Chereads / Meurtre / Chapter 8 - Terkait Korban

Chapter 8 - Terkait Korban

"Siapa bocah ini? Kenalanmu?" tanya Cuatro membuka percakapan.

Perlahan sedan hitamnya mulai menepi, berbelok mobil itu memasuki sebuah gang yang entah berada di mana posisinya sekarang? Namun, sepertinya keberadaan mereka sudah jauh dari kerumunan yang mengejar Indra beberapa saat yang lalu.

"Dia yang sempat berbicara dengan mayat," jawab Si Pemuda sembari memerhatikan jam tangan rekannya, masih pukul 10.10 WIB pagi.

Rasanya bukanlah hal yang terlalu mengejutkan, tapi Cuatro pun lantas berpaling seraya bertanya pada Sang Bocah.

"Korban pembunuhan itu? Hmmm, lalu kenapa orang-orang tadi mengejarmu, Nak? Apa kau cari masalah dengan Triad? Itu keren,"

"Tidak! Tiba-tiba mereka mengejarku, kalian berdua ini siapa? Kenapa menculikku? Jangan-jangan orang-orang tadi masih...."

CLAK!

Belum sempat Indra puas bertanya, mobil itu berhenti bersamaan sebuah selongsong hitam yang dengan cepat membidik kepalanya dari kursi depan. Bahkan Si Penodong sama sekali tak perlu menoleh ke arahnya, ujung Colt 1911 yang diarahkan padanya sontak membuat sosok kecil ini terdiam tanpa banyak bicara lagi, tentu ia ingat bagaimana pemuda ini membunuh salah satu dari kerumunan tadi begitu mudahnya. Menggerogoti relungnya perlahan, mungkin seperti itulah ketakutan yang mulai tumbuh dalam diri Indra kecil menyadari nyawanya tak ada harganya bagi sosok di hadapannya saat ini.

"Tenanglah, Nak, orang ini sudah terbiasa, kau tak kan merasakan sakit," ucap Cuatro yang dengan enteng tersenyum ramah.

"Katakan! Apa yang kau bawa? Sejak bercak darah di pundakmu kemarin sore, aku tak ingin menebaknya, tapi rasanya kau memang sudah terlibat sekarang," ucap Si Pemuda seraya perlahan menoleh pada Sang Bocah.

Tak begitu garang, hanya saja terkesan serius nada bicaranya. entah pandangan macam apa yang berada dibalik kacamata hitam itu? Rasanya sama sekali tak ada keraguan dalam setiap gelagatnya, itu diperjelas dengan tangannya yang semakin mendekatkan moncong senjatanya pada Sang Bocah. Semakin mundur sosok kecil ini merasakan ujung yang dingin menempel tepat di dahinya, sayangnya ia tak begitu leluasa karena kursi penumpang terasa mengimpit tubuhnya setiap kali ia mundur.

"Serahkan, dan kau kujamin aman," lanjut Si Pemuda dengan telunjuknya yang perlahan menarik pelatuk senjatanya.

"Jangan...." pinta Indra lirih.

Semakin terpejam matanya, gemetar tangannya yang tak bisa disembunyikan cukup membuktikan jika dirinya memang tak berkutik dalam keadaan ini. Perlahan tangan kecilnya pun mulai meraba saku celana, lipatan kertas itu di genggamnya dengan masih menahan gemetar tangan yang coba ia tahan. Baru saja Indra menyodorkan tangannya ke depan...

SRAAAKKK!

Dengan cepat Si Pemuda lantas merebut lipatan kertas tersebut.

"Sebenarnya pistol ini kosong, jika kau terlibat dengan salah satu kelompok itu pastinya kau tak takut mati atau setidaknya kau punya topik pengalihan," ucap Si Pemuda yang dengan entengnya membuka lipatan kertas tersebut.

"Hahaha, kau jadi penipu nakal sekarang," sahut Cuatro sembari tertawa-tawa menutupi wajahnya.

Terperangah Sang Bocah menyadari apa yang baru saja terjadi dengannya, itu bisa dilihat dari matanya yang menatap keheranan diikuti mulutnya yang menganga kecil. Meski merasa tertipu, tetap saja ia tak punya kuasa di depan dua orang asing ini, mencoba kabur pun rasanya mustahil jika mobil ini malah mengejarnya. Rasanya memang tak ada pilihan lain, selain berdiam diri mengikuti alur yang akan terjadi.

"Tapi kenapa kau bisa tahu bocah ini membawa sesuatu?" selidik Cuatro penasaran.

Masih dengan mata yang sama sekali tak berpaling dari selembar kertas yang dibacanya, Si Pemuda lantas menjelaskan.

"Melihat gerombolan tadi mengejarnya sudah cukup menegaskan jika ada sesuatu yang mereka inginkan, kenapa repot-repot mengejar? Tentu ada sesuatu yang mereka cari ada pada bocah ini, belum lagi mengingat pertemuannya dengan korban sore itu, serta koper korban yang hilang pada saat pembunuhannya, aku yakin setelah Triad tak menemukan sesuatu pada koper korban, mereka menduga apa yang mereka cari sudah berpindah tangan, dan satu-satunya orang yang berada di sekitar korban pada sore itu adalah bocah ini!"

