Chereads / KISAH YANG HILANG / Chapter 6 - TATO NAGA

Chapter 6 - TATO NAGA

Suara adzan subuh berkumandang, membangunkan Hamid, disambut kokok ayam yang saling bersahutan dari berbagai penjuru. Hamid segera beringsut dari tempat tidurnya, duduk sejenak di tepi ranjang, mengusap wajahnya, lalu beranjak ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri, mengambil air wudu, dia lantas melangkahkan kakinya ke arah masjid untuk menunaikan salat subuh berjamaah.

Sudah ada beberapa orang yang duduk di masjid itu. Di tempat wanita pun, Zahra sudah nampak mengenakan mukenah. Hamid sempat melayangkan matanya ke arah gadis itu, dan seperti biasa, Zahra pasti melempar senyum ke arahnya.

Beberapa menit berlalu, seusai salat, Hamid langsung beranjak pergi. Dia tidak kembali ke rumahnya, melainkan pergi ke pasar pagi untuk membeli beberapa makanan, dibagikan untuk anak jalanan yang selama ini diurusnya.

Jarak antara masjid dan pasar pagi cukup jauh, tapi dia sudah terbiasa berjalan kaki. Sekalian menghirup udara segar dan berolahraga, dalihnya jika ditanya oleh orang-orang yang mengenalnya.

Di separuh perjalanan, Hamid berhenti sejenak lalu duduk di bangku jalan yang memang sudah disediakan bagi para pejalan kaki. Kembali menatap kosong ke jalan raya, belum terlalu ramai, tapi sudah ada beberapa kendaraan yang lalu lalang, khususnya para pedagang yang hendak menjajakan dagangannya di pasar pagi.

Seorang anak kecil berlalu di hadapannya, membawa keranjang yang berisi kue, nampaknya hendak dijualnya ke pasar. Yang paling mencuri perhatian Hamid adalah anak itu menggendong anak kecil di punggungnya dan anak kecil itu masih dalam posisi tidur.

Hamid menghentikan anak itu.

"Mau jualan?" tanya Hamid datar.

Anak itu berhenti sejenak, kakinya sedikit gemetar saat melihat Hamid. Lalu dia mengangguk pelan sembari mendekap erat dagangannya.

"Sa, saya, saya," ucap anak itu terbata. "Saya sudah bayar kemarin di sana, hari ini belum dapat uang," ucapnya lagi dengan penuh rasa takut. Nampaknya dia mengira kalau Hamid, salah satu preman di tempat itu.

Ini adalah salah satu hal yang paling dibenci Hamid saat dulu masih serumah dengan ayahnya. Ayahnya tidak pernah perduli pada hal-hal seperti ini. Bahkan hanya memperdulikan harta dan terus menimbunnya. Melihat seorang anak yang belum pantas untuk bekerja sekeras ini, merasakan hidup yang begitu sulit, dan masih saja banyak orang yang ingin mempersulit kehidupannya. Hati Hamid seakan teriris, sedih, sakit dan entah apa lagi.

"Kamu jangan takut," ucap Hamid, kali ini diiringi sedikit senyuman meskipun agak memaksa. "Aku tidak akan meminta uangmu," lanjutnya lagi. Lalu mengajak bocah itu untuk berjalan bersama ke pasar.

Awalnya bocah itu sedikit takut, tapi Hamid berusaha meyakinkannya kalau dia bukanlah orang jahat.

"Dimana rumahmu?" tanya Hamid santai.

Bocah itu tidak menjawab, dia hanya menunjuk ke arah belakang jalan yang mereka lalui.

"Lalu, siapa yang sedang kamu gendong ini?" tanya Hamid lagi.

"Ronaldo," jawabnya singkat.

Hamid mengerutkan dahinya.

"Adikmu?" tanyanya lagi.

Bocah itu menggeleng. Lalu mulai bercerita.

"Bukan, dia masih bayi dulu. Pas itu, dia di tinggalkan di depan rumah kardusku. Jadi aku rawat dia, aku kasih nama Ronaldo," ujarnya bersemangat. Dia sudah bisa lebih santai sekarang.

Mendengar jawaban anak itu, dada Hamid rasanya dihantam besi yang berkilo-kilo beratnya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar jawaban yang seperti ini. Bahkan untuk hidupnya saja, bocah ini sudah pasti kesulitan, tapi kenapa dia bersedia merawat anak kecil itu?

