Chereads / Cinta Gak Salah / Chapter 9 - Butuh Komitmen

Chapter 9 - Butuh Komitmen

Mamah memandang ku agak lama. Aku agak sedikit salah tingkah. lalu mamah menatap Vie, kemudian menghela nafas. Nia si bungsu, mengetuk pintu, dia berdiri di pintu ruang tamu yang sejak awal terbuka. Nia berjalan melewati ruang tengah menuju maja makan tempat kami bersiap untuk makan. Nia bersalaman kepada ku, kepada Vie, kepada Mamah, lalu dia duduk di sisi meja yang berhadapan dengan Mamah.

"Ka Vie udah sembuh?" tanya Nia pada Vie.

"Alhamdulillah." jawab Vie.

"Tau tuh, digimanain sama Raka." kata Mamah.

Aku terkejut.

"Wah... hayo diapain?" mata Nia menggkerling ke pada ku sambil melentikan telunjuknya ke arah ku.

"Ada deh...!" ledek ku pada Nia.

Nia memanyunkan mulutnya ke arah ku.

"Udah... makan! makan!" kata Vie.

"Ka, De belum pulang, Mah?" tanya Nia pada Mamah.

"Belum." jawab Mamah datar.

"Wah ngedet sama Yad ini, mah."

Sssst...!" mata Vie mendelik ringan pada Nia, lalu bergerak menunjuk pada ku.

"Ka Raka, pipinya biru?" tanya Nia heran.

"Udah... udah... kita makan oke!?" tukas Mamah.

Nia melirik pada mamah. Mamah menempelkan jari telunjuk kananny ke bibirnya. Aku menghela nafas ringan. Vie mengambilkan nasi untuk mamah. Kemudian untuk ku. Nia si bungsu manja yang masih kelas satu SMA itu minta di ambilkan juga pada Vie. Sambil meledek Vie mengambilkan nasi untuk Nia. Nia tertawa kecil. Terakhir baru Vie mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Setelah membaca doa masing-masing di dalam hati. Kami memulai makan siang dengan lauk nasi yang menggugah selera hasil karya Vie.

"Sebetulnya kamu ka De itu gimana, Ka?" tanya Mamah dengan nada ringan sambil menyantap hidangan.

"Ya, serius mah." jawabku sambil mengunyah pelan.

"Serius pacaran, apa serius mau nikah?" sambar Nia.

"Nia...!?" Vie agak melotot ke Nia.

"Aku sih serius untuk menjalani hubungan menuju pernikahan, Mah." Aku menatap Mamah sebentar.

"Emang, ka Raka udah kerja?" Nia menyambar lagi.

"Nia..!" Vie mencubit Nia.

"Aw...! kakak, sakit...!" Nia meringis.

"Penting ya mah, aku udah kerja atau belum?" tanyaku.

"Hah... pekerjaan itu bisa di cari, atau di buat. Yang penting komitmennya itu." jawab Mamah santai.

"Insya Alloh aku komitmen, Mah."

"Nah, kalo gitu kan Mamah tenang. Kita tinggal tunggu De pulang." tutur Mamah.

"Ka Raka keren." Nia mengacungkan kedua ibu jari tangannya sambil tersenyum imut.

Vie hanya menatapku sambil berdehem pelan.

Kami melanjutkan makan siang dengan obrolan-obrolan ringan. Kebetulan siang itu warung kelurga ini sepi, tidak ada pembeli. Jadi kami menikmati makan siang dengan baik dan benar.

De belum juga datang. Makan siang kami sudah usai. Mamah pergi ke warung keluarga ini. Nia mmbereskan piring dan gelas bekas makan kami, lalu membawanya ke dapur. Vie merapikan meja makan. Aku melenggang menuju ruang tamu.

Cuaca lumayan terik siang itu. Aku menatapi jalan raya di depan rumah keluarga ini sambil menghisap rokok di ruang tamu. Vie datang membawa segelas kopi hangat dan menyimpanya di meja tamu, ia duduk di sampingku.

Aku menatap Vie sebentar, lalu melirik kopi. "Aku bisa bikin kopi sendiri Vie" aku kembali menatap Vie. "Jangan-jangan ada maunya, nih?"

"Itu yang Aku seneng dari kamu. Peka." ujar Vie.

Aku hanya diam menatap wajah Vie. Vie menghela nafas pelan. Pandangannya kosong menatap tembok.