"Oh, begitu, memang apa isinya? Resep Black Tar yang dicari Bos?" tanya Cuatro seraya curi-curi pandang pada kertas tersebut.

"Sayangnya bukan, lihatlah!" perintah Si Pemuda sembari menyerahkan lembaran tersebut pada rekannya.

Merasa penasaran, tanpa basa-basi Cuatro pun menerimanya. Baru saja tangan itu meraihnya, dengan cepat pria ini langsung membaca empat baris kalimat yang tercantum. Sayangnya, malah dengusan kecil yang keluar darinya setelah selesai membaca lembaran tersebut.

"Apa ini pantun? Apa Tom menang anggota Triad? Giro tiga puluh juta?" gumam Cuatro yang bertanya-tanya keheranan.

"Siapa yang menyuruhmu membaca cepat? Sebelum itu aku ingin kalian berdua menyadari sesuatu terkait kematian korban pada sore hari kemarin, isi dalam lembaran ini hanya mewakili setengah dari kebenarannya," sahut Si Pemuda seolah sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Kembali tangan itu merenggut lembaran yang masih di genggam Cuatro, masih sempat pula sosok ini menoleh ke belakang, sekilas mengawasi Indra yang duduk terdiam. Tentu ia menyadari, bagaimana setiap gerak-geriknya diperhatikan sosok kecil ini? Tapi sepertinya itu bukan masalah baginya. Sejenak ia diam seolah kembali merangkai setiap urutan peristiwa dalam pikirannya, berbagai hal pun mulai mencuat bermunculan menjadi dasar dari bahan dugaannya. Diikuti tangannya yang keluar dari saku kemeja, sebuah korek yang baru saja ia ambil lantas digenggam seraya berkata.

"Alasan sebenarnya Bagus Subrata memberikan lembaran ini adalah, ia belum sempat membacanya, aku punya beberapa pertimbangan dalam kepalaku, namun tetap saja hasil akhirnya mengarahkanku pada dugaan itu, kenapa orang yang terluka masih ingin meneruskan perjalanannya? Kenapa tak segera lari meminta pertolongan saat penyerangan pertamanya di luar stasiun? Kenapa malah bersembunyi di kamar mandi kereta? Ini menggelikan, pria yang terluka sedang memercayakan kunci pada seorang bocah."

Sejenak ia berhenti seirama bara-bara api yang terpercik kecil dari kertas yang ia bakar. Masih ia pegang ujungnya yang semakin habis menghangus seolah kertas tersebut sudah bukan hal penting baginya. Kedua orang di sampingnya hanya bisa memerhatikan sembari menyimak perkataannya, meski Sang Bocah juga bertanya-tanya, apa yang dikatakan pemuda ini merupakan suatu kebenaran? Bukankah pagi tadi ia sudah menipu di stasiun? Tapi bagaimana jika yang dikatakannya ini benar?.

"Dari mana... dari mana aku bisa percaya cerita barusan?" tanya Indra yang memberanikan diri membuka suara.

"Kau tuli? Berpikirlah dari segala faktor yang bisa dipertimbangkan! Caranya dihabisi dalam kereta, penyerangan di luar stasiun, suar yang di tembakkan, dua kelompok yang mengejarnya, dalam ketidaksiapan... ah, sudahlah! Kau memang masih bocah, lihat? Kertas ini sudah kubakar, kau akan aman untuk sementara waktu," jawab Si Pemuda mencoba mengatur perkataannya yang sempat menegang.

"Ini namanya penyelidikan, Nak, kau tahu? Kami bahkan sempat ke rumah korban," sahut Cuatro menimpali perkataan rekannya.

"Penyelidikan? Itu seperti tak asing? Memangnya kalian polisi?" kembali bertanya Indra dengan nada meragukan.

"Hahaha, yang benar saja, Nak! Kami unit khusus dari-"

"Hentikan omong kosong kalian,"

Belum sempat Cuatro melanjutkan kata-katanya, pelan nada bicara dari Si Pemuda menjadi sebuah tamparan baginya, mungkin juga sebuah rem bagi Indra kecil yang mulai terbawa suasana.

"Responsnya di kamar mandi saat itu, sebisa mungkin meredakan pendarahan dari luka yang diterimanya dan ia akan turun dengan nekat di Stasiun berikutnya, bukan sekedar menjauh dari mara bahaya serta berobat di pemberhentian selanjutnya, namun ia akan kembali menemui bocah yang membawa lembaran itu sekali lagi, mengingat ia belum sempat membacanya, lagi pula menitipkan lembaran ini pada satu-satunya penyemir sepatu di Stasiun Gubeng, tentu bukan hal yang sulit untuk dicari keberadaannya," ucap Si Pemuda panjang lebar mengeluarkan isi kepalanya.

