Sungguh, jika ada gambaran untuk seorang lelaki yang begitu sempurna di dunia ini, maka Hasan adalah jawabannya. Dia tampan, baik hati, setia dan juga mapan dalam hal ekonomi. Dia seorang pembisnis yang sukses di usianya yang masih muda. Terkadang Elsa merasa begitu beruntung memilikinya. Apalagi hubungannya dengan Hasan sudah lama direstui oleh ayahnya.
Begitupun dengan hari ini, walaupun Elsa yakin kalau Hasan tidak percaya dengan ucapannya, Elsa tidak memiliki keraguan sedikitpun padanya.
Perlakuan seperti ini yang selalu membuat Elsa sangat nyaman. Dia akan memeluk dengan hangat, menenangkan hati dan pikiran Elsa yang sedang kacau, membuat lelucon yang konyol dan masih banyak lagi.
"Kenapa tidak kau kenalkan padaku? biar aku tunjukkan padanya kalau kau sudah memiliki seorang putri raja yang sangat cantik," gumam Elsa membalas lelucon Hasan.
Hasan dengan sangat cepat melepaskan pelukannya. Dia menatap nanar ke arah Elsa sembari memegangi kedua bahu wanita itu, seakan terjadi sesuatu yang sangat serius.
"Apa aku tidak salah dengar?!" ucap Hasan dengan mimik wajah serius.
Elsa sedikit bingung. Gadis itu nengeriyitkan dahinya.
"Kenapa? ada yang salah?" tanya Elsa bingung. Dia sudah merasa sedikit panik, dia takut salah berucap atau ucapannya menyinggung hati Hasan.
"Hahaha!" tawa Hasan meledak melihat kekasihnya yang begitu polos dan merasa bersalah.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Elsa semakin bingung.
Hasan masih menghabiskan sisa tawanya, dia benar-benar nampak geli dengan mimik wajah Elsa.
"Kau benar Sayang, kau memang seorang putri raja yang cantik jelita. Aku benar-benar beruntung bisa mendapatkan hati dan cintamu, mungkin aku akan lebih beruntung lagi kalau aku bisa mendapatkan ragamu sepenuhnya," ucap Hasan penuh harap.
Elsa tersipu malu. Hasan selalu membuatnya membubung tinggi saat sedang memujinya.
"Kau wanita yang sangat baik, cerdas, dan cantik. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Aku sangat mencintaimu, tapi, -". Ucapan Hasan terhenti.
" Tapi apa?" tukas Elsa.
"Tapi kapan kau mau menjadi istriku?" tanya Hasan penuh harap.
Elsa langsung terdiam.
"Sepertinya ini bukan waktu yang tepat Has, untuk membicarakan semua itu. Aku minta maaf, tapi kamu tahu kan kalau sekarang kondisi hatiku sedang tidak baik-baik saja?" jawab Elsa dengan wajah menunduk.
Hasan merasa sedikit kecewa dengan jawaban Elsa. Bukan waktu yang sebentar baginya, menunggu selama sepuluh tahun lamanya. Tapi gadis itu masih belum mau menerima lamarannya. Tapi, Hasan masih terus bersabar, dia yakin suatu hari nanti Elsa pasti akan mau menikah dengannya.
Suasana hening sejenak. Tapi Hasan segera mencairkannya.
"Maaf Sayang, maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk, ah.. bodohnya aku! aku bahkan tidak tahu tempat dan kondisi saat ini," cercau Hasan sembari mengumpat pada diri sendiri.
"Tidak, kamu tidak salah Has. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang salah, aku membuatmu menunggu sepuluh tahun lamanya," sahut Elsa merasa sangat bersalah.
Tiba-tiba Hasan menghentikan mobilnya. Membuat Elsa semakin panik, apakah pria itu marah padanya?
"Tunggu di sini sebentar tuan putri, aku akan segera kembali," ucap Hasan selayaknya seorang prajurit kerjaan.
Pria itu menutup pintu mobilnya, lalu berjalan ke arah sebuah restoran.
Elsa menghela nafas lega, ternyata Hasan tidak marah. Dia bahkan malah pergi untuk membelikan makanan untuknya.
*
Tidak berapa lama berselang, Hasan kembali membawa banyak sekali paper bag berisi makanan kesukaan Elsa.
Dia sedikit ngos-ngosan karena berjalan setengah berlari ke arah mobil.
Hasan membuka satu persatu makanan yang ia beli.
