Setelah rapih bersih-bersih. Aku bergegas ke ruang tamu. Vie Nampak sudah menunggu sambil memegang HP. Di meja tamu tampak dua piring nasi goreng yang sudah siap disantap. Aku duduk di depan Vie. Kelihatanya Vie masih tidak senang.
"Vie..." sapaku pelan-pelan.
"Oh, iya. Yuk sarapan." ucapnya datar.
Aku dan Vie mulai sarapan bersama. Suasana terasa sangat berbeda. Hening. Tidak seperti biasanya. Kami tidak banyak bicara. Aku terus memandang Vie. Tidak ada keceriaan. Dia hanya melahap suap demi suap nasi goreng yang ada di depannya sambil SMS-an. Aku hanya bisa menghela nafas. Menyadari bahwa, memang pagi ini aku sudah merusak suasana hati Vie dengan beberapa kali menanyakan De.
Ini berawal satu tahun yang lalu. Seorang teman sanggar bernama Yadi membawa De ke Kampus INI. Ya, memang sebelumya Yadi pernah bilang, dia mau mengenalkan aku dengan seorang gadis yang katanya suka berkretifitas. Gadis ini baru setahun lulus dari SMA. Dan hari itu Yadi benar-benar menepati ucapanya.
Aku sedang mengarahkan para aktor dan aktris Teater Cambuk di kampus INI. Di lantai dua. Di sanggar seni Tungku Sastra. Ya, karena aku sebagai ketua Teater Cambuk sekaligus sutradara untuk pertunjukan teater.
Dari jendela kaca ruang sanggar seni Tungku Sastra, aku melihat Yadi melambaikan tangan. Walaupun aku sedang mengarahkan blocking para pemain, aku menyempatkan membalas lambaian Yadi. Dia juga seorang aktor di teater ini. Seorang gadis jelita berdiri di sampingnya. Yadi memberi kode pada ku dengan menunjuk gadis itu dengan ibu jari tangan kananya. Aku tersenyum dan memberi salam pada gadis itu dengan menempelkan kedua telapak tanganku di dada. Gadis itu juga membalas dengan hal yang sama. Senyumnya manis. Aku benar-benar terpesona pada pandangan pertama.
Yadi berpamitan pada gadis itu untuk bergabung dalam latihan teater yang sedang aku arahkan. Gadis itu duduk di kursi kayu untuk menonton latihan kami dari luar jendela sanggar yang tinggi nya hampir sama dengan pintu sanggar. Yadi menghampiriku.
"Gimana, cantik kan?" bisik Yadi.
"Keren, bro." aku melirik pada gadis itu.
"Namanya, De." ucap Yadi sambil melangkah mengambil naskah di meja yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Sepaanjang latihan, sesekali aku melirik pada gadis itu. Karena kata Yadi dia adalah gadis yang suka dengan hal-hal kreatif, maka aku benar-benar menunjukan perporma seolah aku adalah sutradara profesional. Tidak begitu lama adzan dzuhur terdengar mengalun. Aku menghentikan latihan.
Sementara teman teman yang lain beristirahat, aku dan Yadi menghampiri De. De menatap ku. Aku memberinya senyum. Dia juga tersenyum. Aku menyapanya lebih dulu.
"Hai...!" sapaku.
"Hai...!" balas De.
"De, ini Raka." ucap Yadi sambil menunjukan ibu jari tangan kananya pada ku.
Aku menyodorkan tangan mengajak De bersalaman. De tampak sedikit kikuk pelan pelan menjabat tanganku.
"Raka." ucapku.
"De." ucap De.
Aku agak sedikit lama menggenggam tangannya.
"Ehmm...! Gue ke kantin dulu. Lo berdua ngobrol aja. Oke?!" Yadi melalangkah menuruni tangga.
"Eh, mau kemana?" tanya De pada Yadi.
Yadi menghentikan langkahnya dan membalikan badanya. "Dia udah jinak, kok. Gak bakal gigit. Tenang." kata Yadi menunjuk pada ku.
De melirik kepada ku. Aku mengangkat kedua bahuku.
"Mau kopi?" tawar Yadi pada ku.
"Boleh." jawabku.
"De?" Yadi menawari D juga.
"Capucino." jawab De.
"Oke, selamat ngobrol." Yadi melanjutkan langkahnya menuruni tangga untuk menuju kantin.
