Walaupun rintik hujan sudah mulai reda, tapi mendung tebal masih menyelimuti suasana pemakaman ayah Elsa. Mungkin alam pun ikut merasakan kesedihan yang tengah dirasakan oleh Elsa. Dia masih belum mampu untuk mengikhlaskan kepergian ayahnya.
Saat satu persatu orang sudah mulai menginggalkan pemakaman, Elsa masih duduk bersimpuh di dekat pusara ayahnya. Dia memandang dengan tatapan kosong ke arah gundukan tanah merah yang masih basah. Sesekali air matanya menetes di kedua pipinya tanpa dia sadari. Hanya salah satu asisten rumah tangganya yang menemaninya. Ibunya, Mira, sudah pulang terlebih dulu.
"Non, sabar ya, Bapak pasti sudah bahagia di sana," ucap Asih, pembantu yang menemani Elsa.
Elsa tidak menjawab, ia hanya mengangguk kecil sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.
Beberapa detik kemudian, Elsa berbalik ke arah Asih lalu memeluk wanita paruh baya bertubuh gempal itu.
"Elsa tidak tahu Mbok, apakah Elsa mampu hidup tanpa Papa," rintih Elsa lalu menangis dipelukan Asih.
Asih berusaha menahan sesak di dadanya saat mendengar ucapan Elsa. Sekuat tenaga dia menahan tangisnya, berusaha menguatkan Elsa. Dia adalah orang yang paling tahu kedekatan ayah dan anak itu. Selain itu, dia adalah salah satu orang yang tahu sebuah rahasia besar yang Elsa tidak pernah tahu.
"Iya, Mbok tahu Non, sabar ya Non, Non Elsa pasti kuat dan mampu, Mbok yakin," bisik Asih dengan sedikit terbata, menenangkan Elsa.
Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya Elsa mau diajak pulang oleh Asih.
Di tengah perjalanan menuju ke mobil, seorang lelaki berperawakan tinggi serta tampan, datang menghampirinya.
Elsa dan pria itu saling bertatapan sejenak, lalu Elsa pun menghambur memeluk pria itu.
"Hasan,-" ucap Elsa, suaranya tercekat lalu diapun kembali menangis sejadi-jadinya.
Pria itu membalas pelukan Elsa. Lalu mengusap kepala Elsa dengan lembut.
"Kamu kuat sayang," bisiknya sembari mengecup kening Elsa.
"Pa, Papa Has, Papa udah gak ada," ucap Elsa terbata di sela tangisnya.
Pria itu mengangguk pelan, lalu semakin mengeratkan pelukannya.
Tiba-tiba Elsa teringat tentang akan kecurigaannya pada kematian ayahnya yang tidak wajar. Dia berharap besar, kalau kekasihnya, Hasan, pasti bisa membantunya mengungkap semua kejanggalan yang terjadi.
Elsa melepaskan pelukan Hasan, dan mencoba menjelaskan tentang kegelisahannya.
"Has, kamu harus membantuku! kita harus membantu Papa! Papa, Papa, pasti,-"
Hasan menyela ucapan Elsa. Dia memegang bahu kekasihnya itu dengan lembut, lalu dengan tenang berusaha menenangkannya.
"Sayang," ucapnya lembut. "Sayang, tenangkan dirimu, sebaiknya kita kembali dulu ke rumah. Kamu harus beristirahat, oke," lanjut Hasan.
Elsa tetap berusaha menjelaskan semuanya.
"Tidak, kamu harus dengar dulu penjelasanku Has, Papa, Papaku Has!" tukas Elsa.
Hasan terdiam sejenak, "Papa? kenapa Sayang? Papa mungkin sudah bahagia di sana," jawab Hasan.
"Tidak Has!" bentak Elsa. "Papa tidak akan bahagia, sebelum aku berhasil mengungkap siapa yang telah membunuhnya!" sanggah Elsa.
Hasan kembali terdiam, tapi kali ini mimik wajahnya berubah. Dia menatap dalam-dalam ke arah mata Elsa. Tapi setelah beberapa detik berlalu dengan keheningan, Hasan membuka kacamatanya lalu memasukannya ke dalam kantung bajunya. Dia pun tersenyum lembut ke arah Elsa.
Lagi-lagi dia memegang bahu Elsa dengan tenang dan lembut.
"Sayang, are you okay?" ucapnya, masih dengan tenang dan penuh kasih sayang.
