"Dan kenapa aku harus percaya padamu? Jangan mengacau, kau tak tahu apa yang sedang kau lakukan!" bentak pria berkemeja putih ini pada sosok serba hitam yang bersikap santai di depannya.
Jelas polisi berkemeja putih ini sedang geram, tapi dia ini polisi atau bukan? Kenapa pakaiannya seperti itu, dasi merah?. Sudahlah ada yang lebih penting dari itu, kukira tadi memang waktuku untuk merasa lega. Sejak ia tak terlihat lagi rasanya benar-benar tenang, maksudku orang yang berpakaian serba hitam ini, beberapa saat setelah ia keluar stasiun, aku akhirnya mendapat satu pelanggan yang berkenan kusemir sepatunya. Setelah selesai menyemir ia lantas pergi sembari memberiku upah, saat itulah aku tersadar, ada sesuatu dalam kotak perkakasku tepat saat aku hendak memasukkan sandal. Entah sejak kapan benda ini berada di dalam kotakku? Seingatku sejak kemarin sore, rasa-rasanya aku memang belum membukanya sama sekali.
Ada yang aneh pada lembaran kertas yang terlipat ini, sebuah bercak? Baru saja ingin kusentuh dan memeriksanya. Derap langkah yang tak asing itu terdengar lagi, dan saat aku menoleh ke asal suara ini, dugaanku tak meleset, orang ini benar-benar kembali ke stasiun!. Melihat siapa yang datang cukup bagiku untuk menjauh dan menjaga jarak dengannya. Mungkin itu memang bukan saat yang tepat untuk memeriksa lembaran ini. Hanya saja, saat aku menjauh darinya, kulihat ia malah mendatangi kerumunan polisi dan beberapa orang yang baru saja keluar dari dalam kereta. Awalnya aku tak begitu peduli, tapi apa yang akan dia lakukan di jalur enam? Karena penasaran dengan gelagatnya, tak berselang lama kudatangi ia yang berada di bangunan timur dan inilah yang terjadi sekarang. Meski aku tak tahu apa yang mereka bicarakan sebelumnya? Tapi bisa kupastikan mereka terlibat cekcok sekarang, segenap kru kereta yang berada tak begitu jauh dari mereka pun tampak tegang memperhatikan pertikaian ini.
"Apanya yang kenapa? Bukankah sudah jelas?"
Pernyataan orang ini membuatku heran, apanya yang jelas? Apa tentang kereta ini? Dari tadi aku sejak kereta ini berhenti, aku memang tak begitu memerhatikannya, yang aku tahu beberapa polisi masuk ke dalamnya, atau jangan-jangan?. Apa? Tunggu dulu! Orang berkemeja hitam ini tiba-tiba ingin memasuki kereta.
"Hentikan, kau bisa merusak TKP!" kembali polisi berkemeja putih ini membentaknya, bisa kulihat bagaimana ia menarik paksa pundak orang yang mencurigakan ini.
"Pergilah, tak cukupkah kau melihatnya sekali? Setelah ini akan ada petugas Inafis yang akan datang, jangan mengacau" lanjut Si Polisi.
Apa kereta ini yang sempat ia bicarakan dengan Pak Ridwan? Pelanggan terakhirku di sore itu, jangan-jangan apa yang di katakannya itu benar jika tubuh Bapak itu berada di dalam sana? Tapi aku memang sempat melihatnya masuk kereta sore itu. Dan kenapa sosok berkemeja hitam ini bersikeras ingin masuk? Kondektur dan masinis kereta yang memerhatikannya pun dibuat heran.
"Dengarkan sejenak, selanjutnya terserah Anda, perhatikan lagi tirai yang sempat ia tutup maka Anda akan temukan sesuatu, itu sudah cukup meyakinkanku jika sebelum penumpang ini duduk di kursinya, ia sudah terluka sebelumnya dan itu diperkuat dengan kesaksian Si Masinis yang sempat melihat korban menyeberangi rel dari bangunan bagian barat, kenapa ia berada di sana? Padahal kereta berhenti di jalur enam dekat bangunan timur, tentu ia sedang menghindar dari seseorang yang sempat melukainya," jelas sosok serba hitam ini yang sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari gerbong tiga.
