Sekolah Menengah Atas Pelita Bangsa
Pukul tepat 14.00 siang, seluruh siswa salah satu sekolah swasta elit di Jakarta itu mulai membubarkan diri. Satu per satu kelas ditinggalkan oleh para siswanya, kecuali hanya satu kelas yang masih terdapat seorang siswa yang tengah duduk sambil membenamkan kepalanya di antara dua lipatan tangannya.
"Nes, kamu ga pulang?" tanya salah satu temannya melihat Agnes penasaran.
"Pulang ke mana? Aku ga punya rumah." Ucap Agnes kini mendongakkan kepalanya dengan mata bengkak melihat ke arah teman sebangkunya, Clarissa.
"Hhhh, pake kacamata kamu! Jelek banget muka kamu, tau ga." Ejek Clarissa mengambil kacamata dari kantong kecil tas Agnes.
"Aku ga mau pake! Biarkan aja, emang apa urusanny sama orang lain?!" Kalau perlu biar papiku tahu gimana putrinya menderita!" Agnes dengan kesalnya membenamkan lagi kepalanya.
Clarissa menggelengkan kepalanya. Ia dan Agnes telah bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Orang tua Agnes yang merupakan orang terkenal dan berpengaruh di kota ini wajar saja jika Agnes tumbuh menjadi gadis yang murung dan jarang memiliki teman, karena ia sama sekali tak bisa bersosialisasi dengan baik. Ibarat toko baju, Agnes adalah manekin yang siap dipasang baju apa pun, karena itu Clarissa selalu ada di sisinya.
"Mami kamu belum pulang Nes?" tanya Clarissa terus memperhatikan Agnes.
"Belum dan aku bertengkar dengan papi semalam."
"Kenapa lagi? Masalah yang sama? Papi kamu ga izinin kamu ke Paris?" tanya Clarissa menghela napas panjang.
"Kamu bosan, ya dengar ceritaku?" Agnes mengangkat kepalanya dan memainkan bibirnya.
"No comment! Tapi,kalo aku jadi papi kamu … aku mungkin akan melakukan hal yang sama,"' ucap Clarissa tanpa ragu.
"Kamu-!" Agnes langsung mendengus kesal, menarik tasnya kasar dan meninggalkan kelas tanpa membiarkan Clarissa memberikan penjelasan padanya.
'Hhh, lagi-lagi kaya gini,' gumam Clarissa menarik napas panjang segera menyusul Agnes.
"Benar-benar! Aku sama sekali tak menyangka jika Clarissa akan mengatakan hal itu padaku dengan percaya diri.
BUK!
"Aww!" Agnes terjatuh dengan cukup keras, sementara Clarissa yang melihat kejadian itu segera berlari menghampiri Agnes.
"E-eh, Agnes?" seorang murid laki-laki yang baru saja bertabrakan dengan Agnes segera membantunya berdiri.
"Kamu, ya Vin! Kalo jalan tuh pake mata, bukan dengkul!" Agnes sangat marah dan ketika Clarissa sudah hampir dekat, Agnes kembali berlari di depan halaman SMA swasta terbaik di Kota Jakarta itu.
"Nes! Agnes!" teriak Clarissa memanggilnya.
"Eh, si Agnes lagi kenapa, sih? Galak banget?" tanya Vino heran.
"Bukan urusan kamu! Minggir!" Clarissa mendorong tubuh Vino ke samping dengan kencang.
'Hhhh, dasar cewek! Ditanya baik-baik, malah marah-marah. Hiiii, serem, ah.
***
Lain Agnes, lain pula Claudio. Sang papa yang telah "memutus" secara sepihak sekolahnya, tak membuat Claudio putus asa dan menyerah untuk bisa keluar dari rumah. Meski seluruh rumah dipasang CCTV, namun bagi Claudio hal itu bukanlah masalah besar baginya. Seringnya ia menonton "Home Alone", membuat remaja ABG ini lihai dengan peng-hackeran.
Setelah mendapat mandat agar bersekolah di rumah, Claudio langsung mengunci kamarnya. Jhon segera menyambangi kamar Claudio dan menggedor pintunya berulang kali tanpa jeda. Panik dan khawatir, akhirnya John meminta satpam yang menjaga kediaman Regazka mendobrak pintu kamar Claudio dan ternyata ….
"Tuan Claudiooooo!"
Claudio diam-diam telah membuat dan menyiapkan sebuah tangga kayu yang yang tak terlalu tinggi, hampir sama dengan pagar tembok rumahnya. Dengan santai, Claudio memanjat pagar tersebut dan melanglang bebas tanpa pengawasan Jhon.
'Maaf, Paman. Tapi, untuk hari ini saja, aku minta tak ada yang mengikutiku.' Gumam Claudio melangkahkan kakinya menyusuri trotoar ibukota yang tengah padatnya.
