"Ka, terima kasih ya, udah nganterin aku pulang." ucap Vie agak keras sambil mendekatkan bibirnya ke kupingku yang tertutup helm dan melingkarkan kedua tanganya di pinggangku.
"Sudah seharusnya cowok ngelindungin cewek." timpalku dengan suara agak keras juga karena suara angin yang dibelah oleh speda motor milik Vie yang aku kendarai mendebur cukup kencang.
"Apa kamu selalu membuat semua cewek yang deket sama kamu setenang ini?"
"Ya... hanya berusaha."
"Kenapa?"
"Kata Rumi, perempuan itu cahaya Tuhan."
"Jadi kamu berusaha menjaga cahaya itu supaya tidak padam?"
"Mungkin lebih karena cahaya itu bisa menerangi jalan yang aku lewati."
"Seperti kita melewati hutan ini menuju rumahku?
"Lampu motor, dong...."
"Hahaha... hahahaha... " aku dan Vie tertawa terbahak-bahak hampir mengalahkan suara sepeda motor yang aku pacu.
Ya, sebagai laki-laki aku punya tanggung jawab untuk melindungi perempuan. jadi aku bersikap so berani. Padahal memang aku tau, rute jalan menuju rumah Vie itu melewati hutan. Untuk melupakan rasa takut aku sengaja selalu membuka percakapan sepanjang perjalanan. Dan Vie juga sama, ia sedikit banyak bertanya untuk menghapus rasa takutnya. Motornya ku pacu sedikit kencang dari sebelumnya.
Sesampainya di rumah Vie, aku agak sedikit deg-degan. Aku menghela nafas pelan. Mempersiapkan diri untuk dimarahi oleh mamahnya Vie. Bahkan bisa jadi situasi lebih buruk jika memang kakak Vie ada di rumah.
Vie memutar kunci pintu depan pelan-pelan. Sepertinya orang-orang rumah sudah terlelap. Aku bernafas berlahan. Pintu terbuka. Vie masuk duluan untuk kemudian membuka pintu samping. Aku mencoba meraba kedalam rumah dengn telinga. Agak lama. Masih tetap tak terdengar apa-apa. Sepertinya aman. Tidak ada yang terbangun.
Sebentar kemudian, Vie membuka pintu samping. Pelan pelan aku mendorong motor masuk melalui pintu itu. Vie menyalakan lampu. Aku tempatkan motor itu dengan baik dan benar secara pelan-pelan di ruangan samping. Vie menutup kembali pintu dan menguncinya lagi pelan-pelan.
"Ka, laper gak?" Vie berbisik.
"Masih kenyang." aku pun berbisik.
"Minum?" tanya Vie kembali sambil berjalan ke arah dapur.
"Boleh." aku duduk di sofa, di ruang tengah.
Tidak berapa lama Vie datang membawakan aku segelas air. Aku membuka jaket dan menyimpan tas di sofa. Aku menyusunnya untuk ku jadikan bantal. Vie masuk kekamarnya. Aku meneguk air yang barusan disediakan oleh Vie. Vie keluar dari kamar. Aku merebahkan tubuhku di sofa.
"Ka, liat!" Vie menunjuk sepasang sepatu kulit yang mengkilap. "Ka, Asep ada di rumah."
"Biarinlah. Gimana nanti aja." ucapku
"Gak takut?"
"Nggak!"
"Ya udah, aku tidur ya."
"Oke. Met, bobo." aku tersenyum padanya.
Setelah membalas senyumku Vie masuk ke kamarnya. Aku berbaring di sofa menyamankan diri. Namun baru saja beberapa menit, Vie keluar lagi dari kamar.
"Ka, tidur di kamarku aja yuk!" bisik Vie.
"Gila lo, Vie...!" aku kaget mendengar itu.
"Dari pada nanti pagi-pagi kamu di damprat sama ka Asep."
"Tapi kan Vie..."
"Kamu keras. Ka Asep juga keras. Aku gak mau ada keributan."
"Kalo ka Asep tau, ributnya tambah parah."
"Gak bakal tau. Kamu bangun siang aja."
"Tapi..."
"Udah, ayo. Kamu kasian gak sih sama aku?"
"Vie..."
"Ayo!" Vie menarik tanganku.
Dari pada terus berdebat dan mengakibatkan semua orang rumah bangun, dan urusan jadi tambah berabe, aku terpaksa mengikuti keinginan Vie. Kami berdua masuk kamar. Vie naik ke ranjang duluan. Beberapa saat aku hanya berdiri memandang Vie.
"Sini, Ka. Tidurnya di sini." VieĀ mengusap-usap permukaan kasur. "Di bawah dingin."
"Emh... gak apa-apa, aku di bawah aja, Vie."
"Di atas aja. Di sini. Gak apa-apa." Vie membereskan bantal yang tergeletak di sampingnya.