"Sudah kubilang! Kenapa aku harus percaya padamu?" bentak polisi ini agak keras.
Rasanya aku pun tak percaya jika bapak itu sudah terluka sebelum menaiki kereta, ia masih sempat menyemir sepatunya padaku. Apa-apaan dugaannya ini? Siapa yang melukainya?.
"Jangan percaya padaku, percayalah dengan fakta di hadapan Anda, lalu terkait jasadnya yang tergeletak di kamar mandi, tembok sebelah kanan dalam ruangan penuh cipratan darah tapi kenapa jasadnya berada di sebelah kiri? Aku yakin Anda juga berpikir kalau pelaku memindah jasadnya, tapi kenapa? Ada sesuatu yang dicari oleh pelaku dan koper korban yang hilang turut menguatkan dugaanku," jelas Si Pemuda sembari mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, sontak ia melemparkan itu pada polisi di hadapannya.
Raut wajah beberapa polisi itu tampak berubah setelah mengecek sesuatu yang orang ini lemparkan, apa itu? Persegi kecil berwarna merah atau semacam kalung?. Kulihat pria berkemeja putih itu lantas mengembalikan benda tersebut sembari mengajak orang ini agak menjauh dari kerumunan.
"Apa yang kau lakukan di sini? Jika pelaku memang mencari sesuatu yang dibawa korban, benda macam apa itu? Apa kau akan menulis ini?" tanya Pak Polisi yang masih bisa kudengar suaranya meski terkesan pelan.
Sebuah senyum mengembang, bukan senyum yang ramah, entah apa maksudnya? Aku hanya menyimak apa yang dikatakan sosok serba hitam ini seraya berpura-pura mendekati kedua orang tersebut. Sepertinya, ia berusaha mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada pelanggan terakhirku.
"Untuk lebih lanjut Anda bisa bertemu denganku di Hotel Sahid, terkait sesuatu apa yang dicari pelaku belum bisa kusimpulkan, tapi apa Anda terpikirkan sesuatu? Kenapa kepalanya dilempar keluar kereta? Sengaja menunjukkan pada kita atau pelaku sedang menunjukkan jika targetnya sudah dihabisi pada pihak lain, pada rekannya?" bertanya orang ini dengan tersenyum aneh.
"Tunggu dulu! Rekan? sesuatu yang pelaku cari? Kau juga bilang korban sebelum menaiki kereta ini sudah terluka, terkesan korban memang diintai dan diikuti, ini seolah pembunuhan berencana? Yang benar saja," sahut polisi ini seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Apa aku terlihat seperti sedang bercanda? Ada beberapa dugaan yang membuatku yakin jika pembunuhan ini direncanakan, ya, itu seperti yang Anda katakan bila korban diikuti dan mereka seolah tahu korban akan naik kereta ini, dari mana anggapanku itu? Jawabannya ada pada sinyal asap," balasnya sembari mengarahkan satu jarinya ke atas.
Sama seperti polisi ini yang kebingungan, aku pun tak paham apa maksud pernyataan sosok serba hitam ini? Apa itu sinyal asap? Yang dikatakannya semakin runyam untuk dipahami. Melihat lawan bicaranya terdiam bingung, orang ini kembali melanjutkan kata-katanya dan tentu saja, kusimak baik-baik.
"Bisa kulihat langit sore itu dari Hotel Sahid, saat aku bertanya pada Satpam Stasiun, apa ada kereta yang berhenti? Ia menjawab sekitar setengah lima sore, dan beberapa menit saat itu juga, seingatku suar di tembakkan dari arah timur dan merah itu memenuhi langit selaras dengan cahaya senja, aku bertanya-tanya kenapa waktunya pas? Apa sinyal itu memang sebagai penanda eksekusi dimulai? Bukankah Si Masinis bilang jika ia sempat melihat korban menyeberangi rel saat kereta masih berhenti? Ini semakin tampak seperti sesuatu yang direncanakan."
