantem?" Vie memperhatikan wajah ku.
"Kenapa, Vie?"
Vie bergeser dari tempat duduknya dan mendekat padaku. Tanganya memegang pipi kiriku. Wajahnya didekatkan ke wajah ku.
"Ini biru, Ka. Bekas pukulan." Vie meniup pelan ke pipiku.
Aku menatap matanya. Aroma nafas Vie terasa khas. Dia melirik ke mataku.
"Kamu, berantem?"
"Sedikit."
"Hei... ngapain?" suara Mamah
Aku dan Vie menengok ke sumber suara. Tampak mamah sedang memperhatikan kami.
"Belom, muhrim." kata Mamah.
Seketika kami menyadari jarak kami sangat dekat. Bahkan wajah Vie dan wajahku hampir bersentuhan ketika Vie meniup memar di pipiku. Aku dan Vie segera merentangkan jarak hampir bersamaan.
"Ini mah, pipi raka biru." Vie memegang dagu ku dan memutarnya sampai kepalaku bergerak menghadap Mamah.
"Loh..." Mamah menekuk wajahnya menatap heran pada ku. "Tadi masih mulus...."
"Berantem sama Yadi, mah. Rebutan De." kata Vie.
"Ssst... Sembarangan!" aku merengut pada Vie.
"Gak usah berebut. Tanya aja. De nya pilih siapa?" ucap Mamah santai.
Aku dan Vie terkejut mendengar respon mamah. Kami menatap heran pada mamah.
"Makan dulu. Tadi Vie udah masak. Ayo...!" Mamah menggerakan tangannya supaya kami mengikutinya ke meja makan.
"Tangan kamu halus juga, Vie." ucapku pada Vie.
Vie melirik padaku. Dia melepaskan tanganya dari daguku dan menampar pipiku agak keras.
"Aduh, Vie...!"
"Ayo makan." Vie berdiri dan menuju meja makan. "Awas kalo bilang gak enak." ia menunjuk ke aku sambil terus melangkah.
Aku hanya tersenyum sambil berdiri santai. Lalu aku menyusul Vie dan Mamah ke meja makan. Vie menyiapkan piring. Mamah merapikan hidangan yang sebetulnya sudah terlihat tersusun rapi. Mamah duduk. Vie duduk di kursi, di sisi meja sebelah kiri mamah. Aku duduk di kursi, di sisi meja sabelah kanan Mamah.