"Aku tidak bilang kalau aku tidak akan berteman denganmu, bukankah mulai sekarang kita adalah partner kerja, kenapa aku harus menghindarimu?" Jawaban Patrice sedang bertolak belakang saat ini, yang sebenarnya terjadi adalah betapa hatinya terasa kosong kembali setelah mendengar jawaban pria itu yang mengaku sudah punya anak dan istri. "Lalu kenapa kau tidak mengajak mereka juga denganmu ke sini?" Tanyanya lagi.
"Gabriella sedang bersama ibuku...."
"Maksudmu orangtuamu begitu, kenapa tidak bersama ibunya juga?"
"Ibunya sudah hampir lima tahun pergi..." Masih menggantung kalimatnya, sambil menatap jauh ke depan.
Patrice yang sedari tadi masih fokus menyimak, semakin penasaran dengan jawaban yang selalu terdengar gantung itu. Ia pun memutar duduk menghadap pria di depannya, "kau selalu menggantung kalimatmu, aku jadi semakin tertarik." Tuturnya.
Aliando kembali ke wajah cantik yang tampak mengkilat oleh terpaan warna laut dikala senja itu. Menatapnya dalam dengan wajah sendu, sesendu hati yang mulai rapuh ketika gadis di hadapannya mulai bertanya tentang isterinya yang sudah pergi dan tak kan mungkin bisa kembali lagi.
"Lupakan! Kau tidak perlu menjawabnya. Sorry, aku terlalu banyak bertanya privacymu.
"Namanya Laura. Dia meninggal di ruang operasi ketika melahirkan putri kami."
Jawaban Aliando membuat Patrice mengurungkan niatnya yang hendak berdiri, menatap pria itu seolah dirinya menyesal karena telah mengingatkan kembali duka pria itu.
"Sorry, aku tidak bermaksud...."
"It's okay! Bukankah semuanya masalalu dan hidup terus berjalan, tidak akan selamanya kita larut dalam duka walau kenangan itu tak kan pernah hilang... (Menghentikan ucapannya, karena tiba-tiba Patrice sudah berderai air mata) hei, ada apa ini, kenapa menangis?" Tanyanya heran dan parahnya lagi, gadis itu terduduk sambil sesenggukan. Entah apa yang membuatnya jadi seperti itu, padahal yang seharusnya bersedih saat ini adalah dirinya, bukan wanita itu.
Patron tidak punya pilihan selain merangkul dan membawanya kedalam pelukan tubuh kekar nan hangat miliknya itu.
Seketika Patrice menoleh dengan sesak dan isak tangis yang semakin memuncak, lalu pasrah dan membiarkan pria bule itu memeluknya sepuas mungkin. Tidak dapat dipungkiri, tiap pelukan dan sentuhan hangat pria itu berhasil menghangatkan hatinya yang hampir lima tahun ini membeku.
***
Flashback ~
"Ahhh...ahh...lagi, Honey! Please..., Ohwwhh, aku sudah keluar!!!" Teriak Lia pada akhirnya setelah mencapai klimaksnya.
"Sayang... Ahhhh, aku tahu ini luar biasa, bagaimana Patrice begitu bodoh dan tidak pernah berminat untuk kuajak ke atas ranjangku?" Racau William di sisa klimaksnya yang tak mau kalah oleh desahan Lia, di mana perempuan binal itu masih berada dihadapannya dengan posisi masih menungging, sebab milik pria itu masih terhunus kokoh di sana dan sepertinya akan berlanjut.
Langkah pelan Patrice yang dari awal, ketika memasuki apartemen William yang tidak terkunci itu, barangkali pria itu lupa karena sudah tidak sabar akan permainannya dengan Lia. Membuat gadis itu semakin penasaran ada apa dengan pria itu sampai-sampai pintu unitnya tidak terkunci? Apakah dia lupa atau bagaimana?
Langkahnya semakin pelan, sayup-sayup suara desahan seorang wanita dan sesekali terdengar juga erangan pria yang tak lain adalah William. Semakin mendekat ke pintu, suara itu semakin jelas dan sudah bisa dipastikan kalau saat itu dua anak manusia sedang bergumul panas di atas ranjang milik pria itu.
