Seorang pria dengan rambut ikal, tegerai sebahu, dagu hingga ke bawah telinganya ditumbuhi janggut lebat laksana rumput segar yang beberapa bulan diguyur hujan, sedang duduk santai di teras rumahnya sembari menikmati secangkir kopi yang baru saja dipesannya dari seorang pedagang keliling di pinggir jalan.
Matanya menatap kosong ke jalanan malam yang masih sangat ramai lalu lalang kendaraan.
"Kopi aja Mid?" tanya penjual kopi dengan sedikit ketus.
Pria itu hanya melirik sebentar, menyingkap rambutnya yang hampir menutupi matanya, ke belakang. Lalu mengangguk kecil, bahkan tak nampak kalau dia sempat mengangguk kan kepalanya.
"Ngutang lagi?" tanya penjual kopi itu lagi, nadanya terkesan putus asa dan sedikit kecewa.
Hamid, nama pria itu. Dia terkekeh saat melihat wajah si penjual kopi yang lesu.
"Tidak, tenang saja. Hari ini ku bayar semua hutangku, berapa Jo?" tanya Hamid dengan suara datar. Pria berhidung mancung itu segera merogoh koceknya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan.
Paijo, nama penjual kopi itu, melihat uang yang tengah dipegang Hamid dengan mata terbelalak.
"Cukup Mid, itu cukup, bawa sini!" ucap Paijo bersemangat, tangannya meraih uang yang dipegang Hamid dengan cepat.
Hamid tidak begitu memperdulikannya, dia kembali menyeruput kopi panasnya. Matanya pun kembali menatap kosong ke arah jalan raya.
Paijo masih menimang uang yang baru saja didapatkannya, menerawangnya, lalu menciumnya beberapa kali.
"Mid, aku jalan lagi ya, terimakasih lo ini," ucap Paijo sambil nyengir kuda.
Hamid hanya mengangguk, itupun beberapa detik setelah Paijo pamit.
"Huh... ngomong kok sama robot! eh, sudahlah... mendingan aku jalan lagi jualan. Yang penting kan sudah dapat uang," celotehnya pada diri sendiri.
Paijo pun beranjak sembari membunyikan lonceng khas jualannya.
Tingg.... Ting... Ting... "Bakso, mie ayam, kopi, es teh,.... " serunya sembari mendorong gerobak miliknya.
Hamid hanya menggelengkan kepala saat melihat Paijo berlalu dari hadapannya.
"Bingung orang mau dengar, apa yang dia jual, semua disebutkan," gumam Hamid.
Hamid kembali menikmati kopi yang hanya tinggal sisa tegukan terakhir. Setelah kopinya habis, ia melihat ke arah arlojinya. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam.
Seorang gadis berhijab melintas di halaman rumahnya. Gadis itu bersama dengan tiga rekannya, membawa sajadah dan juga mukenah. Nampaknya baru pulang dari masjid yang tidak jauh dari rumah Hamid.
"Assalamu'alaikum Mas Hamid," sapa gadis itu dengan wajah menunduk. Kedua temannya pun menggodanya dengan terus berucap, cie... cie... , salah satu diantaranya bahkan ada yang mencubit lengannya.
Hamid mengalihkan pandangannya, yang semula menatap kosong ke arah jalan raya, beralih ke arah tiga gadis di hadapannya.
"Waalaikumsalam," jawab Hamid sembari tersenyum.
Kedua teman gadis itu berpamitan pulang terlebih dulu dan meninggalkan gadis itu hanya berdua dengan Hamid.
"Ow iya Mas Hamid, besok ada waktu luang tidak? kalau tidak sedang sibuk, saya ingin mengajak Mas Hamid ke panti asuhan. Mas Hamid bisa bantu saya mengajar di sana?" ucap gadis itu penuh harap. "Tapi, tapi kalau Mas Hamid sibuk, gak apa kok," imbuhnya dengan terbata.
Hamid kembali tersenyum. "Bisa," jawabnya singkat.
Gadis itu nampak sangat bahagia, terlihat dari sinar matanya dan juga senyumnya yang begitu sumringah.
"Alhamdulillah, pasti anak-anak senang dengan kedatangan Mas Hamid ke sana," ucapnya penuh syukur.
Hamid hanya mengangguk dan kembali tersenyum.