"Silahkan, pilih makanan yang tuan putriku ini sukai," ucap Hasan berseloroh.
Elsa benar-benar sedang tidak memiliki nafsu makan. Dia bahkan sangat mual saat melihat makanan yang ada di depannya.
Namun bukan Hasan jika ia tak berhasil merayu Elsa. Dia terus membujuk gadis itu, merayunya agar mau makan walau hanya sedikit saja.
"Sayang, makan ya. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kamu harus kuat, sehat, kamu harus punya kekuatan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Walaupun aku selalu berharap semoga kecurigaanmu salah," ucap Hasan.
Akhirnya setelah beberapa perdebatan kecil terjadi, Elsa tetap tidak bisa menolak permintaan Hasan.
"Eits, tunggu dulu," cegah Hasan.
Elsa nampak bingung.
"Ada apa?" tanya Elsa.
"Mana mungkin aku membiarkan tuan putriku makan sendiri," ucap Hasan sembari mengedipkan matanya. Pria itu lantas mengambil sendok dan mulai menyuapi Elsa.
Elsa tersipu malu.
"Enak?" tanya Hasan sembari mengangkat kedua alisnya.
Elsa mengangguk sambil tersenyum.
Sepuluh tahun lamanya, bukan waktu yang singkat untuk menjalin sebuah hubungan. Apalagi mereka sering terpisah jarak yang cukup jauh. Hasan mempunyai bisnis yang cukup besar di luar negeri. Jadi sebagian besar waktunya banyak dihabiskan di sana. Tapi tetap saja, Hasan selalu saja mampu membuatnya tersipu malu.
Elsa sendiri bingung pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia selalu menunda pernikahannya dengan pria sesempurna Hasan. Berkali-kali menolak lamaran Hasan, dengan alasan belum mampu berumah tangga, masih ingin melanjutkan sekolahnya, masih belum bisa jauh dari ayahnya, masih ingin mengejar cita-citanya dan masih banyak lagi alasan Elsa untuk menolak lamaran Hasan. Tapi sebenarnya semua itu bukan alasan utamanya. Dia sendiri juga tidak tahu apa yang membuatnya masih ragu dengan Hasan.
Ponsel Hasan berdering, membubarkan lamunan Elsa. Tapi anehnya Hasan hanya melihatnya sekejab lalu kembali memasukannya ke dalam kantung celananya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Elsa penasaran.
Hasan hanya menyeringai kecil, "Apa ada yang jauh lebih penting dari pada tuan putriku ini?" seloroh Hasan menggoda Elsa.
Lagi-lagi pipi Elsa memerah dan dia pun tersenyum manis.
"Lihatlah senyumannya, huh...." lanjut Hasan. "Benar-benar mengalihkan duniaku, membuat jantungku hampir loncat dari tempatnya," goda Hadan lagi.
Elsa tidak tahan, dia mencubit perut Hasan dengan manja.
"Siapa yang menelpon?" tanya Elsa penasaran, di antara mereka berdua, Elsa lah yang paling posesif.
"Em, sepertinya wanita bule tadi," goda Hasan lagi.
Elsa mengerucutkan bibirnya. "Oh," jawabanya singkat.
Tawa Hasan kembali meledak, melihat kecemburuan di wajah Elsa.
"Cemburu?" goda Hasan.
Elsa merajuk, "Enggak lah!" ketusnya.
Lagi-lagi ponsel Hasan berdering. Tapi untuk kesekian kalinya Hasan mengabaikan panggilan itu.
"Rekan bisnis di LA, Sayang," ucap Hasan sembari mengantungi ponselnya.
Elsa mengerutkan dahinya.
"Angkat aja lah, kenapa diabaikan? mungkin penting," tukas Elsa.
Hasan hanya menggeleng lalu tersenyum.
"Kita pulang?" tawar Hasan.
Elsa mengangguk patuh.
*
Sampai di rumah Elsa, Hasan segera turun terlebih dulu lalu membukakan pintu mobil untuk Elsa.
"Silahkan tuan putri," ucap Hasan sembari membungkukkan badannya dan mengulurkan tangannya.
Elsa kembali tersipu malu, lalu turun dari mobil seraya memegang tangan Hasan layaknya putri raja dan seorang pangeran.
Adegan romantis itu sejak tadi diperhatikan oleh Mira dari jendela kamarnya yang berada di lantai atas. Wanita itu tersenyum sarkas, sambil bergumam, "Sesuai, dasar pelayan! akan selamanya menjadi seorang pelayanan!".
Lanjut...