"Orang tuamu?" tanya Hamid, dia semakin penasaran dengan kehidupan anak ini.

Anak itu menggeleng. "Aku dulu sama nenek, terus nenek meninggal, jadi aku sendiri," jawabnya lagi, enteng, tanpa beban.

Hamid mengusap sudut matanya.

"Kue ini?" tanya Hamid lagi.

"Untuk dijual, tetanggaku yang bikin aku jualin aja. Kemarin itu sebenarnya aku dapat duit banyak, tapi diminta sama preman sono itu! ya udah deh, gak jadi punya duit, eh.. he.. he," jawabnya sambil terkekeh. "Yang penting aku sama Ronaldo sehat gak dijahatin sama preman itu, terus bisa jualan lagi. Pasti dapat duit lagi," ucapnya polos, dia kembali nyengir memperlihatkan giginya yang ompong.

Hamid tertegun sejenak, dia kehilangan uangnya dan dia masih bisa tertawa. Padahal bisa saja uang itu satu-satunya harapannya untuk bisa makan hari itu, atau mungkin dia sudah merancang berbagai hal yang akan dibelinya menggunakan uang itu. Tapi tiba-tiba ada yang mengambilnya, pasti rasanya sangat memilukan. Entah, apakah dia memang seorang anak yang sangat tegar atau memang pandai menyembunyikan kesedihannya?

"Kaya nenekku, belum rejeki," lanjutnya lagi.

"Kenapa tidak tinggal di panti?" tanya Hamid.

Anak itu ternyata pernah tinggal di panti asuhan, tapi dia kabur karena perlakuan buruk si pengurus panti. Dia memiliki traumatik jika harus kembali ke panti, walaupun di tempat yang berbeda. Dia bercerita, kalau dia sering disiksa, diminta untuk mengemis, dan hal-hal buruk lainnya. Tidak berselang lama, pemilik panti itu ditangkap polisi karena kasus penganiayaan dan pembunuhan salah seorang anak panti.

"Kata nenekku, gak boleh ngemis. Gak boleh minta-minta, kita kan sehat bisa kerja," ucapnya polos.

Hamid kembali menyeka sudut matanya, selama ini dia pikir hidupnya sangat sulit karena ayahnya yang egois dan matrealistis. Tetapi ternyata di luar banyak yang jauh lebih sulit dalam menjalani kehidupan ini. Selama ini pula dia banyak membantu anak jalanan dengan berbagai kisah sedih dan miris. Begitupun dengan hari ini, dia kembali dipertemukan dengan seorang anak manusia yang tengah berjuang untuk hidupnya sendiri dan bahkan untuk hidup orang lain.

Hamid menawari anak itu untuk datang ke sekolah miliknya. Anak itu nampak bahagia, dia sangat bersemangat dan berjanji akan datang lusa.

"Nama kamu siapa?" tanya Hamid, saat mereka sudah sampai di kawasan pasar.

"Jaka," jawabnya singkat.

Hamid mengangguk mengerti.

Suasana pasar sudah mulai ramai, Jaka mengambil jalur lain dan mengucapkan salam perpisahan kepada Hamid. Hamid pun membalas lambain tangan anak itu dan segera menuju ke pedagang makanan langganannya.

Namun tiba-tiba, lengan kurus anak itu dirarik oleh seseorang yang berbadan kekar dan bertato naga di bagian punggung tangannya.

"Ampun!" teriaknya.

Seketika Hamid menoleh, tanpa basa basi, dia berlari ke arah Jaka.

Ternyata anak itu dibawa ke pangkalan preman pasar itu. Dia dipaksa menyerahkan semua uang yang dia miliki, bahkan beberapa makanan yang dijualnya juga sudah dimakan sebagian oleh preman itu.

Jaka nampak sangat ketakutan, namun dia berusaha untuk menahan tangisnya.

"Lepaskan dia," ucap Hamid datar.

Preman itu tidak sendiri, ada sekitar lima orang dan kesemuanya bertato naga di punggung tangannya.

Hamid merasa tidak asing dengan gambar itu. Tapi dia sedikit lupa, dimana dia pernah melihatnya.

"Hahhaha! lihatlah, ada seekor kecebong ingin menari," ledek preman itu.

"Lepaskan dia," ucap Hamid lagi masih dengan nada tenang.

Mereka semua menertawakan Hamid, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

Lanjut...