Chereads / KISAH YANG HILANG / Chapter 7 - MENANG

Chapter 7 - MENANG

Mereka tertawa semakin keras, sedangkan Hamid masih tetap tenang. Salah satu di antara mereka maju ke arah Hamid dan memegang bahu Hamid.

"Jagoan? gak usah sok hebat, mending kamu pulang, terus minta disuapin sama emakmu," ucap preman itu, lalu disambut iringan tawa keempat temannya.

Hamid mengibaskan tangan preman itu, tidak keras tapi cukup kasar. Lalu menepuk pundaknya sendiri, seakan sedang menghilangkan debu dari sana.

Preman itu sangat kesal, dia menatap Hamid dengan mata melotot seakan hendak menelannya bulat-bulat. Preman itu meludah ke samping, lalu secara spontan menyerang Hamid.

Hamid berhasil menghindari serangan preman itu tanpa memberikan perlawanan.

Preman itu kembali menyerang Hamid, dan terjadilah perkelahian antara Hamid melawan preman itu.

Namun, beberapa detik kemudian Hamid berhasil mendaratkan tinjunya tepat di perut preman itu. Setelah itu dia menendang preman itu hingga jatuh terpelanting ke dalam got.

Teman-temannya yang melihat kekalahan salah satu anggotanya, tidak terima. Mereka mengeroyok Hamid, menyerang Hamid membabi buta. Tapi ternyata Hamid sama sekali tidak gentar menghadapi mereka, Hamid berhasil menangkis satu persatu serangan mereka.

Hamid menguasai beberapa macam ilmu bela diri, yang ia pelajari dulu saat masih duduk di bangku kuliah. Bahkan sekarang pun ia mengajarkannya pada anak-anak didiknya.

Saat semua preman itu merasa kualahan menghadapi Hamid, salah satu preman yang tadi masuk ke dalam got, bangkit dan mengambil sebilah pisau dari dalam bajunya.

Dia menyerang Hamid secara mendadak, menghunuskan pisau itu ke arah perut Hamid. Hamid yang tidak terlalu waspada hampir saja tertusuk pisau itu, namun dia sempat menghindar dan hanya mengenai lengannya. Lalu dengan sekali tendangan, preman itu kembali jatuh ke tanah.

Perkelahian itu tetap berlangsung sengit, hingga akhirnya Hamid memenangkan perkelahian itu. Kelima preman itu bertekuk lutut di hadapan Hamid, mereka mengakui kekalahannya dan berjanji tidak akan memalak anak itu lagi.

Setelah melakukan perjanjian itu, Hamid memaafkan mereka. Di saat itu pula, dia teringat akan tato naga yang pernah dilihatnya itu, tapi entah di mana. Dia sangat penasaran ingin tahu lebih banyak tentang tato itu, sembari mengingat di mana terakhir kali dia melihat gambar itu.

Hamid memegang bahu Jaka, menenangkan anak itu, lalu memintanya pergi untuk melanjutkan berjualan. Tapi sebelum Jaka pergi, Hamid sempat memberinya uang, sebagai ganti yang dimakan para preman itu. Jaka sempat menolak, tapi Hamid berhasil membujuknya dan akhirnya bocah itu mau menerimanya.

Sedangkan Hamid, dia malah duduk bergabung dengan para preman yang sedang meringis kesakitan karena luka mereka.

"Ada yang ingin aku tanyakan," ucap Hamid sembari duduk dan mengayunkan kakinya dengan santai.

Para preman itu cengar-cengir tidak karuan karena merasakan sakit, lalu salah satu di antaranya menjawabmenjawab,

"Tanya apa?!" jawabnya ketus, namun sedikit takut.

"Tato kalian," ucap Hamid singkat, sembari memberi kode ke arah punggung tangan salah satu preman itu.

Mereka sempat terdiam sejenak, saling melirik satu sama lain. Lalu salah satunya menjawab, nampaknya dia adalah ketua dari para preman itu.

"Kenapa dengan tato kami?" tanyanya.

"Apa kalian punya semacam geng besar, atau boleh saya tahu siapa nama ketua geng kalian?" tanya Hamid.

Mereka kembali terdiam.

"Kenapa?" tanya Hamid semakin penasaran dengan tingkah aneh mereka.

"Ini hanya simbol geng kami, dan, dan ketuanya ya aku!" ucap preman itu dengan sedikit terbata. "Banyak yang punya tato seperti ini, tidak hanya kami, dan memang gambar ini sudah pasaran di mana-mana," dalihnya lagi.

