Chereads / Cinta Gak Salah / Chapter 2 - Berdua Di Trotoar

Chapter 2 - Berdua Di Trotoar

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku dan vie makan di kantin kampus INI. Kami saling bertukar cerita dan tertawa. Rasanya dunia ini milik berdua. Rasanya semua masalah yang ada di otaku hilang. Aku menyadari, aku terpana oleh senyum Vie. Bibirnya yang tipis merah jambu dan gigi yang putih rapih menjadi daya tarik tersendiri.

"Anjrit. Jangan-jangan gue mulai jatuh cinta nih." gumamku dalam hati sambil menarik nafas agak dalam. Aku bena-benar tidak jenuh memandangnya.

"Eh, kenapa?"

"Emh... nggak." aku tersenyum. "kayaknya gak masalah kalau malam ini mendung."

"Maksudnya?" Vie menatap wajahku.

"Selagi rembulan di sampingku tersenyum, semua luka akan menjadi manis." kata mang Ebo sang pemilik kantin tiba-tiba nimbrung.

Mata Vie melirik ke mang Ebo lalu kembali menatapku.

"Awas digombalin neng. Ceweknya banyak." kata meng Ebo sambil pergi.

"Cowok ceweknya banyak, wajar mang." ujar ku.

"Kalo cewek?" Vie mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Kami saling tatap dalam jarak yang sangat dekat. Aku merasakan banyak bisikan di kepalaku. Aku menahan nafas sejenak karena tiba-tiba jantungku terasa berdetak kencang.

"Boleh." ucapku sambil melepaskan nafas dan memalingkan wajah ke arah hidangan yang sedikit lagi habis.

"Serius?" Vie pelan pelan menjauhkan wajahnya dari ku sambil tangan kananya menyendok hidangan di depannya yang juga tinggal sedikit. "Baru kali ini aku denger cowok bilang begitu soal cewek." ujarnya sambil mengunyah hidangan yang baru di sendoknya.

"Kan pacar. Bukan suami." jelasku.

"Gak nyangka pikiran kamu sebebas itu."

"Aku pikir laki-laki dan perempuan punya hak yang sama."

"Udah umum, kali. Semua orang juga berfikir begitu."

"Ya, tapi kenyataannya banyak perempuan yang memilih pasangan yang sudah mapan. Kenapa coba?"

Vie melahap suapan terakhir dari hidangannya. Sambil mengunyah pelan dia menatapku. Aku menyuap sendokan terakhir hidanganku sambil bertanya pada Vie.

"kamu sendiri gimana? Apa sama? Mencari calon suami yang udah mapan juga? Biar hidup kamu gak sengsara." aku tertawa kecil.

Setelah menelan hidangan yang aku kunyah, aku meneguk teh hangat yang sudah menunggu sejak masih panas tadi.

"Bener juga. Jadi, kesetaraan hak itu dalam kenyataannya belum berjalan."

"kamu merasakan itu?"

"Ya, aku juga punya keinginan kayak banyak perempuan. Pengen punya suami yang udah mapan. Ya setidaknya punya pekerjaan lah."

"Jadi, ketika kamu menikah dengan pria itu, atas dasar cinta atau harta?"

"Hidup kan butuh uang, Ka."

"ya, itu fakta."

"Maksud kamu tuh gimana sih?"

"Hidup butuh uang, itu fakta. Dan sekarang aku makan kamu yang bayarin. Itu juga fakta." aku melirik pada Vie lalu kembali menatap keluar kantin sambil menyulut rokok.

Adzan isya berkumandang. Aku tersenyum menatap Vie. Vie meneguk teh hangat. Tenggorokannya bergerak naik turun. Aku mulai berfikir yang aneh-aneh. Setelah minum Vie menatapku.

"Kadang aku puyeng ngobrol sama kamu."

"Tapi asik, kan?"

"Aneh...!"

Vie beranjak dari duduknya. Dia menghampiri mang Ebo untuk membayar makanan kami. Entah apa yang mereka obrolkan. Mang Ebo melirik dan tersenyum padaku hampir bersamaan dengan Vie yang menengok ke arahku.

Setelah makan malam di kantin kampus milik mang Ebo. Aku dan Vie memilih untuk menikmati malam di jalanan kota kuningan. Tentunya dengan sepeda motornya Vie. Aku yang mengendarai dan Vie duduk di belakangku. Aku merasa seperti sudah menjadi pacarnya Vie. Bahkan aku merasa menjadi suaminya ketika tangannya melingkar di pinggangku dan dagunya ditempelkan di pundaku.

