Vie dan De kembali ke ruang tengah. Vie membawa segelas air bening. De duduk di sampingku dan Vie duduk di depanku. Aku menatap De, kemudian melirik pada Vie. Vie meminum air bening yang di bawanya. Aku mematikan rokok yang hampir habis. Vie menaruh gelas di meja. De menyantap cemilan.
"Tau, gak? Baru kali ini ada cowok yang berani main ke rumah ini malem-malem." Vie membuka obrolan. "Dan mamah gak marah."
"O, ya?" Aku jadi heran.
"Apa lagi orangnya penampilannya kayak gini. Aneh kan?" De menatapi aku.
Aku mengerutkan jidat. Menatap ke De. Kemudian menatapVie.
"Mamah cerita ke aku. Katanya seminggu yang lalu ada cowok main kesini." tutur Vie.
"Maksudnya aku?" tanyaku pada Vie.
"Iya katanya, mamah heran aja..." Vie sebentar menghela nafas. "...orang yang penampilannya kayak kamu. Celananya sobek-sobek, rambutnya mohak, di kepang, jaketnya kucel, tapi begitu ashar, kamu pinjem sarung buat shalat." Vie sebentar menatap mataku. "Lalu melirik pada De."
De mengagguk-anggukan kepala sambil mulutnya bergerak mengunyah cemilan.
"Begitu magrib kamu ngajak De sama mamah shalat berjamah." Vie menatapku. Matanya bergerak pelan keatas ke bawah memperhatikan aku. "Kamu jadi imam?"
"Iya." jawabku singkat.
Vie dan De saling tatap. De mengangkat kedua bahunya.
"Ada yang salah?" tanyaku pada mereka.
"Nggak, keren aja sih." Vie mengacungkan kedua jempol tangannya pada ku.
Aku tersenyum. Suasana mulai mencair. Kami bertiga menjadi lebih dekat. Ini malam yang benar-benar berbeda. Sangat mengasikan. Kleluarga ini benar benar hangat dan ramah. Sepertinya kehadiranku menjadi warna baru yang menyegarkan buat mereka.
"Eh, kamu lulusan SMA mana?" tanya Vie padaku.
"SMA Negri satu Jalaksana." jawabku
De dan Vie saling tatap. Kemudian menatap ku. "Masa, sih?" tanya mereka hampir bersamaan.
"kenapa?" Mataku bergulir ke kiri ke kanan melirik mereka. "Kok, ekspresinya seneng banget?"
"Ini ekspresi kaget, ka...!" kata De.
"Ve menepuk jidatnya sendiri."
"Oh udah ganti nama, ya." aku pura pura polos.
"Aku juga dari SMA Jalaksana." ujar De.
Sekarang aku yang terkejut sabil melongo menatap De.
"Aku juga dari SMA Jalaksana." Vie menatap ku.
Aku mengerutkan jidat menatap Vie.
Sejenak kami terdiam.
"Kok, bisa?!" ucap kami hampir bersamaan. Lalu kami tertawa. Sepertinya masing-masing di dalam pikiran kami memiliki persepsi situasi yang sama.
"Aku gak pernah liat kamu deh." ujar De.
"Aku juga gak pernah ngeliat kamu?" tandas Vie.
"Sebentar jangan-jangan gue lebih tua dari lo berdua." aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
"Emang, kamu angkatan tahun berapa?" tanya De.
"Aku angkatan pertama." jawabku.
"What..?" Vie kaget.
"Ternyata kamu udah tua, ya...!?" De meledeku.
"Cuma beda lima taun sama kamu." jelasku pada De.
"So tau." De ketus.
"Yadi yang ngasih tau."
"Dia bilang apa?" tanya Vie.
"De baru lulus SMA tahun kemaren." jawabku.
"Iya, bener" Jelas Vie. Berarti kamu lebih tua tiga taun dari aku. Lanjut Vie sambil mnyantap cemilan.
"Bisa kebetulan begitu, ya." De tersenyum
"Kayaknya yang aku bulang tadi bener." celetukku.
"Apa?" Tanya De.
"Jangan-jangan kita jodoh." jelasku.
Vie yang baru saja meneguk air, tersedak. Dia menyemburkan air yang baru masuk di mulutnya. Sampai meja basah. Vie melirik aku dan De. Sejenak hening. Lalu kami tertawa.
Aku tersenyum mengingat itu semua. Sambil menghisap rokok aku memandang ruang tengah yang kosong. Setingannya belum berubah.
