Chereads / Raissa / Chapter 18 - Kejadian yang tidak diinginkan

Chapter 18 - Kejadian yang tidak diinginkan

Dengan ojek online, Raissa hanya memerlukan waktu 10 menit untuk sampai ke gedung tempat ia bekerja. Raissa turun dibawah jembatan, memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada yang mencurigakan, si topi biru juga tidak terlihat, bahkan sore ini tidak ada yang memakai topi biru. Jam baru saja menunjukan pukul 6 sore, Raissa kecepatan satu jam, tapi memang ia sengaja datang lebih cepat untuk berbicara dengan Liza. Sayangnya Liza harus lembur malam itu di poli Obgyn karena dr. Vita datang terlambat sehingga pasiennya baru selesai jam setengah delapan malam. "Adduuhh kesal banget sih, kenapa dr. Vita harus datang terlambat hari ini!! Adikku sudah telpon berkali-kali ke ponselku. Minta dicarikan bahan-bahan untuk prakarya besok. Bukannya bilang dari tadi pagi supaya aku bisa carikan sebelum berangkat kerja!" omel Liza sambil membawa alat-alat medis yang baru dipakai oleh para pasien dr. Vita. Liza masih terus mengomel sambil mulai mencuci alat-alat tersebut. "Sudah, tinggalkan saja Liz, biar aku yang kerjakan, nanti kamu kemalaman. Sudah hampir jam delapan ini." kata Raissa. "Beneran Sa? waahh makasih banyak ya! aku sudah tidak konsen dari tadi." kata Liza lalu buru-buru bersiap pulang. Raissa lalu melanjutkan mencuci alat-alat medis dan menyeterilkan alat-alat itu. Sebelum pulang Liza kembali berterimakasih pada Raissa. "Sudahlah tidak apa-apa kok Liz, itulah gunanya teman. Lagian aku jaga sama dr. Deasy lagi malam ini, dijamin senggang waktuku hehehe.. Kamu juga pulangnya hati-hati ya Liz. Awasi sekelilingmu, Atau naik taksi online sajalah, sudah malam ini ." kata Raissa dengan cemas. "Tenang .. aku bawa semprotan merica, amaaan! Jangan khawatir Sa! Aku pamit ya, sampai ketemu besok Raissa temanku yang baik. Makasih yaa..!!" kata Liza lalu memeluk Raissa. "Ya ya ya.. hati-hati ya Liz!" kata Raissa sambil menepuk-nepuk punggung Liza yang memeluknya dengan erat. "Waduh, ada acara apa ini pakai peluk-pelukan segala!" kata mas Bram yang masuk ke UGD diikuti oleh dr. Aldi dibelakangnya. "Wah, tumben orang site datang kesini. Ada apa nih!" kata Liza melepas pelukannya pada Raissa. "Baru selesai rapat dengan marketing. Tapi lihat jalanan masih lumayan macet jadi nunggu disini deh. Kebetulan liat cctv masih ada Raissa yang manis disini.. kami pikir enakan nunggu disini hahahaha." kata dr. Aldi. "Dasar kalian ini, awas ya, jangan ngegodain Raissa! Ya sudah aku pulang dulu ya! daahhh semuaaa!!" kata Liza lalu berlari keluar. "Hati-hati Liz!" seru Raissa yang disambut desiran angin yang ditinggalkan oleh Liza. "Wah, kayaknya kerjaannya Raissa masih banyak nih.. mau dibantuin tidak?" tanya Mas Bram. "Tidak usah Mas, ini sudah dicuci tinggal di sterilkan saja. Gampang!!" kata Raissa sambil mengangkat jempolnya. Setelah menyeterilkan peralatan, Raissa bergabung dengan dr. Aldi dan mas Bram. "Irvan kemana? biasanya kalian selalu tiga sekawan?" tanya Raissa. "Tadi izin duluan, anaknya yang keempat