"Papa!" Seru sang putri terkejut melihat ayahnya sedang terisak dan menangis sesenggukan.
Mandala menoleh pada sang putri yang tiba-tiba muncul melihat dirinya sedang menangis.
Seumur-umur Patrice belum pernah melihat sisi lemah sang ayah yang ternyata bisa juga menangis sesenggukan, walau dulu pria itu juga pernah menangis di hadapan jasad sang istri, namun rasa sedih itu masih bisa teratasi dan sangat berbeda dengan apa yang ia lihat saat ini.
Mandala yang melihat kedatangan Putrinya yang tiba-tiba, segera mengusap kasar airmatanya, "putriku, kau di sini, kenapa tidak tidur?" Dalihnya.
"Papa sendiri sedang apa, bukankah Papa harus banyak istirahat dan tidak boleh banyak pikiran?" Tanya Patrice tak mau kalah, seraya menghapus air mata di raut wajah yang mulai berkerut dan banyak garis tua itu.
"Papa teringat Mamamu, Nak."
"Kenapa, Pa? Kenapa Papa harus menangis, bukankah yang sudah pergi tidak akan kembali dan Mama juga sudah tenang di sana?" Tanya sang gadis sambil berniat membujuk Ayahnya.
"Papa banyak salah dan dosa terutama pada putri Papa." Jawabnya singkat dengan sesenggukan yang tersisa.
"Siapa bilang Papa punya salah? Papa sudah melakukan yang seharusnya Papa lakukan. Bukankah semuanya untuk kebaikan Patrice dan apa pun yang ada saat ini, termasuk bisnis keluarga kita yang bertujuan untuk kesejahteraan orang banyak, terutama para karyawan dan personel yang berada di bawah atap Turbo flight, lalu kesalahan apa lagi yang Papa maksud? Ingatlah bahwa Papa sudah melakukan banyak hal dan bahkan aku sangat bangga menjadi putrimu, Pa." Ujarnya seraya menghibur sang ayah tiada henti.
Mandala kembali tersenyum dan mengusap lembut rambut putrinya, "terima kasih sudah menjadi putri terbaik Papa di dunia ini, Nak. Papa bangga padamu, sekali lagi maafkan Papa." Ucapnya dengan sisa air mata yang ada.
"Patrice juga berterima kasih pada Tuhan karena diberi seorang ayah terbaik sepertimu, Pa. Yang telah mengajarkan banyak hal dan... Pokoknya sangat banyak tidak bisa dijelaskan satu persatu." Ucap gadis itu kembali tak mau kalah.
"Tidurlah! Besok kamu ada tugas untuk mengajak sang pilot berkeliling agar ia tahu dan mengenal kota ini. Sebab, pemuda itu akan menetap di sini dan terbang bersamamu di pesawat yang sama." Titah sang ayah kembali memberi tahu salah satu tugas Aliando dan Patrice.
"Baiklah. Papa juga, aku kembali dulu ke kamar ya, Pa. Selamat malam." Pamit gadis itu dan kembali menutup pintu kamar, setelah memberi selimut pada sang ayah.
Aliando terbangun oleh nada dering ponselnya yang tidak berhenti dari tadi. Panggilan yang berasal dari negaranya dan saat ini masih pukul sembilan malam di negara tersebut, sedangkan di tanah air sendiri, waktu baru menunjukkan pukul setengah empat dinihari, di mana waktu yang benar-benar membuat semua umat masih terlelap dan enggan bangkit walau sudah terjaga dan lebih memilih menarik selimut hangat yang mereka miliki masing-masing.
Meski pun Aliando tahu ini masih waktu untuk tidur baginya , dengan mata terpejam sambil meraba-raba di mana keberadaan benda pipih berharganya itu, ia pun meraih ponselnya di sebelah nakas yang terdapat koper besar yang belum sempat ia pindahknaa isi- isinya.
"Hai, Mom." Sapanya tanpa perlu melihat nama siapa yang muncul di layar utama ponselnya tanpa ia sadari.
"Selamat malam, Sayang. Ini aku bukan Mommy."balas suara dari seberang dengan lembut.
Seketika Aliando bangkit dan mengucek-ngucek matanya. Sadar bahwa ia baru saja mendengar suara Valery, sepupu yang dijodohkan padanya oleh sang Mommy. Ia tidak menyangka kalau wanita itu akan menghubungi dirinya di saat yang tidak tepat.