Merah? Astaga, merah itu! Apa yang kulihat sore itu bukan cahaya matahari? Apa itu suar? Sinyal?. Kenapa pelanggan terakhirku diikuti orang yang ingin mencelakainya? Ia orang baik menurutku, aku sempat berbincang sebentar dengannya. Ah, Sial, aku malah mengumpat. Jangan-jangan jaket hitam yang ia kenakan saat itu memang dipakai menutupi tubuhnya yang terluka, dan lembaran ini! Iya! Aku ingat saat itu ia memasukkan sandal ke kotakku, jangan-jangan saat itu ia memasukkan lembaran kertas ini?.
Tapp...Tapp...Tapp...
Eh? Tunggu, kenapa mereka berpisah? Aku bahkan tak menyadarinya karena melamun. Jam dinding menunjukkan pukul 07.30 WIB, bertepatan dengan orang-orang berpakaian oranye yang tiba-tiba berdatangan mendekati kereta yang berhenti tersebut, tampak polisi berkemeja putih itu juga menuju ke arah mereka. Orang tadi? Oh, itu dia, kenapa dia mengambil arah yang berbeda? Sepertinya ia akan keluar dari stasiun ini.
Mungkin dia tahu sesuatu tentang pembunuhan ini, aku akan memberanikan diri bertanya padanya. Lembaran di kotak perkakasku juga akan kutanyakan. Entah kenapa kakiku sangat enteng sekarang? Aku bahkan menyusulnya sambil berlari. Untungnya ia sedang berjalan pelan.
"Tunggu...." pintaku lirih.
Ia menoleh, segera kusiapkan mentalku seraya menarik kemejanya dan bertanya.
"Apa yang kakak tahu tentang bapak itu?"
"Maksudmu korban itu? Bukannya sudah jelas? Ia korban pembunuhan berencana," balasnya padaku.
Rasanya aku tak takut lagi padanya sekarang, aku bisa berbicara dengannya.
"Tapi kenapa? Apa kakak tahu tentang lembaran kertas itu juga? Aku lihat tadi polisi-polisi itu agak berubah sejak menerima sesuatu dari kakak," sahutku teringat perubahan sikap polisi tadi.
"Hm? Maksudmu ini?" tanyanya sembari menunjukkan benda itu padaku.
Ini seperti kalung dengan gandul persegi warna merah, fotonya juga terpampang disini, terdapat juga sebuah tanda tangan di bagian belakangnya. Tapi apa arti tulisan "PERS" di kalung ini?.
"Kau percaya? Sebenarnya ini palsu, sangat konyol jika aku seorang jurnalis dan ingin menulis berita terkait pembunuhan ini."
Eh? Apa yang dikatakannya barusan? Sejenak kualihkan pandanganku dari kalung ini ke wajahnya. Apa aku salah dengar? Kuperhatikan wajahnya seolah dipenuhi aura yang dingin, jika kuingat-ingat lagi senyumnya tadi juga agak aneh, bukan senyum sapaan tapi senyum yang merendahkan. Kurasa mulutku sulit kukatupkan sejak mendengar pernyataanya.
"Dengar, jangan salah paham, ada alasan kenapa Para Pembunuh itu menghabisinya, jika kau terlibat maka bisa kupastikan kau mati konyol," ujarnya sembari mengelus pelan rambutku.
Sraakkkk...
Sontak kuhempaskan kemeja dan menjauhinya, apa yang baru saja kulakukan? Bicara dengannya? Orang ini berbahaya!. Jadi semua yang dikatakannya tadi hanya tipuan? Dugaan-dugaannya terkait pembunuhan tadi semua palsu belaka? Ia bisa membohongi polisi tadi dengan gampang.
Sejenak ia memandangiku, apa-apaan sikapnya ini? Apa aku terlihat begitu bodoh di matanya?. Kulihat ia dengan entengnya berbalik badan dan kembali melangkahkan kakinya pergi, meninggalkanku yang masih tak percaya dengan semua ini. Omong kosong yang dia lakukan pada orang yang sudah tiada, jangan-jangan dialah pembunuhnya!.