demam, sepertinya mau tumbuh gigi, tetapi istrinya sudah kewalahan karena rewelnya bukan main, makanya Irvan disuruh pulang lebih awal." kata dr. Aldi. "Kalau aku jadi istrinya juga pasti kewalahan, anaknya empat masih kecil-kecil semua, satu rewel bisa merembet ke yang lain lain tuh, lagian senang amat bikin anak." kata Bram. "Cie..cie.. jangan cemburu gitu dong..makanya cepat cari istri, udah bangkotan tapi belum ada pendampingnya." ejek dr. Aldi. "Sialan kau dok, mentang-mentang pengantin baru, bawaannya nyuruh semua orang nikah! kalau mudah sudah dari dulu aku punya istri!" kata mas Bram sewot. "Memangnya mas Bram pilih-pilih ya?" tanya Raissa. "Yahhh Sa!! masih mending kalau bisa pilih-pilih, ini yang mau dipilihnya juga tak ada!" kata dr. Aldi sambil tertawa. "Enak saja dok! heh!! eh tapi benar sih Sa, heheheh.. tak ada yang mau sama aku, soalnya sering kutinggal-tingal ke hutan atau ke laut sih." kata Mas Bram malu-malu. "Mas Bram carinya perawat juga saja, supaya saling mengerti." usul Raissa. "Maunya sih gitu Sa, sstt.. dia naksir Liza Sa.. hihihihi.." bisik dr. Aldi. "Ya ampun dokter!!! kasih tau saja semua orang!!! Pengumuman dari Monas sana!!" kata Mas Bram emosi. "Marah niiii..cuma Raissa doang kok yang kukasih tau, memangnya siapa lagi yang kukasih tau,, biar dibantuin kau Bram.. jadi Sa, cintanya bertepuk sebelah tangan Sa, soalnya Liza kesemsem sama pak Aditya! wahahahhaha!" kata dr. Aldi dengan tampang tak bersalah terus menceritakan rahasia mas Bram pada Raissa sampai Raissa kasihan dengan mas Bram karena Raissa juga tau Liza ngefans berat dengan pak Aditya dan ternyata sudah jadi rahasia umum juga. Habisnya Liza kentara sekali menyukai pak Aditya. Untungnya Liza bukan tipe gadis penggoda, hanya tipe wanita yang terlalu bersemangat kalau menyukai seseorang. Setahu Raissa, Liza juga belum punya pacar dan belum pernah pacaran. Raissa berpikir bahwa sebenarnya Liza cocok dengan mas Bram. Dan sudah jadi rahasia umum kalau orang medical site bayarannya tidak ada yang kecil. Pasti terjamin hidup Liza. "Aku akan coba bantu Mas, tapi sabar yaa..Aku akan mencari cara!" kata Raissa. "Benar ya Sa, kasih aku kesempatan saja sebenarnya, nanti aku sendiri yang akan berjuang." kata mas Bram. "Mantap bro! baru lelaki jantan itu!!" kata dr. Aldi sambil meninju lengan kekar mas Bram. dr. Deasy mendengar suara ribut diluar akhirnya keluar dari kamar dokter jaga."Wah ada Aldi dan Bram, pantasan kok ramai sekali disini." ujar dr. Deasy. "Hai Des, iya nih, nunggu macet terurai, daripada ngeliatin dinding kantor, mending nunggu disini sambil nemenin nona manis!" kata dr. Aldi. "Baru aja jadi manten, sudah cari yang manis-manis lagi!" kata dr. Deasy. Tiba-tiba terdengar suara ribut, kali ini dari pintu UGD, Raissa dan dr. Deasy langsung berlari kearah pintu, belum sampai ke pintu, pintunya sudah dibuka oleh seorang satpam, lalu dibelakangnya tiga orang satpam terlihat membopong seorang wanita dengan baju terkoyak dan bersimbah darah. Raissa seperti mengenali wanita itu. Lalu tiba-tiba ia tersadar. "LIZAAAAAA!!!!"