Patrice membalikkan pelan tubuhnya, melempar begitu saja sekotak cake ultah yang sengaja ia request khusus untuk William dan membawanya ke apartement pria itu. Namun apa yang terjadi sekarang? Sebuah fakta yang menyesakkan dan paling menyakitkan adalah, seseorang yang ia percaya bertahun-tahun selain menjadi sahabat, ia juga menganggap Lia adalah saudara perempuannya sendiri, tega berkhianat di belakangnya.
Patris terus berlari tanpa perlu menutup pintu unit apartement pria itu, air matanya sudah tak terbendung lagi, setibanya di bassement ia langsung menekan tombol pada remot control yang ia pegang dan langsung masuk ke mobilnya. Tanpa ingin lagi menoleh ke belakang. Begitu jijiknya ia mengingat kedua pecundang itu. Detik itu juga semua yang berurusan dengan keduanya, langsung ia blokir dan tidak akan pernah mengingat bahkan sampai kapanpun seakan dirinya tidak ingin melihat mereka lagi.
Setibanya di rumah, Mandala sang ayah memintanya untuk segera ke ruangan pria itu.
Semuanya bermula pada hari itu, Mandala meminta putrinya untuk berhenti dari dunia fashion dan bergabung dalam pendidikan militer angkatan udara, tentu saja gadis itu keberatan dan menentang sang Papa. Ia diusir dan kembali lagi setelah hampir tiga tahun berada di Paris.
"Apa aku salah berucap sehingga membuatmu menangis, Nona?" Tanya Patron tak habis pikir. Sebab, ia pun heran tiba-tiba saja tak ada angin tak ada hujan wanita itu menangis setelah ia baru saja memberitahu bahwa istrinya sudah tiada.
Seketika Patris tersintak dan segera melerai pelukan mereka, "maaf, aku hanya..., Aku ikut berbelasungkawa, maaf jika membuatmu sedih." Ucapnya.
"Heii, apa aku tidak salah dengar? Bukankah yang seharusnya bersedih adalah aku, Sayang? Bukan kamu."
Penekanan kata 'Sayang', lagi-lagi membuat Patris jengah.
"Aku bukan kekasihmu, maaf." Sarkasnya.
Patron tertawa kecil, seakan tak peduli gadis itu suka atau tidak. "Aku tidak yakin dia bisa menangis begitu saja, sepertinya ada yang sedang ia sembunyikan. Tapi apa? Aku berharap Tuhan memberikannya untukku, aku benar-benar jatuh cinta padanya." Ia bergumam tanpa berhenti memandangi wajah wanita itu dalam senyumnya.
Melihat tatapan pria itu membuat Patris semakin merona dan salah tingkah. Ia berusaha menyembunyikan sikapnya dan mengajak Patron untuk kembali ke mobil, "hari hampir gelap, Tuan."
"Panggil aku Patron! Lebih baik begitu." Potongnya.
Patris tak berkutik, pria itu semakin ke sini terasa semakin menekannya. Ia hanya bisa mendesah pasrah tanpa bersuara lagi dan beranjak dari sana. Begitupun dengan Patron yang terus menyunggingkan senyumannya. Seakan sedang menyusun rencana dan entah apa yang sedang terlintas di pikirannya saat ini.
Tiba-tiba saja Patron mengeluarkan ponselnya dari kantong celana longgar yang ia kenakan itu, menggenggam tangan Patris lalu tersenyum ke arah kamera yang sudah disiapkannya. Sikapnya yang seperti sudah kenal lama dan terlihat akrab, sudah dipastikan bagaimana ekspresi gadis itu saat ini.
Patris yang mendapat sentuhan mendadak itu tentu saja tidak menyangka dan kaget bukan main, "hei, kau mau apa?"
Entah berapa kali jepretan kamera ke arah mereka dan Patris tak berkutik ketika pria itu menarik, memutar tubuhnya sesuka hati, bahkan menyentuh wajahnya, menarik bibirnya agar tersenyum. Banyak sekali pose yang diarahkan oleh Patron padanya.
Patris~
"Lihatlah!" Tanpa melepas senyum yang selalu tersungging manis itu, ia menunjukkan padaku ponselnya yang berisi potret kami berdua. Aku sempat takjub, tidak menyangka kalau dirinya begitu mahir dalam mengambil gambar yang tepat, aku jadi penasaran dan semakin ingin tahu lebih tentangnya.