"Ma... Ma... Maksudnya?" tanya Indra terbata-bata, ia merasakan tangan dingin itu semakin mengeratkan cengkeramannya.
Mencoba mundur pun rasanya sia-sia. Indra terpaku, gemetar kakinya pun tak bisa di sembunyikan berhadapan dengan sosok ini. Sekilas sebuah senyuman rasanya memang tak pernah menghiasi wajah pemuda ini, seperti ada sesuatu yang suram dan kacau di dalam dirinya, melihat Indra yang mulai gelisah lantas Si Pemuda bertanya sekali lagi.
"Stasiun sudah sepi dan kau masih disini, tapi yang menarik adalah, dari mana kau dapatkan itu?"
Mendapati pundak kirinya sedang ditunjuk oleh Si Pemuda, Indra pun menoleh mengamati apa yang dimaksud oleh Si Pemuda. Biskuit yang ia genggam sedari tadi pun sontak terjatuh.
"Ap... Apa ini! Se... Sejak kapan?" pekiknya terkejut.
Noda merah yang menghitam itu memang tak seberapa banyak menempel di pundaknya, tapi itu cukup untuk membuat Indra keheranan. Tekstur kentalnya yang mulai mengering disertai bau amis yang masih tercium, tak salah lagi, ini memang noda darah.
"Tidak! ini bukan darahku, bukan! Aku sama sekali tak tahu," seru Indra sembari menampik tangan Si Pemuda.
Ia mundur beberapa langkah ke belakang mencoba menjauhi Si Pemuda, sayangnya respons yang diharapkan sama sekali berbeda. Si Pemuda dengan santai malah maju mendekatinya, seakan tak paham jika sosok kecil ini sedang ingin menjauh darinya. Tampak jelas oleh Indra saat tangan pemuda ini menyelinap di balik kemejanya, sesuatu yang sedari tadi ia sembunyikan di pinggangnya pun hendak dikeluarkan.
"Bahaya... orang ini berbahaya," batin Indra.
"Dengar, aku datang...."
Belum sempat pemuda ini menyelesaikan kata-katanya, dengan cepat Indra segera berlari meninggalkan Si Pemuda. Tanpa pikir panjang, bergegas ia langsung menuruni peron seraya berlari menyusuri rel, tetes demi tetes keringat dingin pun mulai mengucur membasahi wajahnya. Hati kecilnya bertanya-tanya tak mampu menjelaskan apa yang baru saja di alaminya?.
'Siapa orang tadi? Dan darah siapa ini?' batin Indra sepanjang perjalanan pulang.
Sementara Indra semakin jauh meninggalkannya, sosok muda ini hanya mengamatinya dari kejauhan dengan santai, di keluarkanlah sesuatu yang sedari tadi menyelip di pinggangnya. Bungkusan keresek hitam itu berisi minuman botol yang langsung ia tenggak, dari botolnya yang sudah terbuka, bisa disimpulkan ia telah meminumnya beberapa saat yang lalu.
"Untungnya aku punya pengganjal, celana ini agak longgar untuk ukuranku," ucapnya yang kembali menenggak minuman bertulis Sarsaparilla tersebut.
"Sial sekali, di mana aku akan tidur? Baru saja hendak kutanya bocah itu malah lari, sepertinya banyak anak bodoh berkeliaran sekarang," lanjutnya lagi seraya melangkahkan kaki meninggalkan stasiun.
Pelan langkah itu menyusuri pinggiran rel kereta setelah dirasanya cukup jauh, beberapa kali ia menoleh ke belakang memastikan Pemuda Mencurigakan tadi tak mengejarnya. Sepertinya sudah aman sekarang, tak ada tanda-tanda dari pemuda tadi! Sebisa mungkin sosok kecil ini mengatur nafasnya yang tersengal.
Temaram semakin berani menampakkan dirinya, siap membawa seisi kota ke akhir petang. Sepertinya Indra kecil agak tenang sekarang, meski cengkeraman Si Pemuda seakan masih terasa di pundaknya. Tiba-tiba langkahnya terhenti.
"Oh, iya! Ini harus di bersihkan, nanti Ibu bisa tahu," ucapnya sembari memandang sekeliling.
Matanya berusaha mencari keberadaan benda apa pun di sekitarnya untuk menghapus noda darah di pundaknya. Dalam pencariannya, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu di antara rel tak begitu jauh dari posisinya berdiri sekarang.
Di dorong rasa penasaran, Indra pun mencoba menghampirinya, semakin dekat derap langkah kecil ini menghampiri benda tersebut. Seketika ia mematung tak mampu berkata-kata kala mengetahui apa yang tergeletak di antara rel. Goyah kakinya yang lunglai membuat sosok kecil ini terjatuh. Ya, terduduk lemas dirinya menyaksikan bagaimana kepala manusia ini tergeletak begitu saja seolah sedang menghadangnya.
"Tidak," ucapnya pelan, kedua tangan yang menggenggam rumput itu tampak bergetar.
