Chereads / Meurtre / Chapter 3 - Sepi Pagiku

Chapter 3 - Sepi Pagiku

Jika kuingat-ingat lagi, rasanya sejak aku bangun, gerimis memang sudah mulai turun. Hsshh, meski tak terlalu deras, tapi ini cukup dingin bagiku, mungkin karena masih pagi dan aku sedang tak mengenakan jaket sekarang. Kulihat jam dinding itu menunjukkan pukul 06.25 WIB, dua puluh lima menit berlalu sejak kerumunan tadi meramaikan stasiun. Seharusnya aku tak perlu datang pagi-pagi, masih ada waktu menghabiskan nasi kuning buatan Ibu dari pada duduk sendirian disini sekarang.

Makan Soto Gubeng sepertinya enak juga sekarang, sayangnya belum ada pelanggan yang mau disemir sepatunya dari tadi, kira-kira hari ini dapat uang berapa ya?. Sudahlah, lagi pula kenapa orang-orang tadi tak menghiraukanku? Mereka terlihat terburu-buru dan membicarakan soal liputan, ada yang membawa kamera juga tapi itu apa namanya? Jurnalis? Wartawan? Penulis Berita Koran? Entahlah, aku tak paham hal-hal begini. Yang pasti mereka sekarang sudah pergi, tinggal beberapa orang saja yang masih mondar-mandir di bangunan sebelah timur. Dari tadi juga banyak polisi yang berseliweran disini, tepatnya di jalur enam.

Saat garis kuning itu dipasang, aku pun bisa melihatnya dari sini. Tulisannya garis polisi kan? Aku bisa membaca meski tak bisa menulis, tak masalah bagiku. Ada yang berseragam oranye juga tadi, meski tak begitu jelas apa yang mereka lakukan di sana? Tapi aku paham kenapa mereka memasang garis itu di jalur enam. Aku ingin melupakannya, kemarin sangat menyeramkan. Kulihat masih ada empat polisi di tengah rel, satu orang berkemeja putih itu sepertinya juga polisi, berarti ada lima ya?. Lagi pula kenapa orang berkemeja putih itu hujan-hujanan? Apa dia lupa tak membawa mantel.

"Indra."

"Eh!"

Kenapa tiba-tiba sekali, kukira siapa? Ternyata Pak Ridwan. Kulihat ia mulai berjongkok duduk di sampingku, tepat di antara lantai pembatas rel ini, aku tak tahu apa namanya?.

"Ada apa, Pak?" tanyaku basa-basi.

"Tumben pagi-pagi sudah kesini? Mau lihat Pak Polisi, ya?" ucapnya sembari melempar senyum padaku.

"Enggak, Pak, tadi tetangga-tetangga saya bilang stasiun lagi rame sekarang ya sudah saya kesini, ya rame sih, tapi enggak ada yang mau disemir," jelasku mengingat bagaimana aku bisa kesini.

"Oh, hahaha, jadi yang bikin wartawan-wartawan kabur tadi itu kamu ya? Bapak pikir kenapa mereka kok agak jengkel? Pasti kamu tawari nyemir sepatu," balasnya yang malah tertawa.

Bukannya harusnya begitu ya biar bisa makan? Mumpung rame kan? Seharusnya tadi seribu dikali banyak orang yang mampir itu, aku sudah bisa pulang pagi sekarang.

"Pastinya mereka enggak mau kalau ditawari nyemir sekarang, Ndra, kan harus kerja, liat tuh, Pak Polisinya juga masih kerja, tapi tadi termasuk rame sih yang datang, aktivitas stasiun juga sempat keganggu sebentar," lanjutnya lagi.

Aku hanya tersenyum membalasnya, aku tak tahu harus apa? Mungkin nanti aku juga bakal dapat pelanggan kalau polisi-polisi ini pergi. Dinginnya angin sepertinya sengaja mengenaiku, kulihat Polisi-Polisi itu pun menyingkir dari jalur enam saat rintik gerimis mulai agak lebat. Apa kepala, eh! Apa itunya masih ada di sana ya? Atau malah di ambil polisi?.

Tapp...Tapp...Tapp...

Tunggu dulu? Suara sepatu dari samping Pak Ridwan?. Kucoba menoleh, melihat siapa yang datang?.

"Oh, Tuhan, ini buruk!" batinku mendapati siapa sosok itu.

Bagaimana aku bisa lupa? Mungkin aku tanpa sadar sudah melotot tadi, kulihat orang ini dengan santai mengepulkan asap rokoknya sembari berjalan mendekati kami. Kemeja hitamnya agak basah di bagian pundak, bulir air itu juga menetes dari rambutnya yang lebat, mungkin ia menerjang gerimis untuk sampai kesini. Pakaiannya masih sama seperti kemarin, sial! Itu orang kemarin sore.

Segera kupalingkan pandanganku ke depan, ia semakin dekat! Aku harus tenang, kalau bisa jangan sampai gugup!. Untungnya ada Pak Ridwan di sampingku, agak lega rasanya saat orang ini berhenti tepat di belakangku.

"Pagi," sapanya singkat sembari mengepulkan asapnya ke udara.

Sesekali aku meliriknya, mata di balik kacamata hitam itu seperti menatap Pak Ridwan dengan serius. Apa dia akan menembak Pak Satpam ini sekarang? Sial! Seharusnya aku lari.

"Oh, Pagi juga," sapa Pak Ridwan, sepertinya ia juga heran dengan kedatangan orang ini.

"Di luar sana orang-orang bercerita ada kejadian disini? Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya santai membuka percakapan.

