Chereads / Meurtre / Chapter 7 - Berdatangan

Chapter 7 - Berdatangan

"Kabari, Pramugara Britania.

Bawakan Giro, Tiga Puluh Juta.

Kembali ke Surabaya, bukan di Kota Tua.

Haknya ada di titik temu Tugu Pahlawan."

Masih ia genggam, lipatan kertas yang berhasil membuatnya keheranan. Mulutnya mengangga kecil kala batinnya membaca untaian kalimat yang tercantum, berulang kali ia menerka apa artinya? Sayangnya, terkaannya berujung kesia-siaan belaka.

"Pramugara itu apa?" gumamnya tak mengerti.

Kembali jemari kecilnya membolak-balikan lembaran tersebut, mungkin ada sesuatu yang ia lewatkan? Namun, memang tak ada apa pun di baliknya, hanya ada tulisan aneh yang tak ia pahami. Sama dengan ketidakpahamannya terkait, kenapa lembaran kertas ini berada dalam kotak perkakasnya?

"Jika Bapak itu sengaja memasukkan ini, tapi kenapa?" tanyanya pada diri sendiri.

Terduduk Sang Bocah di depan pintu kayu yang agak usang, menikmati ketenangan di teras kecilnya menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini. Satu pelanggan pagi tadi rasanya tak cukup baginya, mungkin itu yang membuatnya malas dan malah beranjak pulang dari stasiun.

Agak berawan memang, setidaknya mendung sudah menepi tak lagi menghinggapi Gubeng. Dalam diamnya, setelah dirasa tak cukup merenungkan arti dari lembaran yang ia genggam, tangannya lantas memasukkan secarik kertas itu ke saku celana. Kancing-kancing kemeja kusamnya mulai ia kancingkan, mulai beranjak Si Bocah sembari memandangi depan rumahnya, matanya seolah fokus mengamati sepanjang rel, tepatnya ke arah utara.

"Pikir nanti saja, sekarang cari uang dulu!" serunya menyemangati diri sendiri.

Ya, kesibukan lain dari Indra Dwi Pangestu, tak lain adalah mencari barang bekas yang akan ia jual kembali. Ini akan ia lakukan jika tak cukup uang yang terkumpul di stasiun. Pemukiman warga di kiri kanan rel bagian utara menjadi lahan petualangan yang selalu ia susuri, bersiap Sang Bocah setelah mengambil sesuatu yang ia tenteng. Ya, karung sak, meski tak seharusnya sosok kecil ini mencari keberadaan dari setiap barang bekas di sudut rumah, sayangnya ada kenyataan hidup yang tak bisa ia ubah. Selangkah, dua langkah, kaki itu meniti usaha dalam pencariannya, botol plastik yang baru saja ia masukkan ke karung masih tentu belum cukup untuk hari ini. Semakin jauh, semakin ke utara pula sosoknya menyusuri pinggiran rel. Sangat tanggap, jemarinya sontak memungut dua kaleng bekas yang baru saja ia temukan. Agak jauh dari posisinya berdiri, tiba-tiba matanya menangkap keberadaan sesuatu, perhatiannya berhasil dicuri kardus bekas berukuran besar di sisi barat rel kereta.

"Wah, itu lumayan," ucapnya sumringah seraya mendekati benda tersebut.

Namun, entah kenapa ia tak segera mengambilnya, sejenak ia berhenti sebelum akhirnya melangkahkan kaki memasuki komplek. Dari celingak-celinguknya, ia seperti menduga akan ada banyak barang bekas yang akan ia temukan di sana. Mulai menyelinap, celah kecil di antara rumah-rumah itu dilaluinya dengan mudah, rute pemukiman ini sepertinya bukan masalah bagi Sang Bocah.

Jepitan dinding demi dinding ia susuri, tak luput pelataran pun ia sambangi, entah karena ketelitiannya atau keberuntungan? Apa yang ia cari selalu berhasil ia temukan. Benar saja, tak salah ia rasakan pundaknya mulai terasa berat, karung yang ia tenteng hampir terisi setengah. Tak henti Sang Bocah terus mengumpulkan apa yang dirasanya perlu dibawa, kawat dan paku tentu tak bisa dilewatkan begitu saja. Berulang kali juga ia melempar pandangan ke segala arah hingga ia mendapati setumpuk koran berserakan dekat tempat sampah. Setengah berlari, tersenyum kecil Sang Bocah terlihat senang akan hasil pungut yang terkumpul, rezekinya mungkin bukan di stasiun untuk hari ini. Tanpa basa-basi, tampak lembaran yang tak tertata itu ia rapikan sejenak, seolah memang sudah menjadi miliknya, segera ia pun lantas memasukkannya ke karung dan kembali berkeliling.

"Loh? Sudah dekat jalan raya?" gumamnya heran, telinganya menangkap sayup-sayup suara kendaraan di balik barisan rumah di depannya.

