Waktu seperti berhenti
Kopi hitam hangat membuat pagiku sedikit cerah. Walau aku masih mencari De dalam penantian ku di rumah keluarga Mamah, tapi tiba-tiba rasanya Vie memberikan warna lain ketika ia menyediakan kopi dengan sepiring pisang goreng dan menemaniku duduk di teras rumah pagi itu.
Vie coba menghiburku dengan menceritakan cita-citanya. Rupanya ia sudah cukup paham dengan kesenanganku yang selalu berusaha membuat rencana untuk hari esok.
"Aku ingin menjadi wanita yang mandiri." mata Vie menatap jauh ke depan.
Aku menatap wajahnya.
"De, adiku, juga sama." Vie menatap ku "Cuman, ya, kita wanita, suka mentok dengan kenyatan." ia mengambil sepotong pisang goreng. "Dengan hukum masyarakat, adat, budaya, dan hukum agama." dengan santai ia menggigit pisang goreng.
"Jadi, mungkin De gak pulang karena dia mencari sesuatu agar dia bisa lepas dari kenyataan itu.?" tanyaku.
"Mungkin dia mencari seseorang yang bisa membantu melangkah mencapai cita-citanya." ujar Vie.
"Apa yang bisa membantunya?" aku meneguk kopi.
"Mungkin dia butuh motifasi dari seseorang yang dia percayai." jelas Vie.
"Aku rasa, banyak orang yang bisa memberikan motifasi, solusi, saran, bahkan keritik. Tapi untuk mencapai semua itu, tetap, dirinya sendiri yang harus menjalankan." tuturku.
"Terus, harus gimana?"
"Entahlah." aKu menyulut rokok. "Mungkin kita harus bersukur karena berbeda dengan keumuman orang."
"Kita harus menerima resiko dihukumi, dan dicibir oleh masyarakat untuk menuju sesuatu yang kita inginkan.?"
"Ada yang bilang, ikuti nuranimu." Aku melirik pada Vie. "Bukan keinginanmu."
"Beda, ya?"
"Katanya kita harus banyak merenung. Harus mulai berbicara dengan diri kita sendiri."
"Semudah itu?"
"Aku rasa persoalanya buka susah atau mudah. Tapi, kapan kita mau memulai?"
"Bagai mana dengan hukum agama?"
"Aku cuma berharap, suatu saat nanti, Allah memberikan pemahaman kebenaran yang hakiki tentang semua itu."
"Aku sekarang gak pake kerudung, pake kaos, dan celana pendek. Kamu ngeliat aku. Kita dosa."
"Iya. Aku sadar. Aku lemah. Semua yang kita lakukan hanya untuk kesenangan kita."
"Duduk berdua begini saja, wanita sudah dibatasi dengan auratnya."
"Sekarang ilmu dan pengetahuan kita baru nyampe ke otak. Kita cuma bisa berharap suatu saat nanti Allah memasukanya kedalam hati kita. Kalo udah begitu, hakikat kebenaran akan terbuka, pemahaman kita akan bisa terwujud dalam prilaku kehidupan nyata." aku kembali meneguk kopi. "Walaupun dosa kita seluas langit, bumi, dan isinya, tapi pengampunan Alloh jauh lebih luas dari itu." aku menghisap rokok agak dalam. "Sekarang yang bisa kita lakukan hanya belajar berjalan, ketika terjatuh, kita bangun lagi. Terus begitu sampai kita bisa berjalan dengan baik dan benar."
"Kemarin aku sakit, sekarang nggak. Besok kita gak tau. Sementara, sekarang kita masih belajar berjalan. Kalo besok kita mati?" tanya Vie.
"Kita cuma bisa berharap pada rahmat Allah." Aku menaruh rokok di asbak.
Vie menatapku lekat-lekat. Aku mengambil sepotong pisang goreng lalu ku nikmati gigitan pertamaku sambil melirik pada Vie. Vie tersenyum.
"Aneh ya, kita ngomongin soal mati, tapi aku sama sekali tidak merasa putus asa." Vie meneguk teh hangat yang sudah lama dicuekin.
"Mungkin itu salah satu kemulyaan mengingat mati yang sering disampein para kiyai." aku tersenyum.
"Menurut kamu, gak masalah, perempuan bekerja?"
"Kenapa?"
"Aku udah masukin lamaran ke sekolah SD deket sini."
"Good...! awal yang bagus."