Kulihat ia melempar pandangan memandangi jalur enam yang masih di pasangi garis kuning. Sebenarnya apa yang akan ia lakukan? Gerak-geriknya sama sekali tak bisa kutebak.

"Oh, anu, sebenarnya... ada penemuan kepala manusia di sekitar sana, kebetulan saya yang menemukannya kemarin malam, jam sembilan malam kemarin juga sudah dilakukan olah TKP dan sekarang agaknya masih dalam penyelidikan lebih lanjut," jawab Pak Ridwan menjelaskan.

"Itu jalur enam? Kapan Anda menemukannya?" tanyanya lagi, tak luput asap-asap itu berhamburan kala ia hembuskan.

"Ya, itu jalur enam, saya menemukannya di sana sekitar jam tujuh malam," balas Pak Ridwan.

"Tujuh malam? Lagi pula itu di antara rel, tak ada yang tahu ada kepala tergeletak di sana karena memang malam hari, tapi... kenapa hanya kepalanya saja? Ini stasiun, pagi dan malam tak luput dari pengunjung, apa seseorang akan dengan mencolok masuk kesini dan membuang potongan kepala itu di sana jika ia pelaku mutilasi? terlalu mencurigakan! Menurut Anda di mana bagian tubuhnya yang lain? Tunggu saja dan itu akan menghampiri kita disini," jelasnya panjang lebar sembari bertanya pada Pak Ridwan.

Agak bengong Pak Ridwan mendengar penjelasan orang ini, firasatku semakin tak enak kala ia kembali menatapku. Secepat mungkin kualihkan pandanganku ke bawah dan bermain-main dengan sandalku sekedar mengalihkan rasa canggungku. Dapat kudengar nada keheranan dari Pak Ridwan yang tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.

"Apa maksudnya? Memangnya apa potongan tubuhnya ada di sini? Jangan ngawur,"

"Bukan di sini, tapi sedang berjalan-jalan, begini, apa kemarin pukul 16.50 WIB ada kereta berhenti?" kudengar orang ini kembali bertanya, aku hanya menguping pembicaraan mereka dan terus memainkan sandalku.

"Seingat saya pukul 16.30 WIB memang ada kereta berhenti, Kereta Turangga 77," jawab Pak Ridwan yang mencoba mengingat-ingat.

"Dapat! Mumpung masih ada polisi, periksalah kereta itu jika sudah kembali ke stasiun," balasnya sembari menghembuskan kepulan terakhirnya, sial! Sedari tadi aku menahan bau asap rokok.

"Apa sekarang waktunya bercanda? Sudah kubilang jangan ngawur," sergah Pak Ridwan.

"Sebenarnya itu hak Anda, Pak Satpam," sahutnya enteng, apa ia tak menghormati orang yang lebih tua? Nada bicaranya terdengar tak sopan.

Entah apa yang dipikirkan Pak Ridwan? Kulirik dirinya, beberapa kali ia mengedipkan mata, apa ia sedang gelisah? Hei! Kenapa ia mulai berdiri? Jangan-jangan?.

"Baiklah, akan coba kuperiksa sekarang dan kuharap perkataanmu bisa dipertanggung jawab kan, kereta itu akan kembali kesini sepuluh menit lagi, tepat jam tujuh pagi," ucapnya seraya berbalik badan sesaat setelah menatap sosok serba hitam ini lekat-lekat.

Perlahan kakinya mulai melangkah, benar saja! Ia meninggalkanku dengan orang ini sekarang! Apa yang harus kulakukan? Pagi sepi tanpa pelanggan ini sudah cukup membuatku termenung, kenapa aku harus bertemu dan malah bersama orang ini sekarang? Lebih baik aku segera lari dari pada terus-terusan di sini.

"Bagaimana menurutmu? Ia menemukan potongan kepala itu jam tujuh malam dan pagi ini ia sudah kembali bekerja, lalu bagaimana dengan pembagian jadwal kerja?" tanyanya yang tak kuhiraukan.

Clapp...

Bola mataku seakan otomatis melirik ke tangan dinginnya kala ia menyentuh pundakku, tentu cincin putih bertulis "Malsain" dijari telunjuknya juga terlihat olehku. Ayolah, lepaskan dan biarkan aku pergi sekarang! Aku akan berlari ke kerumunan polisi itu jika kau menembakku. Andai saja aku punya cukup keberanian, aku pasti sudah menghajarnya. Apa memang berdiam diri sekarang adalah hal yang pantas kulakukan saat ini? Tak adakah hap lain yang bisa kulakukan? Haahhh.

Eh? Kenapa? Segera kucoba menoleh ke belakang. Ah, benar, dugaanku tak salah! Memang pegangannya sama sekali tak terasa. Aku bahkan tak sempat menyadari kapan ia melepaskan pegangannya di pundakku? Mungkin pikiranku sedang ramai sekarang. Ternyata dia sudah pergi meninggalkanku duluan, tapi kenapa? Mau ke mana dia?. Kejadian-kejadian kemarin sore juga begitu tiba-tiba bagiku, noda darah di pundakku, lamat-lamat aku mengingatnya kembali. Benar-benar sore yang menakutkan, lagi pula siapa sebenarnya orang ini? Tiba-tiba ia menghampiriku begitu saja kemarin sore. Ah, sudahlah, kulihat gerimis mulai mereda, mungkin ia akan pulang. Dari kejauhan, kuamati sosoknya yang serba hitam semakin jauh meninggalkanku, suara langkahnya tak lagi terdengar saat dirinya keluar dari bangunan lama ini. Sepi, tanpa pelanggan dan tinggallah aku yang masih terduduk sendiri. Aku harap hawa dingin ini juga segera pergi, aku akan kembali bekerja setelah ini.