"Apa yang kamu suka dari De?" tanya Vie.

Aku tidak langsung menjawab. Mataku masih menatap wajah Vie. Vie melirk pada ku. Ia menatap mataku.

"Cantik." Ujar ku.

"Cantik akan hilang dimakan usia tua." Vie memalingkan wajahnya. "Jadi, kalo De nanti tua, kamu gk akan suka lagi."

"Semuanya selalu berawal dari pandangan pertama." aku menguyup kopi hangat yang tadi di bawa Vie. "Yang membuat kita bertahan menyukai sesuatu itu, mungkin kesan yang dirasakan setelah kita dekat, atau setelah kita menjalani sesuatu itu."

"Kamu sama, De?"

"Aku baru merasakan rasa suka."

"Berarti, belum cinta?"

"Aku belum bisa bedain, mana suka, mana cinta." 

Vie menatap wajahku.

"Yang aku tau, rasa sukaku ke De adalah cinta." aku melanjutkan kata-kata.

"Perempuan itu suka bertanya, aku sendiri begitu. Kalo ada cowok yang bilang suka ke aku, aku pasti bertanya, apa yang bikin kamu suka ke aku?"

"Sampe sekarang aku masih berfikir, dan merasai. Rasanya cinta itu gak perlu alasan." Aku menghisap rokok.

"Jadi, ketika ada seseorang yang baik sama kamu, perhatian, suka nolong kamu, kamu belum tentu suka sama seseorang itu?"

"Kayaknya begitu, Vie."

Vie terus menatap wajahku. Sepertinya dia benar-benar ingin menyelam ke dalam diriku. Aku tidak berani menatap terlalu lama pada matanya yang terus menatap mataku.

"Mungkin kamu juga pernah ngerasain, Vie. Begitu ngeliat seseorang yang baru kamu ketemu, suka ada rasa kayak, tek.... Gitu, di hati. Terus, muncul deh rasa pengen deket, dan ingin memiliki."

"Iya sih, pernah." ucap Vie.

Kemudian aku dan Vie terdiam cukup lama. Panas dari cuaca terik sesekali diusir semilir angin yang lumayan menyejukan.

"Apa De tipe kamu?" tanya Vie.

Aku terkejut mendengarnya. Jidatku mengkerut menatap Vie. 

"Setiap orang punya seleranya sendiri-sendiri. Termasuk sama lawan jenis." lanjut Vie.

"Gk, tau. Yang jelas pertama aku ketemu De, kenalan, ngobrol, orangnya asik. Cukup lues. Yang penting ada, tek, pas pertama kali ngelit dia." 

"Sebagai kakak-nya De, aku ingin tau dengan pasti sejauh mana keseriusan kamu sama De."

"Aku serius, Vie. Cuman, aku butuh komitmen dari De juga."

"Orang bilang, cinta itu harus di tunjukan, bukan cuma di ungkapkan."

"Mangkanya aku di sini nunggu dia."

"Kalo kamu bener cinta sama adik aku, apa yang bakal kamu lakuin untuk bikin dia bahagia?"

"Apa pun yang dia minta."

"Kalo, dia lebih bahagia dengan nggak sama kamu?"

"Kalo gitu, aku bakalan menjauh dari dia." Kataku setelah berfikir agak lama.

"Semudah, itu?" Vie keheranan menatap ku.

"Kalo di ucapin, ya, semudah itu. Kalo di lakuin, ya, mungkin berat."

"Kalo itu yang terbaik buat ngebahagiain dia, lo tetep mau lakuin itu?"

"Asli, gak kebayang gimana sakitnya gue." Aku tersenyum kecil.

"Aku ke rumah Yadi dulu." Vie berdiri dari duduknya.

"Mau ngapain?" aku kaget.

"Ngambil pakean kamu dan semua barang-barang kamu."

"Eh, gak usah." aku memegang tangan Vie. "Biarin aku yang ngambil."

"Aku gak mau kamu berantem sama Yadi."

Vie menepuk pipi kiriku yang memar membiru. Aku meringis kesakitan. Dia beranjak keluar rumah. Dia benar-benar menuju rumah Yadi.

Aku hanya duduk di sofa sambil garuk-garuk kepala. Kuteguk lagi kopi yang hampir dingin. Lalu aku ambil sebuah majalah yang tergeletak di kolong meja. Aku berusaha membuat penantian menunggu De pulang tidak terasa menjenuhkan.