Tapi Hamid tidak mudah percaya, dia tahu kalau ada yang disembunyikan para preman itu.

"Aku hanya pernah melihat yang sama persis seperti ini, dan aku pikir itu adalah simbol sebuah geng yang besar," kilah Hamid, agar mereka tidak curiga.

"Apa yang sebenarnya sedang kau cari? apakah ada kaitannya dengan tato kami ini?" tanya preman itu mulai curiga.

Hamid menghela nafas, lalu merubah posisi duduknya menjadi lebih santai.

"Hanya ingin tahu, sudah ku bilang aku pernah melihat yang sama persis seperti ini, penasaran saja," jawabnya enteng.

"Naga Besar," ucap preman itu tiba-tiba.

Hamid menoleh sejenak, namun pura-pura tidak perduli dengan ucapan preman itu.

"Nama gengnya Naga Besar, berjumlah ratusan orang," lanjutnya lagi. "Aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut, hanya itu saja informasi yang aku berikan padamu," lanjutnya lagi.

"Oke, tidak masalah, terimakasih sebelumnya, walaupun itu tidak begitu berpengaruh padaku," ucap Hamid sambil tersenyum tipis.

Para preman itu melihat jam dari ponsel mereka, lalu entah saling berbisik apa, mereka membubarkan diri tanpa berpamitan pada Hamid. Yang lebih anehnya, mereka berpencar dan mencari jalan masing-masing.

Sebenarnya Hamid sangat penasaran, dia sendiri merasa sangat bodoh hingga tidak ingat sama sekali di mana dia melihat tato itu dan apa yang membuatnya hingga sebegitu ingin tahu tentang tato itu.

Hamid menghela nafas panjang, lalu beranjak ke arah penjual makanan langganannya. Berpasang-pasangan mata menatapnya, mereka tersenyum ke arah Hamid. Mungkin karena pria itu berhasil mengalahkan kelima preman pasar yang meresahkan itu.

Sampai di penjual makanan,

"Masih ada Bu, pecel lontong dan gorengannya?" tanya Hamid.

Ibu-ibu penjual makanan itu berdiri dan memeluk Hamid sambil melonjak-lonjak kegirangan.

"Hebat lo Mas Hamid! hebat buanget!" celotehnya berulang kali. "Huh... ndak ada yang bisa melawan mereka Mas! mereka berkuasa di sini! Mas Hamid ini memang jos!" pujinya lagi.

Hamid berusaha melepaskan pelukan perempuan paruh baya itu dengan sangat hati-hati.

"Sudah, sudah," ucap Hamid salah tingkah, sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Para pedagang yang lain juga berkerumun, lalu mereka saling bersahutan memuji sikap kepahlawanan Hamid.

Hamid menjadi semakin salah tingkah. Dia hanya cengar cengir sembari sesekali menggaruk kepalanya.

"Gimana Bu, masih ada tidak pecelnya?" tanya Hamid.

Ibu penjual pecel segera berlari kembali ke dagangannya.

"Masih to, masih ada khusus untuk Mas Hamid. Sengaja Ibu sisihkan untuk pelanggan setia," selorohnya. "Mau untuk anak-anak ya Mas?" tanya Ibu-ibu itu.

Hamid hanya mengangguk sembari tersenyum.

Setelah selesai membayar, tiba-tiba para pedangang makanan menggeruduknya dengan membawa beberapa kantung kresek berisi makanan.

"Mas Hamid, ini titip untuk anak-anak," ucap salah seorang pedagang sambil menyerahkan kantung kresek itu.

Hamid sedikit bingung, "Ini bukan pajak kan? saya tidak menarik pajak," selorohnya sambil tersenyum.

Semua orang tertawa, "Bukan mas," sahut salah seorang dari mereka.

"Baiklah, saya terima. Terimakasih semuanya," ucapnya.

Dia pun berlalu pergi, menuju ke rumah anak-anak asuhnya.

*

Di kursi jalan, nampak Jaka sedang duduk dan bermain bersama Ronaldo, adiknya.

Hamid duduk di sebelah Jaka, lalu memberi kedua anak itu makanan yang di dapatnya dari pasar.

Jaka dengan senang hati menerimanya, sedangkan Ronaldo menangis meraung karena takut pada Hamid.

Tiba-tiba saja dua orang dengan berpakaian hitam turun dari mobil dan menyerang Hamid.

***

Lanjut...