"Fokus Raissa! Fokus!!!" tiba tiba Mas Bram mencengkeram lengan Raissa. "Bisa mas, ayoo!!!" kata Raissa dan langsung memandu para satpam yang membopong Liza menuju ruang tindakan sambil menyambar sarung tangan latex dan memakainya, begitupun dengan Dr. Deasy, dr. Aldi dan Bram. "Ceritakan apa yang terjadi cepat!" bentak dr. Deasy pada satpam. Raissa dengan cepat menggunting pakaian Liza dan memasang alat pengukur tanda tanda vital dan EKG, dibantu oleh Bram dan dr. Aldi, mereka ikut menyimak penjelasan para Satpam. "Kami sedang patroli tambahan atas permintaan Pak Aditya dan dr. Alexander, saat itu kami sedang lewat pagar tanaman pembatas antara halaman gedung dengan jembatan penyebarangan, lalu kami mendengar jeritan, kami langsung menghampiri jeritan itu, tetapi ketika kami tiba pelakunya sudah lari menjauh, beberapa satpam masih mengejar, tetapi kami tidak melihat pelakunya karena terlalu gelap. Sedangkan wanita ini tergeletak dibawah pagar tanaman dengan kondisi seperti ini, sepertinya ditusuk beberapa kali. Kami tidak menemukan pisau." kata si satpam yang pertama kali membukakan pintu.

"Dok, tekanan darah rendah, 70/50mmhg, denyut nadi 120x/menit, lihat vena di lehernya dok, agak menyembul! nafas ya juga sesak" kata Raissa dengan nada cemas sambil memasang selang infus. dr. Deasy mengambil stetoskop dan mendengarkan detak jantung Liza dengan seksama. dr. Aldi masih memperhatikan gambaran EKG Liza. Lalu dr. Deasy dan dr. Aldi berpandangan, "tamponade jantung!" kata dr. Aldi, dr. Deasy mengangguk. "Raissa kita harus rujuk ke RS, kita tidak bisa tangani disini!" kata dr. Deasy. "Dok, sepertinya ada pneumothorax terbuka, ada udara yang keluar disini!" kata Mas Bram. "Bungkus dengan plastik wrap lukanya, ayo cepat! Aldi, tolong jaga disini sambil telepon dr Alex untuk cari penggantimu sementara aku ke RS, telpon kak Mira juga. Bram, boleh ikut kami ke RS? Pak Satpam, sepertinya kita harus telpon polisi! tapi coba lapor Pak Aditya dulu." kata dr Deasy memberi komando. Semua orang bergerak bersamaan tanpa menabrak satu dengan yang lain. Raissa masih sibuk kesana kemari, mengecek selang oksigen Liza, menambahkan oksigennya hingga 100 %, "Bertahan ya Liz, sesak sekali ya?" kata Raissa, Liza hanya merespon dengan nafas yang semakin sesak, "to..pi.. bi..ru.." kata Liza terputus-putus. Raissa ingin berteriak, tetapi ditahannya emosinya. "Baik, tenang.. konsentrasi ya, kita akan bawa kamu ke rumah sakit. Jangan khawatir, aku akan selalu menemanimu" kata Raissa menyemangati sahabatnya lalu mendorong Strecther yang ditempati Liza keluar menuju ambulans yang sudah menunggu. "Dok, tolong telpon Asya dan Peni, kabari RS yang kami tuju ya?" seru Raissa pada dr. Aldi. dr. Aldi mengacungkan jempolnya sambil terus menelpon. Setelah itu, Raissa, dr. Deasy dan mas Bram masuk ke ambulance dan duduk mengelilingi Liza. Kondisi Liza semakin menurun, dr. Deasy berkomunikasi dengan dokter UGD RS yang dituju sambil terus memperhatikan Liza. Suara sirene ambulance meraung-raung mengiringi nafas Liza yang semakin sesak, hingga disatu titik Liza tak sadarkan diri. Raissa langsung memasang