"Maaf, Valery. Aku sangat sibuk dan butuh istirahat, kita bisa menelepon nanti." Ucapnya sambil menutup telepon itu kembali.
"Valery yang hendak membuka suara itu pun mendecak kesal karena sikap dingin yang selalu ditunjukkan oleh pria itu padanya, "lihat saja nanti aku akan membuatmu berlutut di hadapanku." Gumamnya kesal.
Setelah menutup panggilan dengan Valery, dengan sedikit rasa dongkol, Aliando pun segera menghubungi ibunya di Polandia.
"Sayang, apa kabarmu, Nak? Aku pikir kau tidak akan meneleponku sebelum dua hari lagi setelah sampai di negara tropis itu." Sindir Mommy pada putranya.
"Tadinya pun aku berpikir begitu, Mom. Tapi Kenapa Mommy memberitahu Valery jika aku tidak sedang di Columbia, bagaimana kabar putriku, Mom?" Tanyanya lagi.
"Putrimu baik. Karena aku selalu menjaganya secara prioritas. Apa, Valery menghubungimu? Padahal aku tidak memberitahu apapun padanya." Jawab sang Ibu.
"Tapi kenapa barusan ia meneleponku, Mom?"
"Tentu saja Mommy tidak tahu karena sudah lama tidak bertemu dengannya. Lagi pula untuk apa Mommy memberitahu padanya tentang tugas barumu yang harus berada di Indonesia." Jelas Mommy yang masih tidak habis pikir dengan Valery yang selalu mengejar-ngejar dirinya.
Aliando terdengar menghela napas sambil mengucek-ngucek rambutnya sendiri, "ya sudah tidak perlu Mommy pikirkan lagi. Apa kabar Mommy dan Lea? Aku hanya ingin Mommy fokus pada putriku dan jangan lupa selalu menjaga kesehatan agar aku juga tenang selama tidak bersama kalian, Mom."
Nyonya Helena tersenyum dan mengangguk, "semuanya baik-baik saja, Nak. Kau jangan khawatirkan kami, yang penting kau juga sehat supaya semuanya berjalan dengan baik, jangan lupa untuk segera menikah! Kau tahu umurku tidak akan lama lagi, aku ingin melihat Lea bersama Ibu sambungnya sebelum ajalku." Pinta sang Ibu pada putra satu-satunya itu.
"Mommy tenang saja, aku akan membawakan seorang wanita cantik untuk Ibu sambung Lea." Jawabnya santai seraya mengembangkan senyum.
"Benarkah, jangan bilang kalau kau sedang berniat untuk memperistri wanita Asia, Aliando?"tekan sang Ibu.
"Jika itu yang terjadi, apa salahnya, Mom? Bukankah semua wanita baik itu bisa ada di manapun, jika harus dari Indonesia why not?" Jawabnya enteng.
"Kau ini. Bukankah itu artinya membuatku berjauhan dengan kalian? Aku tidak setuju kau menikahi perempuan dari sana, seperti tidak ada saja lagi wanita di Columbia ini." Omelan sang Ibu membuat Aliando kembali menguap dan meminta pada Mommy agar segera menutup sambungan teleponnya, "baiklah, Mom. Nanti kita sambungnya lagi, selamat pagi."
Tut! Tut! Tut!
"Dasar bocah tengik! Main putus sepihak saja, orangtua belum selesai bicara sudah main putuskan telepon segala. "Gerutu sang Ibu pada ponselnya sendiri yang sudah tidak ada suara putranya lagi di sana.
Aliando mengangkat sedikit tubuhnya untuk bersandar di bantal yang ia tegakkan pada sandaran ranjang, sebelah lengannya ia jadikan sebagai penopang kepala belakang dan tangan sebelahnya lagi masih memainkan ponselnya.
Pria itu tersenyum sendiri dan menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir, tiba-tiba saja dengan spontan memberitahu sang Ibu kalau dirinya sebentar lagi akan mendapatkan calon Ibu sambung untuk putrinya, benarkah begitu? Author juga tidak yakin, eitts... Bukankah apapun bisa terjadi saat ini dan pernikahan atau hubungan cinta antar negara itu sudah biasa? Kita lihat saja nanti.