Sesaat matanya berkaca-kaca. Ia mendongak ke atas, berusaha berpaling agar tak menatap ke depan. Langit sore yang semakin gelap malah menambah kengerian yang dirasanya. Dalam situasi seperti ini yang bahkan telah membuat gejolak hatinya berantakan, ia masih mencoba menguasai diri seraya bangkit perlahan.
Sialnya, tangisnya benar-benar pecah saat ia berhasil berdiri, pelan kaki itu mencoba menjauh ke pinggir rel. Bersusah payah ia memberanikan diri hingga benar-benar sampai di pinggiran rel, tanpa aba-aba Si Bocah langsung berlari sekencang mungkin sembari terisak di sepanjang jalan. Entah karena langit yang gelap itu kian suram atau rasa takut akibat pertama kali melihat sesuatu seperti tadi? Yang pasti, jalanan yang biasa ia lewati ini terasa sangat jauh. Semuanya semakin gelap di pelupuk matanya, kengerian seakan mengejarnya dari belakang.
'Itu... itu Bapak yang tadi!" ucap Indra kecil dalam hati sambil terus menangis.
Helaan nafas yang tak beraturan menjadi pertanda ia tak mampu menyingkirkan rasa takutnya. Menjauh dari segala hal yang ia alami sore ini rasanya sudah terlambat. Semuanya sangat tak masuk akal dan begitu cepat baginya tanpa tahu apa yang baru saja terjadi dengannya? Mungkin terus menangis adalah pilihan yang tepat baginya saat ini.
Beberapa meter jarak yang sudah ditempuh, harus Indra akhiri kala tiba di depan sebuah rumah kecil kiri jalan. Tangannya lantas membuka pintu kayu itu seolah ingin segera masuk ke dalam, bunyi khas yang terdengar menandakan pintunya sudah agak reyot. Sosok kecilnya tak terlihat lagi setelah memasuki rumah tersebut, menghitam bentangan cakrawala di atas pemukiman ini menandakan malam akan segera menyapa sebentar lagi. Pertanyaan terkait apa? Siapa? Dan kenapa? Atau hal-hal yang menyangkut potongan kepala tadi pun rasanya akan menjadi awal baru dari hari-hari Indra berikutnya.
"Dan kenapa kau memberiku celana longgar?"
Tanya pemuda berkacamata ini pada seseorang di dalam mobil, tak begitu jelas wajah dari pengemudi mobil tersebut. Yang pasti, keduanya berbincang di pinggir trotoar di samping hotel, lampu-lampu jalan yang mulai menyala turut menemani obrolan mereka.
"Hahaha, sudahlah, lupakan itu! Istirahatlah dulu dan besok kita akan mulai bergerak, kau tahu? Aku sudah lima hari disini," jelas Si Pengemudi tanpa menjawab pertanyaan tersebut.
Pemuda berpakaian serba hitam ini melempar pandangannya ke sekeliling, mungkin sekedar beradaptasi dengan lingkungan yang dirasanya asing.
"Tak terlalu buruk, tapi tetap saja aku merindukan penjara," racaunya asal-asalan.
"Apa menurutmu akan terjadi pertumpahan darah di Surabaya?" bertanya kembali Si Pengemudi.
"Kenapa kau bertanya padaku?" balas bertanya Si Pemuda.
"Haha, lucu sekali, tentu saja Bos tak perlu mengeluarkanmu dari Puente Alto jika tak ada alasan khusus," jawab Si Pengemudi ini seperti mengetahui sesuatu.
Mata dibalik kacamata hitam itu menyipit tajam memandang Si Pengemudi, entah apa maksud dari tatapannya?. Helaan nafas itu ia akhiri sembari tersenyum sinis dan berkata.
"Menurutmu begitu? Tapi entah kenapa saat kau berkata seperti itu, aku menduga keadaannya agak runyam."
"Aku tak paham, tapi untuk itulah kau di tugaskan, hahaha," balas Si Pengemudi ini dengan tawanya yang lugas.
"Bukan bodoh, hanya saja ada cerita, ada corak, ada ikatan, ada kenangan di dalamnya, lupakan, kita lihat saja besok," ucap Si Pemuda berbalik badan seraya meninggalkan Si Pengemudi tersebut.
"Hahaha, nikmati waktumu, besok pagi pukul 04.00 WIB bersiaplah dan kita akan berpencar," seru Si Pengemudi yang bersiap tancap gas dengan mobilnya.
Berpisah kedua pemuda ini sebelum mereka menjelaskan perihal apa yang akan mereka lakukan di kota ini?. Suzuki Esteem hitam itu melaju kencang meninggalkan Si Pemuda yang masih asyik membaca koran sembari berjalan menuju hotel.
"Rasanya malas sekali bekerja dengannya, tapi mungkin ada sesuatu yang menarik di sini," gumam Si Pemuda tanpa mengalihkan pandangannya dari koran, foto seseorang itu ia pandangi lekat-lekat.