"Um? Baiklah jika itu dugaanmu, tapi apa isi kertas itu memang berhubungan dengan apa yang kita cari saat ini?" tanya Cuatro mencoba memastikan.

"Mungkin ... kalimat Pramugara Britania yang tertulis di dalamnya mengingatkanku akan sedikit Budaya Britania, Marshall, bisa berarti pelayan kuda atau pun pramugara," jawab Si Pemuda dengan santai.

"Marshall? Pramugara Britania, apa mungkin Marshall Britania? Hei! Itu seperti nama pembuat monumen mesin uap di Stasiun Yogyakarta," sahut Cuatro seraya mengelus pelan dagunya.

"Untuk orang yang lemot kau cukup mengesankan, bisa jadi tujuannya memang Stasiun Tugu berhubung ia sedang naik kereta, lalu kalimat bawakan giro-"

"Memangnya simpanan tiga puluh juta itu akan ia bawakan pada siapa? Sekelas Triad mengeluarkan tiga puluh juta? Ayolah-"

"Diamlah sebentar brengsek, aku berpikir jika kalimat giro tiga puluh juta itu bermaksud sangat jelas, terang-terangan ia menulis "bawakan giro" tanpa menyebut siapa penerimanya, bukan? Tapi, bagaimana jika "giro" adalah nama orang? Entah ada masalah apa dibalik ini? Namun, tiga puluh juta adalah jumlah yang harus ia bawakan pada Giro."

Di tengah saling potong argumen yang terjadi barusan, masih terfokus sepasang mata itu pada perbincangan kedua orang di depannya. Mau tak mau dirinya pun mencoba mengingat-ingat kembali, apa yang tertulis pada lembaran kertas yang sempat dibawanya? Sembari menyimak, tak luput sosok kecil ini memaksa akalnya untuk mencerna setiap perkataan dari Si Pemuda serba hitam. Setidaknya ia sudah berusaha memahami.

"Lalu kalimat "kembali ke Surabaya"... Hmm? Apa memang kepergian Bagus Subrata ini semacam pergi untuk kembali? Dari Surabaya ke Jogja, lalu pulang ke Surabaya lagi, dan kepergiannya hanya untuk menemui seseorang? Sial, aku mulai tak paham apa yang sebenarnya terjadi," ucap Cuatro yang merasa payah akan tebakannya.

"Bodoh! Itu sudah benar, akhir kalimat bertulis "Haknya ada di titik temu Tugu Pahlawan" itu juga menarik, meski aku tak tahu apa artinya titik temu? Tapi aku yakin jika yang dimaksud pemilik dari hak ini adalah orang yang akan ditemui Bagus Subrata.

"Menurutmu hak macam apa itu?" selidik Cuatro penasaran, mulai tangannya menyalakan mobilnya yang sedari tadi berhenti.

CCCKKKKKRRRRKKKK!

Terdiam sejenak Si Pemuda seraya mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejanya. Di sulutnya rokok itu terkesan dirinya sedang mengulur waktu untuk berpikir, tapi memang beginilah adanya sekarang. Sementara sosok kecil yang terduduk di kursi belakang tampak masih setia menguping setiap pembicaraan mereka lekat-lekat. Tentu terlihat juga di pelupuk matanya kala kepulan tipis yang dihembuskan Si Pemuda berhamburan memenuhi area depan kursi penumpang. Angannya menerka-nerka apa yang sebenarnya kedua orang ini lakukan?.

"Hak? Mungkin suatu wewenang atau kepunyaan dari sosok bernama Giro ini, kalimat "Titik Temu" itu seolah menyiratkan hanya Tom dan Giro yang tahu maknanya, Bagus Subrata hanya orang yang mengetok pintu sambil menyampaikan salam, entah kenapa aku merasa memang ada sebuah kesepakatan sebelumnya, kesepakatan keduanya terkait kerja sama Black Tar, mungkin hanya ini dugaanku sementara," jelas Si Pemuda yang dengan perlahan membuka kaca samping mobil.

Kembali ia hembuskan, dipandanginya semerbak asap yang kian musnah berhamburan keluar dari dalam mobil, sementara Indra sama sekali tak mengerti apa maksud Black Tar yang baru saja ia dengar?. Hanya saja, Sang Bocah mulai menduga jika itu adalah sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin saja sedang dicari-cari gerombolan yang sempat mengejarnya beberapa saat yang lalu. Bisa ia rasakan juga kala roda mobil mulai bergerak perlahan dari tempatnya, rasanya ia tak terlalu memusingkan akan ke mana mobil ini membawanya pergi sekarang?. Di satu sisi instingnya tak sungkan berkata jika dirinya sedang terlibat dalam pertikaian suatu golongan yang entah apa? Melihat kedua orang di depannya yang tiba-tiba menculik serta menyodorkan pembahasan serius cukup untuk membuatnya yakin, jika dirinya memang berada dalam posisi demikian.