Setelah berkeliling kesana-kemari. Jalan-jalan di trotoar. Keluar masuk super market untuk sekedar menonton harga-harga pakaian yang mahal-mahal. Kemudian Aku dan Vie duduk di trotoar, di sebrang jalan Masjid Agung Kuningan sambil menikmati kopi dan gorengan hangat.

"Aku masih kepikiran ucapan kamu tadi." Vie memandang Masjid Agung Kuningan.

"Yang mana?" aku meneguk kopi.

"Hidup butuh uang, itu fakta. Dan sekarang aku makan kamu yang bayarin. Itu juga fakta." Vie melihat ke arahku.

Aku menghela nafas. Sejenak aku Dan Vie hanya diam menatap Masjid Agung Kuningan

Aku rasa, sehebat apa pun kita bekerja.

"Sekuat-kuatnya laki-laki. Selemah-lemahnya perempuan. Tetap saja, Tuhan yang menentukan kita kaya atau miskin."

"Kalo nanti kamu jadi suami. Dan gak punya pekerjaan. Malah istri kamu yang kerja. Gimana?"

"Ya kalo di bayangkan sih, kayaknya malu juga."

"Tuh, kan."

"Sekarang penilaian kamu ke aku gimana?"

"Apa yang membuat kamu sering jalan dan neraktir aku?"

"Gak tau. Seneng aja."

Aku dan Vie kembali saling tatap agak lama. Aku menduga, jangan-jangan Vie melakukan semua ini mamang karena ada benih-benih cinta kepadaku dalam dirinya. Jangan-jangan Vie juga menduga aku mulai mencintainya.

"Kamu gimana?" Vie bertanya balik.

"Apanya?"

"Kamu, malu gak sering jalan sama aku?"

"Ada malunya. Ada enggaknya."

"Malunya pasti karena kamu selalu aku teraktir. Kalo mau jalan aku jemput kamu ke rumah."

Aku dan Vie tertawa. Suasana jalanan mulai sepi. Jam dinding di atas pintu gerbang Masjid Agung Kuningan Menunjukan hampir pukul setengah duabelas. Sudah hampir tengah malam. Aku sama sekali tidak merasakan bosan. Nampaknya Vie juga begitu.

"Enggak malunya, apa?" lanjut Vie.

"Kamu cantik. Orang-orang pasti iri melihat aku jalan sama kamu."

Vie bergeser. Duduknya sekarang agak sedikit rapat dengan ku.

"Kalo kamu ada rasa malu karena sering aku traktir. Gimana cara kamu menghadapi itu?"

"Aku coba untuk gak kebawa perasaan." aku meneguk satu tegukan terakhir kopi di gelas plastik bekas air mineral. "Aku coba untuk menerima keputusan tuhan dan menjalaninya."

"Kamu percaya, ini takdir kamu?"

"Aku gak mau so tau soal takdir." aku menyulut rokok. Aku hisap agak dalam dan menghembuskanya. "Yang aku tau, kita bias tau takdir, setelah takdir itu terjadi."

"Dan malam ini kita ditakdirkan nongkrong berdua sampai tengah malam di pusat kota Kuningan."

Aku dan Vie saling tersenyum.

"Vie, kamu pulang gimana? Mamah kamu bisa marah besar."

"Kamu tega ngebiarin aku pulang sendiri. Jauh. Melewati hutan. Terus sampe dirumah aku dimarahin mamah habis-habisan."

"Jadi, aku harus nganter kamu dan nemenin kamu dimarahin sama mamah kamu, gitu?"

"Iya dong. Itu takdir kamu."

"Enak aja. Kan belum terjadi."

"Ayo kita lihat. Apakah kita ditakdirkan didamprat habis sama mamahku atau jangan-jangan kakakku ada di rumah."

"wow...!"

"Berani?"

Aku terdiam sejenak dan memandang langit yang penuh bintang. Vie menatapku menanti jawaban.

"Oke." aku menatap balik Padanya. "Kita lihat. Apa takdir kita."

Vie tersenyum. Aku pun begitu. Dia kelihatan senang. Aku beres-beres, memunguti sampah bekas bungkus gorengan dan cemilan lainnya. Vie juga ikut membantu. Kami kumpulkan sampah-sampah itu dalam satu kantong plastik. Setelah membuang sampah pada tempatnya aku mengantar Vie pulang kerumahnya.