Sejenak ia berhenti, terbersit sebuah kemungkinan dalam pikirannya.

"Pinggir jalan sepertinya bisa dicoba," lanjutnya yang tersenyum seraya melangkah.

Kencang laju truk yang lewat menyapa Sang Bocah kala dirinya keluar dari dalam pemukiman, tak begitu ramai, hanya para pejalan kaki dan sekumpulan becak serta angkutan yang berseliweran. Selagi berkeliling, bangunan yang sudah berdiri dua puluh enam tahun di depannya juga tak luput dari perhatiannya.

"Soto Gubeng," ucapnya sembari membayangkan hasil pungutannya cukup untuk membeli makanan kesukaannya.

Tanpa Sang Bocah sadari, sepasang bola mata di balik topi putih itu membesar seakan terkejut menyadari kehadirannya, setiap gerak-geriknya pun diperhatikan dari seberang jalan layaknya mangsa yang ditandai.

Pwiifftt...

Tepat pada saat Sang Bocah memungut kaleng di sekitar trotoar, nyaring siulan terlontar dari sosok berkemeja putih pendek di seberang jalan. Serempak, empat orang yang tak begitu jauh darinya langsung menoleh bersamaan ke arah siulan tersebut. Kepalanya menggeleng, seolah sosok ini menegaskan target itulah yang sudah mereka cari. Tiga di antaranya bergegas menyeberang jalan, sementara dua lainnya sontak menghampiri dari arah selatan tanpa sepengetahuan Indra. Kembali Sang Bocah berkeliling setelah memungut beberapa kaleng bekas, matanya awas mengawasi sekitarnya.

Entah kenapa tiba-tiba Ia merasa aneh dengan dua orang yang tak begitu jauh di depan sana, seolah keberadaan mereka memang sengaja menghampirinya. Dipandangilah dua sosok asing ini, tatapan tajam dari satu sosok tinggi berjaket merah itu sudah membuat nyalinya ciut, belum lagi satunya yang berwajah sangar berkemeja kotak-kotak, tak luput dari pandangan Sang Bocah tato di kedua lengannya. Gelisah dengan mereka yang sedikit pun tak memalingkan pandangan dari dirinya, langkahnya pun semakin meminggir di trotoar, di genggamnya karung yang tertenteng itu erat-erat. Semakin berhati-hati dirinya, tanpa sebab yang jelas kedua orang ini pun tiba-tiba berhenti sembari berbincang di trotoar. Mengernyit dahi Sang Bocah melihat keduanya bercengkerama, bukan dari gelagat mereka, namun sayup-sayup perbincangan yang ia dengar cukup untuk membuatnya merasa aneh. Ada yang tidak beres, beberapa kali juga terlihat mereka masih meliriknya. Tanpa aba-aba, Indra pun sontak memutar badan kembal ke belakang.

"Tang yat can!"

Ucap seseorang berkemeja putih seraya memajukan telapak tangannya, terkesan memang sengaja menghentikan Sang Bocah. Belum habis kegelisahannya, sekarang ia malah mendapati dirinya berhadapan dengan tiga orang dewasa yang menghampirinya dari belakang.

"Hah? Apa?"

Keheranan sosok kecil ini mendengar apa yang dikatakan Si Pria Bertopi, jika dilihat-lihat lagi, wajahnya agak berbeda dari Orang Indonesia pada umumnya, lebih ramping dengan rambut alisnya yang jarang. Tinggal beberapa langkah lagi dari posisinya berdiri, ketiga orang ini pun semakin mendekat. Jari-jari kakinya mulai bergerak-gerak kecil seakan bersiap, sesaat saling pandang dirinya dengan pria berkemeja putih tersebut. Menenangkan diri rasanya mustahil untuk saat ini, entah dari mana rasa waswas yang mulai menghampiri benaknya? Apa karena matanya menangkap sekelebat bayangan pisau yang dibawa salah satu orang ini? Derap-derap pun langkah juga mulai terdengar mendekatinya dari belakang.

"Aku terkepung? Ada apa lagi sekarang?" batin Indra mulai resah.

Bisa ia rasakan tercekat tenggorokannya, untuk menelan ludah pun rasanya sangat sulit. Menyadari tak ada pilihan lain saat kelima orang ini telah mengepungnya dari dekat, sejenak tangannya agak gemetar mengeratkan pegangan dikarungnya, seakan mengumpulkan keyakinan, ia memandangi kaki kecilnya dan dengan terpaksa...

SRAAAKKKK!!!

"Jangan mendekat!"

TIIITTT !!! TIIITTT !!!! TIIITTT !!!!

