Malam sudah menjelang. Aku masih bertahan di sini, merebahkan tubuhku di sofa ruang tamu berbantal tas yang berisi semua barang milikku. Kabar dari jam dinding menunjukan angka 9 kurang sedikit. De belum juga pulang.
Mamah tidak lagi keluar kamar semenjak setelah shalat isya jam 8 tadi. Nia sibuk dengan tugas sekolahnya. Vie baru saja selesai menyetrika pakaian, ia menghampiri aku dan duduk di sofa, di depanku.
"Udah malem, ka. Kayak nya De gak bakal pulang." Vie menatap ku iba.
Aku bangun dari rebahan. Kemudian mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang terleyak di meja lalu menyulutnya.
"Mau ganti kopinya" tawar Vie.
Aku melirik pada secangkir kopi yang tinggal setengah dan hampir dingin. "Gak usah. Itu masih ada." aku menatap Vie.
"Dingin kali, ka."
"Gak apa-apa."
Sejenak kami terdiam. Vie mengambil cemilan di meja. Aku menguyup kopi satu tegukan, lalu kembali menghisap rokok. Vie menatapku sambil mengunyah cemilan yang baru diambilnya pelan-pelan.
"Kamu tuh keras kepala, ya." ucap Vie.
Aku kembali menatp Vie.
"Kalo punya keinginan tuh, harus tercapai." Vie coba menebak diriku.
"Nggak, keinginan itu bukan harus tercapai." aku meneguk kopi." Aku cuman ingin tau ujungnya." Ku isap lagi rokok di tanganku. "Apa yang aku inginkan, memang untuku atau bukan?"
"Aneh. Harusnya kan kita berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Apa pun caranya. Bahkan kalu belum juga tercapai harusnya kita terus berjuang untuk mendapatkanya?" tutur Vie.
"Itu namaya maksa. Bukan berjuang." timpalku.
"Bangsa kita juga maksa untuk merdeka dari penjajahan."
"Berjuangnya bangsa ini untuk meraih kemerdekaan, berbeda dengan berjuangnya aku untuk mendapatkan De. Merdeka itu hak. Setiap individu berhak merdeka. Kalo aku maksa De untuk jadi miliku, itu namanya penjajahan." aku tertawa kecil.
"Terus, kenapa kamu sekarang tetap nunggu De pulang dari pagi tadi sampe sekarang?" tanga Vie penasaran.
"Aku bukan ingin memiliki De. Tapi aku ingin tau, apakah De bersedia menjadi kekasihku?" jawabku.
"Ya, sama aja. De memiliki kamu, kamu memiliki De." tandas Vie.
"Kalo aku ingin memiliki bunga mawar, pasti aku petik atau aku potong bunga itu dan aku taruh di kamar, atau aku selipkan di kuping. Tapi kalo aku mencintai mawar itu, aku akan merawat dan menyiraminya setiap hari." tuturku.
"Waw... Jadi kamu ingin De dan kamu saling menyirami?" tanya Vie lagi.
"Ya, gitu deh." ucapku pendek.
Vie menatapi aku. Matanya bergerak pelan dari atas ke bawah, dari bawah keatas, memperhatika aku.
"Why...?" aku menatap heran oada Vie.
"Mohak, jaket lusuh, celana jeans bolong-bolong. Gk cuma penampilan kamu yang gak umum, pikiran kamu juga beda sama orang biasanya." tutur Vie.
"Salah?" tanyaku.
"Keren, sih." jawab Vie sambil mengangguk-angukan kepala.
Vie menyandarkan tubuhnya di sofa sambil melahap cemilan. Matanya menatap ku. Aku meneguk kopi satu tegukan.
"Kenapa ya? Sekarang aku jadi ngerasa banyak yang salah dalam hidup aku." ucap Vie kemudian.
"Loh, kok?" aku kaget.
"Iya, setelah banyak ngobrol sama kamu." kata Vie.
"Loh, aku cuma nyeritain apa yang aku pikir dan yang aku rasa." tuturku.
"Kamu berfikir begitu kan, karena kamu cowok. Aku kan cewek" ucap Vie.
"Yang ngebedain cuma jenis kelamin, bro. Kamu sama aku sama-sama manusia. Kita punya hak yang sama." jelasku.
"Kamu sama De udah ngobrol hal-hal kayak begini?" tanya Vie.
"Tau deh. Kayaknya belum." kataku sambil kurang semangat.
"Harapan kamu, pengennya De ke kamu tuh gimana?"
"Aku cuma pengen dia mencoba untuk mencintaiku dengan apa adanya dia."
"Kalo dia gak bisa?"
"Ya, aku pulang tanpa dendam."
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Ada rasa senang dalam hatiku. Vie melirik ke arah pintu depan. Aku mematikan rokok. Vie beranjak ke ruang tamu untuk membuka pintu depan. Aku merapikan bajuku. Vie membuka pintu.
"Raka, ada?" auara Yadi.
"Eh, kirain De." ujar Vie.