"Kamu?"
"I do'nt know. Aku belum punya rencana."
"Kalo nanti ketemu De, kamu mau gimana kalo belum punya rencana?" Tanya Vie.
"Semua rencanaku hilang, karena sampe sekarang aku belum ketemu De." jawabku sambil menyeringai.
"Emang gak ada cewek lain selain De yang bisa menginspirasi kamu untuk merencanakan masa depan?" tanya vie.
"Kamu mau mengajukan diri untuk jadi cewek yang bisa menginspirasi aku?"
"Eh... Mulai gombal, ya." Vie mengacungkan telunjuknya ke pada ku.
"Kalo ada kejelasan dari De, baru aku cari lagi yang bisa menginspirasi. Haha..."
"Asik, nih...!" Nia muncul di pintu.
Aku dan Vie menengok pada Nia. Nia membagi pandanganya pada ku dan Vie.
"Kayaknya kalian cocok deh." Ceplos Nia.
"Apaan sih." Vie memukul paha Nia.
" Em... Itu. Bibi SMS ke mamah. Ka De pergi ke Bandung tadi pagi." Ucap Nia sambil agak meringis.
Jantungku rasanya berhenti. Vie menoleh pada ku. Aku menyandarkan tubuhku pelan pelan di kursi. Vie segera menyuruh Nia masuk. Aku menghisap rokok agak dalam, lalu mematikanya di asbak.
Nia masuk. Vie menatap ku. Aku memandang Vie sebentar lalu perlahan mengarahkan pandangan jeuh ke sebrang jalan sambil bernafas pelan-pelan.
Rumah-rumah yang berderet di sebrang jalan seperti hilang. Pandanganku menerawang kosong. Rasanya waktu seperti berhenti. Suara-suara hilang cukup lama. Sampai kemudian tangan Vie mengganggam tangan kiri ku.
"Raka, kamu gak apa-apa?" Vie tampak khawatir.
"Nggak, santai aja." Jawabku pelan.
"Kamu keliatan layu. Bukan santai."
Aku menarik nafas agak dalam, lalu menghembuskanya agak kencang.
"Aku, cuma... Kaget, dikit." Kataku sambil kembali menarik nafas pendek agak cepat dan menahanya sebentar lalu di buang lagi agak cepat.
Vie tampak khawatir. Tangan kananya masih memegang tangan kiriku. Aku menatapnya. Tangan kirinya membantu tangan kananya memagang tangan ku seolah berusaha memberiku kekutan untuk bisa tegar.
"Ehem...!"
Suara dehem agak menekan mengagetkan aku dan Vie yang sedang saling tatap. Serentak kami menengok ke arah suara dehem itu. Tapak Yadi dan Yanto menatap kami di bawah teras yang hanya memiliki dua anak tangga itu. Vie segera melepaskan genggaman kedua tanganya dari tanganku.
"Eh, Yad, pada masuk yuk, di dalem." Ajak Vie sambil masuk duluan ke ruang tamu.
"Pentesan betah, ngopi ditemenin cewek cantik. Dipegang-pegang lagi." ledek Yanto.
"Ya... sekedar menikmati suasana." aku kembali meledek.
"Kampret, lo...! Gue jadi nginep di rumah Yadi." semprot Yanto.
"Ngobrolnya di dalem. Gak enak diliat orang." kata yadi.
Kami kemudian masuk ke dalam rumah setelah bersalaman tanda akrab. Vie tampak membereskan toples yang sudah kosong.
"Silahkan duduk mas bro semuanya. Aku bikin kopi dulu." ucap Vie.
"Santai aja teh, gak usah repot-repot." kata Yanto.
"Dia sih biasa direpotin." celetuk yadi.
Vie cuma tersenyum sambil berlalu ke dapur. Kami duduk di ruang tamu. Yanto tampak agak canggung.
"Gila, lo. Nginep di rumah perawan. Apa kata tetangganya, coba." bisik yanto.
"Lo tanya sama Yadi. Dia kan tetangganya." aku menunjuk Yadi.
"Enjoy aja kali. Kakaknya orang pergerakan. Jadi sebelum kita, dulu lebih banyak lagi yang sering ngumpul dan nginep di sini." jelas Yadi.
Yanto mengeluarkan sebungkus rokok. Aku keluar sebentar mengambil pisang goreng yang tinggal dua potong dan kopi yang tinggal setengah gelas di meja, di teras rumah.