"Gak apa-apa aku di bawah aja." Aku langsung menyusun jaket dan tasku di karpet.
"Serius, ka?"
"Serius."
Vie menatapku cukup lama. Aku pun menatapnya. Kemudian Vie melemparkan bantal dan guling ke arah ku. Wajahnya Nampak tidak senang. Dia benar-benar tidak memberi aku selimut. Dia membantingkan tubuhnya keatas kasur sambil menarik selimut. Aku pelan-pelan mengambil posisi nyaman untuk tidur diatas karpet.
"Selamat kedinginan!" ucap Vie.
"Oke." jawabku sambil banyak pikiran.
Kemudian suasana jadi hening. Yang terdengar hanya suara angin di luar rumah. Aku mulai berfikir macam-macam. Jantungku berdetak kencang. Cukup lama pikiranku berdebat dengan hati. Sampai kemudian pelan-pelan tubuhku mulai marasa kedinginan. Aku mendekap bantal guling untuk menahan dingin dan hasrat untuk naik ke ranjang. Sampai kemudian Vie melemparkan slimut kepadaku.
"Thank you." ucapku
"Hmm.. " jawab Vie.
Aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Mencoba untuk terus bertahan berbaring di atas karpet. Sampai pada akhirnya aku tak lagi mendengar suara Angin. Dan benar-benar tertidur.
Rasanya baru sebentar aku terlelap. Terdengar suara orang-Orang berbicara. Aku hanya membuka mata dan bertahan untuk berbaring. Kudengarkan baik-baik suara obrolan itu cukup lama. Dan semuanya suara perempuan.
Aku bangun. Vie sudah tidak ada di ranjang. Tempat tidurnya tampak rapih. Sinar matahari yang menyeruak dari jendela menerangi kamar. Jam dinding menunjukan waktu, jam Sembilan. Aku harap hari ini menjadi berbeda. Pintu kamar terbuka. Vie masuk.
"Udah bangun?" sapa Vie
"Yap." ucapku
'Mandi sana!"
"Eh, gimana kakak mu."
"Ka Asep udah pulang ke rumahnya tadi setelah shalat subuh."
"Dia gak tau aku disini?"
"Enggak."
"Mamah kamu?"
"Belum tau juga."
"Terus kalo aku keluar kamar, ketemu mamah kamu, gimana?"
"Ya, biasa aja. Kayak biasa. Tegur sapa. Cium tangan."
"Nia, ada?"
"Ada."
"De ?"
"De gak tau ada dimana." wajah Vie tampak ketus. "Mandi sana?" melemparkan handuk ke mukaku. Lalu keluar kamar.
Aku menenangkan diri beberapa saat. Baru kemudian melangkah menuju pintu kamar yang masih terbuka. Baru saja kakiku keluar selangkah dari pintu kamar. Mamah Vie keluar dari arah dapur.
"Loh Raka?"
"Mah..." aku sungkem mencium tangan mamah Vie yang biasa aku panggil mamah yang masih tercengang melihatku.
"Vie! Ini Raka?" mamah.
"Iya, mah. Tadi malam dingin. Jadi dia tidur di kamar."
Aku Cuma tersenyum kikuk.
"Oh..." mamah mengengguk-anggukan kepala sambil mau kembali ke dapur. Tapi langkahnya berhenti. Kemudian menatapku sebentar. Menengok ke dapur, menengok ke ruang tengah. Lalu mamah Vie berjalan menuju ruang tamu dan keluar rumah.
Aku hanya terdiam melihat hal itu.
"Eh ka Raka!" sapa Nia sambil membaawa sepiring nasi dan lauknya. "Tidur di sini?" Tanyanya sambil menengok ke dalam kamar Vie.
"Emh iya."
"Oh... sarapan kak." ucap Nia kemudian sambil berlalu ke arah ruang tengah.
"Iya, nanti nyusul." aku memaksakan diri untuk tersenyum.
Mataku tertuju pada pintu kamar yang berada di ruang tengah. Kemudian aku memandangi setiap sisi ruangan di dalam rumah itu.
"Nyari De?" Vie mengejutkan aku. "Dia belum pulang. Gak tau di mana." nadanya masih ketus. "Udah mandi dulu. Aku udah bikin nasi goreng tuh. Nanti kita sarapan bareng." tuturnya lagi sambil berjalan menuju ruang tamu dan duduk disana.
Sekarang jelas. Vie cemburu sama De. Artinya dia menyukai Aku. Tapi aku belum bisa melupakan De. Aku sekarang memang merasakan nyaman dengan Vie. Tapi aku pernah berjanji pada De. Aku laki-laki. Aku rasa seorang laki-laki harus bisa menepati janjinya. Pikirku sambil melangkah menuju kamar mandi.