"Emang, De gak pulang?" tanya yadi.
"Belum." jawab Vie.
Rasa senang yang baru saja datang kini hilang. Aku berdiri dan melangkah ke ruang tamu sambil membawa kopi dan rokok. Vie mempersilahkan Yadi masuk. Kami bertiga kemudian duduk di ruanv tamu.
"Gak usah minta maaf. Gue udah maafin lo." Kataku pada Yadi.
"Harusnya lo yang minta maaf sama gue. Nih pipi gue biru." Ujar yadi sambil menunjukan pipi kirinya.
Vie memandangi Aku dan Yadi.
"Sama, pipi gue juga biru." Aku menunjukan pipi kiriku.
"Udah pada salaman deh. Damai, damai." Ujar Vie.
Aku dan Yadi menatap Vie sejenak. Lalu aku penatao Yadi. Yadi menatapku. Lalu hampir bersamaan aku dan Yadi saling menyodorkan tangan kanan, kemudian kami bersalaman sebagai tanda damai dan saling memaafkan.
"Ada Yanto tuh di rumah. Nyari lo, ka. Ada yang harus di obrolon katanya." kata Yadi.
"Emangnya gue masih di butuhin?"
"Katanya gak ada lagi orang yang bisa selain lo." jelas Yadi.
"Kan gue udah bilang sama dia. Kalo emang gue dianggap gak mampu, silahkan pimpin dan urus teater cambuk." tuturku.
"Lo ngomong sendiri deh." ucap Yadi.
"Ya udah suruh kesini aja. Gue males ke rumah lo." tandasku.
"Gak enak sama tetangga, bro." kata Yadi.
"Ya udah, suruh kesini aja lagi besok." ucapku.
"Gila, lo. Kasian udah jauh-jauh dia nyari lo kesini, ka. Malem-malem lagi." tutur Yadi.
"Terserah... Yang butuh siapa? Kalo mao, suruh sekarang dia kesini. Kalo nggak, basok aja kesini lagi." timpalku.
Aku dan Yadi saling tatap. Vie hanya memandangi kami smbil menikmati cemilan.
"Itu juga kalo gue masih di sini?" tegas ku.
"Ok, gue balik dulu sebentar." Yadi segera bergegas keluar mebuju rumahnya.
Aku dan Vie saling tatap.
"Kamu gak keberatan kan, kita ngobrol di sini." Tanyaku.
"Mau pada nginep juga gak apa-apa." jawab Vie.
Aku melirik pada jam dinding. Pukul 12 malam. Aku menghela nafas pelan, kemudian meneguk kopi satu tegukan.
"De itu wataknya keras. Biasanya kalo gak pulang kayak begini, dia lagi ada masalah." tutur Vie.
"Dia gak cerita sama kamu?" tanyaku.
"Untuk hal-hal pribadi, dia gak pernah." jawab Vie.
HP-ku berdering di ruang tengah. Aku pergi untuk mengambilnya. Ternyata Yadi memanggil.
"Hllo... Owh. Ya udah. Ok. Gue nginep di sini, bro. Ok." aku bicara pada Yadi di HP-ku.
Panggilan selesai. Aku menaruh HP-ku di meja, di ruang tengah. Vie memandang ku. Aku kembali ke ruang tamu.
"Siapa?" Tanya Vie.
"Yadi." Jawab ku.
"Gak jadi kesini lagi?"
"Gak enak katanya. Udah tengah malem."
"Iya lah. Sebenernya kamu males kan, ketemu sama temenmu itu?"
"Ya... Aku masih mikirin De. Jadi mending ketemu temen ku besok aja. Siapa tau besok aku udah fresh."
"Apa yang kamu pikirin tentang De, sekarang?" tanya Vie.
"Mungkin dia sendirian menghadapi sesuatu yang gak bisa dia hadapi. Seandainya aku ada di sisinya sekarang. Aku akan berusaha mencoba membantu menghadapi semua yang dia hadapi." aku menghela nafas agak berat. "Sayangnya sampai detik ini, aku sama sekali gak tau, persoalan apa yang sekarang sedang dia hadapi." aku berlahan menatap Vie.
Vie menatapku sebentar. Lalu ia menunduk sambil menutup toples cemilan di pangkuanya. Kemudian ia mengarahkan pendanganya ketempat lain.
"Malem ini jelas De gak akan pulang." Vie memandang ku. "Sekarang kamu istirahat. Siapa tau besok ada kabar dari De." Setelah menyimpan toples cemilan di meja, Vie berdiri, mengunci pintu depan dan mematikan lampu ruang tamu.
Sejenak dia menatapku yang sedang meneguk tetes kopi terakhir yang sudah dingin. Kemudian dia pergi menuju kamarnya setelah mengusap kepalaku.
Aku hanya menatapi Vie. Kemudian aku menuju ruang tengah dan merebahkan tubuhku di sofa. Sebelum terlelap, tiba-tiba pikiranku cukup lama memilah antara De dan Vie.