"Yes, i'm oke! apa kamu juga gak percaya?! apa kamu juga akan bilang kalau Papa meninggal karena serangan jantung?!" cerca Elsa dengan emosi yang mulai meluap.
"No, tidak Sayang, bukan begitu maksudku," dalih Hasan. "Aku percaya kamu, tentu saja. Tapi, em... sebaiknya kita bicara di mobil, sembari kamu tenangkan diri kamu dulu ya, okey?" bujuk Hasan, sembari menatap Elsa dengan tatapan penuh cinta.
Elsa melunak, dia memang tidak pernah bisa menolak permintaan Hasan. Apalagi jika Hasan sudah memperlakukannya bak seorang ratu. Hasan selalu menunjukkan rasa cintanya yang luar biasa kepada Elsa. Elsa sendiri pun menyadari, kalau selama ini dia selalu bersikap kekanak-kanakan dan Hasan selalu memakluminya.
Mereka pun masuk ke dalam mobil dan beranjak untuk pulang ke rumah.
*
Di perjalanan, keduanya saling mematung satu sama lain. Belum ada percakapan sama sekali selama hampir lima belas menit.
"Kamu sudah makan?" tanya Hasan memulai percakapan.
Elsa menggeleng sembari menatap kosong ke luar jendela mobil.
"Sayang, mau makan apa? biar kita berhenti sejenak di restoran yang ada di depan sana. Aku akan belikan untukmu," tawar Hasan.
Elsa menatap ke arah Hasan, "Aku tidak ingin makan, aku hanya ingin pelaku pembunuhan ayahku tertangkap," jawab Elsa datar.
"Oke, sekarang ceritakan apa yang membuatmu begitu yakin kalau Papa dibunuh?" tanya Hasan mulai menanggapi ucapan Elsa.
"Aku menemukan darah Has! Papaku berdarah dibagian belakang tubuhnya, aku, aku tidak tahu pasti, tapi aku yakin itu bukan darah karena Papa terkena serangan jantung,"
Hasan mendengarkan setiap ucapan Elsa dengan tatapan serius.
"Sayang, maafkan aku, aku tidak bisa hadir di pemakaman ayahmu tadi, aku terlambat. Aku tidak bisa berada di sampingmu di saat kamu benar-benar di posisi terpuruk seperti ini, maafkan aku. Karena pesawat yang kutumpangi mengalami gangguan. Aku bahkan sampai tidak tahu ada hal apa saja yang terjadi," ucap Hasan.
Elsa melirik ke arah Hasan sejenak lalu mengangguk. Dia kembali menyeka air matanya.
"Tapi, bukankah kata dokter Papa meninggal karena serangan jantung? dan darah? bisa saja itu memang karena ada pembuluh darah Papa yang pecah? kita tidak punya bukti yang kuat Sayang, lalu bagaimana kita akan membuktikan kalau Papa memang dibunuh?" lanjut Hasan.
Elsa menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya, lalu menariknya ke atas hingga menyingkap rambutnya yang sedikit berantakan.
"Aku tahu, tidak akan ada yang percaya padaku," tukas Elsa putus asa.
"Sudah, jangan terlalu kamu pikirkan okey, tenangkan dirimu dulu. Kamu harus berusaha ikhlas, kamu harus mampu menerima keadaan ini. Kamu masih kalut Sayang, saat orang sedang kalut, dia tidak bisa berpikir jernih. Aku yakin, kamu bisa melewati semua ini, dan tentunya aku akan selalu ada, menemani kamu melewati semua kesulitan ini, okey," tutur Hasan.
Pria itu lantas meraih bahu Elsa dan menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. Dengan kasih sayang yang selalu terasa sempurna bagi Elsa, pria itu selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan Elsa merasa kalau dia adalah sosok laki-laki kedua yang begitu menyanyanginya, setelah ayahnya.
"Kamu tahu tidak, saat di pesawat tadi, ada seorang wanita bule mendekatiku. Dia meminta nomer ponselku, bahkan sampai mengikuti menggunakan taksi. Sepertinya aku terlalu tampan, sehingga para gadis selalu mengejarku dan tergila-gila padaku, termasuk kamu, hahaha," seloroh Hasan menjernihkan suasana yang sejak tadi terasa kaku. Hasan mencubit manja hidung mancung gadis yang berada di pelukannya itu.
Lanjut.. ..