"Hh, ke mana aku harus pergi ini? Aku sama sekali tak ada tujuan. Apa aku ke sana saja, ya?" Claudio segera memanjangkan langkahnya menyusuri Kota Jakarta yang panas dan hingar-bingar laju kendaraan.
Di sisi lain, Agnes yang masih kesal dengan ucapan Clarissa memilih untuk pergi ke tempat yang biasanya ia datangi kala suasana hatinya sedang terpuruk. Menahan tangis dan marah, Agnes kini berada di sebuah gedung besar, gaya bohemian warna putih dan sebuah plang alas biru tua dan tulisan warna putih bertuliskan "La Toule de Music Academy".
'Inilah rumahku, tempat di mana aku menemukan segala kesenangan, kesedihan, kebahagiaan bersama orang-orang yang memiliki impian yang sama sepertiku.'
Tanpa menunggu lama, Agnes melangkah masuk ke dalam gedung itu dan melihat seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam yang sama dengannya. Penasaran, Agnes melangkah lebih dekat untuk melihat pemilik wajah dari fisik tersebut. Sedikit ragu, dia menepuk punggung anak laki-laki itu, "Hai, kenapa ngintip-ngintip? Masuk aja kalau memang mau tanya-tanya."
Terkejut, ia langsung membalikkan badannya dan ….
"Kamu? K-kamu bukannya …." Agnes memiringkan kepalanya, berpikir sejenak.
Claudio terkejut melihat Agnes, gadis yang selama ini diam-diam disukainya menyapa dan berdiri di hadapannya. "H-halo." Claudio langsung menundukkan kepalanya.
Agnes ragu memanggil namanya, meski ia pernah melihat wajah tampan milik Claudio. "Kamu calon anggota baru, ya?" tanya Agnes ramah.
Claudio hanya diam dan langsung pergi tiba-tiba. Agnes ingin memanggilnya, namun karena ia ragu, niatnya diurungkan dan hanya melihat Claudio pergi sebelum ia tahu maksud kedatangannya.
"Lho, Claudio?" Agatha, guru musiknya terkejut melihat anak didiknya ada di akademi musik La Toule.
"N-Nona Agatha?" sapa Claudio, kejutnya.
"Sedang apa kau di sini?" Agatha melihat gedung La Tole de Music Academia sekilas.
"T-tidak ada apa-apa, Nona Agatha. Permisi." Claudio berlalu dari hadapan Agatha.
"Tunggu, Dio!" Agatha menghampiri Claudio yang berjalan belum jauh darinya. "Bagaimana matamu? Sudah sembuh?"
Claudio mengangguk. "'Permisi, Nona Agatha."
Wanita itu menarik napasnya panjang, merasa kasihan akan nasib Claudio yang tak bisa menentukan masa depannya sendiri karena terbentur kepentingan orang tuanya.
"Anda kenal dengan anak laki-laki tadi, Nona Agatha?" tanya Agnes yang ternyata masih berdiri di teras gedung akademi musik itu.
"Huum. Dia anak didik-ku. Anaknya pintar, namun agak tertutup." Sahut Agatha tersenyum ke arah Agnes. "Eh, seragamnya …"
"S-seragam Nona? Maksud Nona apa?" Agnes terheran melihat salah satu guru musiknya ini.
"Dia juga berasal dari sekolah yang sama seperti kamu, Nes. Pelita Bangsa."
"Oh, begitu. Iya, tadi saya juga melihat seragam yang dipakainya sama dengan saya dan sebenarnya saya juga kenal dengan dia, hanya saja saya sedikit ragu ingin menyapanya."
"Oh, begitu. Kapan-kapan nanti Miss kenalkan, ya. Sudah, masuk sana, Nona Odele pasti sudah menunggu kamu." Senyum Agatha.
"Hah, benar-benar! Hampir saja aku spot jantung. Agnes ternyata kursus di La Toule? Benar-benar …." Claudio mendongakkan kepalanya, menatap langit Jakarta yang sayup-sayup di balik rindang pepohonan di taman tengah kota.
"Apa aku benar-benar bisa masuk ke sana dan mencapai apa yang aku inginkan? Kenapa aku jadi tak yakin begini?" Claudio menghela napasnya dalam-dalam, merebahkan dirinya di atas kursi taman yang terbuat dari semen, menikmati ketenangan dan sepoi angin taman hingga tak sadar membuat matanya terpejam.
***
"Bagus! Kamu sudah mulai mahir memainkan biola, Agnes. Ibu harap kamu akan segera berlatih untuk memainkan alat musik lainnya, Ibu sarankan kamu untuk coba mempelajari piano klasik, seperti mami kamu." Jelas Odele merapikan kertas-kertas berisi paranada dengan tumpukan not-not balok warna hitam di atasnya.
"Pia … no klasik, Nona Odele?" Agnes mengerutkan keningnya, menundukkan kepalanya.
"Iya, kenapa, Nes? Bukannya kamu mau kaya mami, kan?"
Memalingkan wajahnya sambil merapikan biola coklat kesayangannya, Agnes menghela napas dan memandang lurus pintu warna putih di tempatnya berlatih.