Pekik Sang Bocah yang langsung melemparkan karung sembari melarikan diri ke arah utara, beberapa pengemudi yang melaju pun dibuat kaget dengan tingkahnya yang sontak menyeberang jalan tanpa berpikir panjang. Klakson-klakson itu sama sekali tak ia hiraukan, di pikirannya saat ini hanya ada, bagaimana cara terbaik untuk kabur? Menyadari dirinya tak kan sanggup jika kelima orang dewasa itu mengejarnya sekaligus. Di satu sisi, meski terkejut, kelima orang itu berusaha menyusulnya sebisa mungkin. Agak susah karena jalanan mulai ramai sekarang, sekilas mereka tampak ragu dan entah dari mana datangnya sekelebatan hitam itu?

WUUSSSSS....

"Bangsat!" umpat Si Pengemudi.

Dan hampir saja sebuah sedan menggilas mereka bersamaan yang hendak mencoba menyeberang. Tanpa rasa takut, Si Pengemudi masih kesetanan melajukan sedan hitamnya menyalip beberapa mobil, merasa buruannya semakin jauh dan tak memedulikan kepergian sedan tersebut, tanpa basa-basi lagi kelima orang ini bergegas mengejar Sang Bocah secepat mungkin.

Kepanikan semakin menjadi-jadi kala Indra menengok ke belakang. Ya, dugaannya sama sekali tak meleset, kelima orang itu mengejarnya sekaligus. Serasa akan patah kakinya yang digunakan berlari, tak mungkin ia bisa lebih jauh lagi dari ini. Kembali ia menengok ke belakang, kali ini ia seperti menyiapkan rencana. Kelima orang itu sejajar dengan dirinya di sisi jalan yang sama sekarang, dan lagi-lagi...

TIIITTT !!! TIIITTT !!!

Kembali menyeberang Indra yang tak menghiraukan makian dan rentetan klakson yang ditujukan padanya. Terburu-buru, kelima orang itu pun juga kembali menyeberang mengikutinya, salah satu rekan dari Si Pria Bertopi Putih itu bahkan mengeluarkan pistol dari sakunya sekaan tak ingin berlama-lama lagi di permainkan Sang Bocah.

Tepat saat gerombolan ini disibukkan Indra dengan kejar-kejaran, di sisi jalan yang lain, sekelebatan sedan yang hampir menabrak mereka beberapa saat yang lalu, tiba-tiba melesat dari selatan.

CRRRRTTTTT!!! WUUUSSSS....

Setengah putaran, dengan berani Si Pengemudi memutar sedan hitamnya dan langsung melaju memasuki jalanan yang di lalui Indra. Caranya berbelok terlalu gila untuk dijelaskan, kenekatannya melawan arah menerjang arus kendaraan di depannya juga mustahil untuk dilakukan. Namun, kelihaian dari caranya berkelok menghindari tabrakan memang pantas diacungi jempol.

"Ayolah, sekali-kali cobalah tersenyum sepertiku, lihat? Ini menyenangkan," ucap Si Pengemudi yang melempar senyum pada rekan di sampingnya.

Serasa malas untuk menanggapi, sosok ini hanya diam. Namun, mata dibalik kacamata hitam itu tetap fokus dengan apa yang ada di depannya. Agaknya ia bersiap, terlihat dari tangannya yang mulai mengambil sesuatu dari balik kemeja hitamnya. Seutas senyum sinis pun kini tersungging.

CRRRRRRRRTTTTTT!!!

"Apa! Apa itu?" pekik Indra yang kaget karena kemunculan sedan yang tiba-tiba.

Hampir menabraknya, Suzuki Esteem itu tiba-tiba mendadak mengeram sambil membelokkan diri di belakang Sang Bocah, seolah sengaja mengambil posisi agak miring. Satu kaca mobil terbuka, kelima orang itu pun langsung disapa dengan sebuah tangan yang keluar dari dalam jendela.

DOORRR!

Tak berkutik, seketika tubuh itu roboh ke aspal bahkan sebelum darahnya mengucur.

"Cepat Liem, amankan Si Bodoh itu," ucap Si Pemuda dengan santai setelah menembak pria yang berkemeja putih tepat di kepalanya.

DOORRR!

Kembali tembakan kedua terdengar dan tepat mengenai lengan rekannya yang memegang pistol. Dengan cepat Cuatro kembali memutar mobilnya menghampiri Sang Bocah yang berada tak begitu jauh.

CKLAK!

"Lepaskan! Jangan! Aku tak mau mati," teriak Indra mulai histeris, memberontak pun rasanya terlalu mustahil baginya.

Tentu saja ia terkaget dengan kemunculan tangan yang menariknya dengan paksa ke dalam mobil, sayangnya pintu mobil sudah ditutup, sama sekali tak ada kesempatan untuk kabur baginya.

WUUUUUSSSSSS...

Tancap gas sedan hitam itu beranjak dari tempatnya, melaju kesetanan dengan meninggalkan seonggok mayat di belakang sana. Orang-orang mulai berdatangan menyaksikan jasad yang tergeletak begitu saja di jalanan. Mulai panik dan kebingungan kerumunan yang mengejar Indra, dari cacian yang terdengar, kepergian sedan itu berhasil menyulut benih kemarahan di pihak mereka.