Aku dan De duduk di tikungan tangga. Kami bisa melihat koridor lantai bawah kampus yang lumayan rame dilalui para mahasiswa dan mahasiswi. Aku dan De mulai mencoba untuk saling kenal lebih jauh.
"Katanya kamu baru lulus setahun yang lalu ya?" aku membuka obrolan.
"Kata siapa?" De balik bertanya pada ku.
"Yadi yang bilang."
"Oh... Emh... Ternyata dia kayak perempuan yah, banyak ngomong."
"O... jangan jangan dia juga banyak ngomong tentang aku ke kamu."
"Ada sih, sedikit."
"jelek apa baik?"
"Dia kan temen kamu. Pastinya ngomongin yang baik-baik, lah." jelas De.
"Tapi dia banyak nyeritain kamu yang jelek-jelek tuh." ucapku.
"Hah, masa sih?"
"Hmem."
"Ngomongin apa?" De penasaran.
"Udahlah gak usah dibahas. Nanti kamu berantem lagi sama dia."
"Enggak, enggak apa-apa. Cerita aja. Aku gak akan marah kok."
"Aku gak percaya."
"Aku tuh bukan tipe orang pemarah."
"Kok, mukanya merah."
"Masa sih?"
"Kamu bawa cermin gak? Coba liat sendiri muka kamu di cermin."
"Ada sih." De mengambil cermin kecil dari dalam tasnya. Dia benar benar memperhatikan wajahnya di dalam ceriman. "Enggak ah. Muka ku biasa aja. Nggak merah."
"Oke, sekarang kamu tetap liat wajah kamu di cermin."
De menatapku heran.
"Aku akan buktiin kalo Yadi memang ngejelek-jelekin kamu."
De keliatan bingung. Tapi tetap, perlahan dia melihat lagi wajahnya di cermin.
"Yadi bilang, kamu tuh jelek. Sama sekali gak ada cantik-cantiknya. Tapi nyatanya, aku gak bosen memandangi wajah kamu, sekarang."
Pelan-pelan De melirik kepada ku. Aku tersenyum. Dia tersipu.
"Kamu bisa liat sendiri di cermin." ujarku.
"Kopi datang!" Yadi muncul memecahkan suasana. Dia membawa dua gelas kopi hitam, satu cappuccino, lengkap dengan gorengan dan rokok di atas baki plastik berwarna hijau.
Suasana menjadi lebih cair. Kami saling bicara bertukar cerita dan tertawa. De tampak senang. Kami cepat menjadi akrab. Sampai kemudian aku dan De bertukar nomor HP.
Suara klakson tiba-tiba mengejutkan ku. Memecah ingatanku. Aku kembali sadar pada kenyataanya sekarang aku sedang berhadapan dengan Vie sambil menikmati sarapan nasi goreng. Wajah Vie masih kurang enak dipandang. Klakson berbunyi lagi. Vie melirik ke halaman rumah. Aku ikut melirik melihat ke sana. Seorang lelaki membuka helm dan turun dari motor. Vie berdiri lalu berjalan ke arah pintu. Lelaki itu berjalan ke teras rumah. Vie dan lelaki itu saling sapa. Kemudian mereka masuk. Vie memperkenalkan lelaki itu pada ku.
"Jhon, ini Raka."
"Hai..." aku berdiri.
"Raka ini Jhony. Pacarku."
Tiba-tiba hatiku rasanya seperti di tusuk. Jhony menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku. Aku menjabat tanganya. Vie mempersilahkan Jhony duduk sambil merapikan piring bekas aku dan Vie sarapan. Jhonny duduk. Aku duduk. Vie kedapur. Aku dan Jhony tidak saling bicara. Tidak berapa lama Vie kembali dari dapur. Jhony dan Vie saling tatap. Tampaknya mereka berkomunikasi dengan isyarat. Kemudian Vie menarik tangaan Jhony. Jhony berdiri.
"Raka sebentar, ya. Aku ada sesuatu dulu sebentar." ucap Vie.
"Oh, iya. Oke."
Mereka keluar. Lalu jhony menghidupkan motornya. Vie menyimpan helm Jhony di teras rumah. Jhony melirik pada ku. Vie naik ke jok belakang motor Jhony. Itu motor sport. Jhony memasukan gigi dan tancap gas. Mereka meluncur entah kemana.
Aku merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya jauh didalam dada sebelah kiriku ada sesuatu yang mengelupas. Seperti kulit yang diiris-iris. Aku hanya menghela nafas beberapa kali untuk mengusir sesuatu yang ingin meledak di dalam diriku.