"Em, ya sudah kalau begitu. Saya pamit mau pulang dulu, sebelumnya terimakasih Mas Hamid," ucap gadis itu malu-malu.
"Em, Zahra, tunggu sebentar," cegah Hamid, menghentikan langkah gadis itu.
Gadis itu langsung menghentikan langkahnya seketika. Wajahnya memerah, dan dia pun memejamkan matanya sejenak sembari menahan senyum karena terlalu bahagia. Baru setelah dia berhasil mengendalikan dirinya, dia menoleh ke arah Hamid.
"Iy, iya Mas," ucapnya pelan, dia benar-benar hampir tidak mampu menyembunyikan kekagumannya pada pria itu.
"Jam berapa?" tanya Hamid.
"Em, seperti biasa," tukas Zahra dengan cepat.
"Owh, baiklah," jawab Hamid singkat. "Baiklah, hanya itu saja yang ingin ku tanyakan. Pulang lah, selamat malam," lanjut Hamid lagi.
Zahra merasakan gemuruh dalam dadanya. Baru kali ini, pria dingin yang sejak lama telah merebut hatinya itu, mengucapkan selamat malam padanya. Biasanya hanya berbicara ketika Zahra bertanya atau ketika ada keperluan saja.
Walaupun rumah keduanya hanya tersekat oleh tembok, tapi Hamid sangat menjaga jarak dengan Zahra. Begitu pun sebaliknya, Zahra juga hanya berbicara seperlunya dengan Hamid.
Hamid, seorang pria pendatang yang membeli rumah ayah Zahra sekitar lima tahun yang lalu.
Pria itu memang terkesan lusuh dari penampilannya, bahkan sejak awal menghuni rumah itu. Penampilannya lebih mirip seorang preman pasar. Rambut gondrong, celana robek bagian lututnya, kaos oblong yang sudah usang dan nampaknya jarang ganti.
Tapi siapa yang menyangka kalau dia adalah seorang pria yang baik dan terpelajar, bahkan dia pernah mengajar di beberapa sekolah ternama. Menjadi dosen di sebuah universitas yang cukup terkenal di kota itu. Membuat sekolah untuk anak-anak jalanan sekaligus menjadi gurunya. Dan masih banyak lagi, kegiatan sosialnya yang bisa dibilang sangat teladan.
Hal itu yang membuat Zahra sangat kagum pada Hamid, atau mungkin lebih dari kagum, tapi jatuh cinta tepatnya.
Hanya saja, Hamid begitu dingin dan cuek, dia seakan tidak perduli dengan perhatian yang diberikan oleh Zahra. Padahal selama Hamid tinggal di sana, pria itu belum pernah sekalipun membawa wanita ke rumahnya.
*
Hamid kembali melirik arlojinya, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Dibukanya layar monitor ponselnya, yang sudah retak di sana sini.
Setelah melihat semua notifikasi di ponselnya, dia mendengus kecewa lalu mematikan kembali layar ponselnya.
"Kemana sebenarnya kamu?" gumamnya lirih. Raut wajahnya berubah sangat sedih dan bingung. Ada sebuah gurat keputusasaan tergambar jelas di wajahnya.
Hamid beranjak dari duduknya, membuang cup plastik bekas kopinya ke kotak sampah, lalu segera masuk ke dalam rumah.
Dia berharap bisa segera memejamkan matanya dan tertidur pulas. Tapi beberapa hari ini, jiwanya sangat gelisah. Ada sesuatu hal yang membuatnya gundah, sebuah rasa kehilangan yang begitu mendalam. Bahkan yang paling parah, setiap kali matanya terpejam, ada sebuah gambaran aneh atau semacam mimpi buruk yang selalu menghantuinya.
Hamid masih terjaga, dia menatap kosong ke langit-langit kamarnya. Sambil sesekali mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi sebuah nomor.
Namun lagi-lagi jawaban yang diberikan operator tetap sama, 'Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan'.
Hamid tidak berhenti sampai di situ, dia tetap berusaha menghubungi nomor itu dengan meninggalkan pesan singkat. Walaupun sudah hampir satu minggu ini tidak juga ada balasan dari nomor itu.
Dia tidak pernah merasakan kegalauan seperti sekarang ini seumur hidupnya. Bahkan ketika dia harus pergi dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya.
Lanjut...