Sebentar aku menengok keluar. Vie dengan pacarnya belum juga datang. Ku uyup kopi satu teguk lagi. Mamah muncul dari ruang tengah menghampiri aku. Dia sosok mamah yang luar biasa. Ibu dari tiga anak gadis cantik; Vie, De, dan Nia. Mamah duduk di sofa di depanku sambil tersenyum. Aku merubah dudukku menjadi lebih sopan.
"Mah..." Sapaku.
Mamah menatapku sebentar. Lalu menarik napas agak dalam dan kemudian menghembuskanya berlahan. Tatapannya seperti ingin menembus jauh kedalam diriku.
Aku hanya menunduk sambil mematikan rokok.
"Mamah harap kamu adalah laki-laki yang berbeda dari kebanyakan laki-laki." kata mamah sambil terus menatapku.
Aku mengangkat wajahku sedikit untuk melihat mamah. Mamah menengok keluar rumah.
"Tadi malam dari mana?" Tanyanya cukup halus.
"Jalan-jalan di kota, Mah." jawabku pelan.
"Pulang jam berapa? Kok Mamah gak denger?"
"Jam satu-an, mah."
"Anak pertama Mamah itu laki-laki. Mamah gak terlalu khawatir sama dia. Udah dewasa udah menikah. Cuman, ketiga adiknya ini perempuan, ka. Mamah harus hati-hati." Mamah kembali menghela nafas. "Sekarang De pergi entah kemana. Gak tau kapan dia mau pulang. Atau, jangan-jangan dia gak pulang sama sekali." Mamah berbicara dengan sangat lembut.
Aku hanya terdiam dan berusaha menyimak baik-baik apa yang Mamah katakana. Sesekali aku mengangkat wajah untuk melihat wajah Mamah sebentar. Mamah terlihat sangat tenang. Atau mungkin berusaha terlihat tenang.
"Mamah pernah muda. Tapi masa muda Mamah bukan di zaman ini." Mamah menghela nafas sebentar. "Ini zaman yang berbeda. Mamah tidak sepenuhnya memahami zaman yang sedang di lalui oleh anak-anak Mamah sekarang. Tapi Mamah mencoba untuk mengerti maereka." tatapannya tidak membiarkan aku lepas.
"Sekarang De sudah pergi." Mamah kembali memandang keluar rumah. "bagaimana dengan yang lain?"
Aku mencoba untuk memahami apa yang Mamah rasakan. Aku mencoba meraba rasa untuk merasakan bagaimana rasanya berada di posisi seprti Mamah.
"Maaf, mah. Pengenya mamah De gimana?" Tanyaku pelan-pelan.
Dia menatapku agak lama. Lalu memandang kembali keluar rumah. "Mamah sih, inginnya De menikah sajalah." Matanya melirik padaku.
Aku tak bisa berkata apa-apa.
Suasana mendadak senyap. Angin, suara kendaraan, dan orang-orang yang lewat seperti hilang. Aku menatapi Mamah. Tampak beban yang berat di pundaknya. Jelas, di balik keceriaan dan kehangatan keluarga ini ada banyak hal yang aku tidak tau.
"Tapi mamah Mengerti. De punya cita-cita. Ada sesuatu yang ingin dia capai." Mamah menghela nafas lagi.
"Kalo boleh tau, cita cita De apa, mah?" tanyaku kembali.
Mamah menatapku. Pandanganya menembus mataku. Aku berusaha untuk tidak menundukan kepala untuk menerima tatapan itu.
"Sulit untuk dijelaskan." tiba-tiba mamah tersenyum kecil. "Kecuali jika kamu sudah benar-benar menjadi bagian keluarga ini."
Rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku menundukan kepala pelan-pelan.
"Mamah gak tau apa yang terbaik untuk keluarga ini. Mamah hanya akan berusaha menerima ketentuan dari Allah, dan menjalankannya."
Tubuhku mendadak gemetar mendengar ucapan mamah. Aku menatap mamah.Mamah tersenyum.
"Keputusan apa pun yang kamu ambil. Mamah rasa itu adalah ketentuan dari Allah. Mamah akan menerimanya. Insya Allah." Mamah tersenyum, kemudian berdiri perlahan. "Mamah berharap, kamu juga harus bisa menerima ketentuan Allah atas dirimu." Mamah melangkah menuju dapur melewati ruang tengah.
Aku sama sekali tidak menyangka. Di dalam keluarga ini ada sosok yang lembut sekaligus kokoh. Mamah seperti terumbu karang penuh warna tempat ikan-ikan bercanda dan tertawa. Walau pun ombak waktu dan garam zaman terus mengikisnya, dia mencoba terus bertahan. Detik ini aku sebagai laki-laki merasa kalah melihat sosok mamah.