alat bantu nafas sambil mengecek nadi Liza. Bram memegang tangan Liza memberi semangat. Tak lama kemudian mereka tiba di rumah sakit. Liza langsung dilarikan ke UGD, tak lama kemudian langsung dilarikan ke ruang operasi. "Aku tidak bisa menunggui Liza disini, tidak ada yang bisa menggantikan ku, dr. Aldi masih menunggu di klinik sampai aku kembali ke sana."kata dr. Deasy sambil memperhatikan chat yang masuk di ponselnya. "Dokter kembali duluan saja, nanti saya menyusul setelah mendapat kabar hasil operasi." kata Raissa. "Baiklah, pak Aditya, dr. Alex, Asya dan Peni katanya sedang menuju kemari. Keluarga Liza sedang dikabari oleh kak Mira." kata dr. Deasy wajahnya seperti ingin menangis. "Jangan menangis dok, nanti aku tidak kuat juga." kata Raissa yang matanya mulai berkaca-kaca. "Jangan menangis Sa, buat Liza harus kuat."kata dr. Deasy. "Aku juga akan menunggu disini." kata Mas Bram yang dari tadi matanya terpaku pada pintu ruang operasi. Raissa yang baru saja mendengar perasaan mas Bram pada Liza sebelum kejadian ini terjadi hanya bisa menepuk lengannya. Akhirnya dr. Deasy pergi dari sana meninggalkan Raissa dan mas menunggu di ruangan khusus penunggu di depan ruang operasi. Mereka berdua terdiam. Mas Bram merasa tidak percaya kejadian barusan terjadi. Kemejanya yang putih kini menjadi merah kecipratan darah Liza.

Sedangkan Raissa menyimpan berbagai macam gejolak emosi di dadanya mulai dari rasa bersalah hingga marah dan takut, membuat dadanya ikut sesak dan sakit. Berbagai macam skenario andai saja dan seharusnya begini dan begitu terlintas dibenaknya. Raissa tidak memperhatikan mas Bram sudah pindah berdiri di depan pintu ruang operasi sambil menunggu, juga tidak memperhatikan seseorang menghampirinya dan duduk disampingnya. "Raissa.." ucap orang itu yang kini meletakkan tangannya di bahu Raissa. Raissa menoleh kesamping dan melihat wajah Aditya. Wajah yang sangat dikagumi Liza, wajah yang membuat Liza menjadi kelu setiap kali melihatnya. Akankah Liza melihat wajah ini lagi? akankah Liza bercerita lagi kepada Raissa kalau Pak Aditya begini dan Pak Aditya begitu? Tanpa disadari air mata Raissa turun ke pipinya yang mulus seperti kulit bayi. "Seharusnya aku tidak membiarkannya pulang sendirian, seharusnya aku memesankan taksi online saja supaya Liza tidak lewat jembatan, seharusnya jam 7 tadi Liza pulang saja supaya tidak kemalaman. seharusnya..." tiba-tiba Raissa terisak-isak menangis di pelukan Aditya. "Ssssshhh.. tak apa-apa, keluarkan semuanya.. tapi ingat ini bukan salahmu!" kata Aditya lembut. Raissa semakin menangis. Asya, Peni dan Alex datang dengan langkah tergesa-gesa, langkah mereka terhenti ketika melihat Raissa menangis dalam pelukan Aditya. "Raissa, Liza.. Liza tidak.." kata Asya terbata-bata. Raissa melepaskan diri dari pelukan Aditya. "Masih di ruang operasi, tamponade jantung dan pneumothorax harus segera operasi." kata Raissa. "Aku akan kedalam mencari tahu kondisinya." kata Alex lalu masuk ke kamar operasi. Peni langsung memeluk Raissa, begitupun Asya. Aditya dan mas Bram hanya saling berpandangan memperhatikan tiga orang wanita dihadapan mereka.