"Saya memang ingin memainkannya, Nona. Tapi mungkin tidak untuk saat ini. Karena saya sudah terlanjur cinta dengan biola."
"Ah, itu bisa diatur, Nes. Ibu hanya menyampaikan apa yang dipesan oleh mami kamu. Beliau senang permainan biola kamu sudah banyak mengalami kemajuan. Tapi, mami kamu sangat menginginkan kamu menekuni piano klasik, untuk melanjutkan langkahnya. Begitulah pesan mami kamu, Nes."
"Hah, saya benar-benar tak mengerti mami. Sampai kapan dia akan puas? Bukankah saya sudah menuruti apa yang ia inginkan? Kenapa belum puas juga?" keluh Agnes menggelengkan kepalanya.
"Mungkin, jika kamu telah berhasil melampaui ekspektasi mami kamu, baru beliau akan puas, Nes."
***
Suara halus mobil Eropa metalik dengan simbol macan kumbang di depan berhenti di teras kediaman keluarga Regazka. Sang kepala keluarga, Daniel Sebastian Regazka dan Donna Sebastian Regazka turun dari kendaraan mewah tersebut yang disambut oleh Jhon Berry.
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Besar." Jhon membungkukkan setengah badannya.
"Hmm, apa Dio 'aman' selama kami tak ada?" tanya Sebastian melepas jas kantornya."
"Maaf, Tuan Besar. Dengan sangat menyesal saya ingin memberitahu jika Tuan Claudio … kabur dari rumah. Maafkan atas kelalaian saya, Tuan Besar." Jhon menundukkan kepala, ia tanpa gentar, ragu, dan takut mengatakan yang sebenarnya pada laki-laki yang terkenal temperamental itu.
"APA? KABUR DARI RUMAH? BAGAIMANA BISA? APA SAJA YANG KAU LAKUKAN HINGGA TAK BECUS MENGURUS SATU ANAK SAJA, JHON BERRY!" teriak Sebastian menunjuk-nunjuk wajah Jhon.
"Paman Jhon tak bersalah, Pa! Dio yang salah! Dio tak tahan dengan cara Papa memutus 'hidup' Dio!"'
"T-Tuan Muda?" Jhon terkejut Claudio berani masuk melalui pintu depan setelah ia mengatakan jika ia kabur dari rumah.
"Pa, sudahlah! Apa Papa tak lelah selalu marah-marah tiap kali sampai di rumah?" Mama berusaha menenangkan suami temperamen-nya itu.
"TAK BISA! AKU TAK AKAN PERNAH BISA TENANG SEBELUM MELIHAT ANAK INI BENAR-BENAR MENGIKUTI APA KEMAUAN KITA!"
"Kemauan kita? KEMAUAN PAPA!" kali ini Donna, sang istri tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya. "Dio, masuk kamar! Paman Jhon, temani Dio!" perintah Donna.
"Baik, Nyonya Besar."
Belum selangkah Dio melebarkan kakinya, seorang asisten rumah tangga keluarga Regazka lainnya menghampiri Daniel dan Donna seraya berkata, "Tuan, Tuan Adi Waksana telah tiba."
"Kita akan selesaikan nanti, Dio! Sekarang Papa mau kamu temui teman Papa! No debat!" Papa mengangkat telunjuknya dengan tegas.
Dio hanya memalingkan wajahnya kesal! Tangannya mengepal kencang menahan emosi yang membuncah hingga kepalanya.
"Sudah, Dio. Turuti saja keinginan papamu kali ini." Mama menepuk bahu sang putra.
"Selamat datang, Tuan Adi. Apa kabar? Lama kita tak berjumpa." Sebastian mengulurkan tangannya dengan hangat dan senyum lebar.
"Haha, sayalah yang seharusnya berkata demikian, Tuan Sebastian. Sungguh suatu kehormatan bisa diundang makan malam ke tempat Anda, meski Anda adalah orang yang sangat super sibuk." Pria dengan setelan tuksedo hitam itu, Adi Waksana menyambut uluran tangan Sebastian dengan hangat.
"Claudio, kemarilah. Papa ingin mengenalkanmu pada teman Papa." Sebastian menoleh ke arah sang putra dengan senyum penuh kepalsuan.
"Oh, jadi ini yang namanya Claudio, anak jenius yang sering dibicirakan oleh sang papa." Adi Waksana menoleh ke arah Sebastian.
'Apa kabar, Om. Saya Alfredo Claudio …." Dio terdiam. Sebastian dan Donna sedikit terkejut. "Regazka," sambung Claudio.
"Haha, benar-benar anak yang penuh dengan aura kejeniusan. Sayang anak Om tak bisa ikut datang ke sini. Nanti, jika dia sudah libur musim panas, Om akan menyuruhnya pulang ke Indonesia.
"Siapa nama anak Om?" tanya Dio sedikit penasaran.
"Bagas Aditya Waksana."