Patron terdiam tanpa bersuara lagi. Sudah jelas baginya dan tidak perlu banyak bertanya lagi pada Patris. Kejadian yang hampir sama pun kembali mengingatkannya pada Valery yang juga berselingkuh di belakangnya ditambah lagi Gabriela putrinya tak pernah suka jika perempuan itu berkunjung ke rumahnya.
"Berhentilah menangis, Patris! Aku tidak bisa melihat wanita menangis, sudah berapa kali aku malihat kau membuang air matamu, Sayang. Satu hal yang membuatku tak habis pikir, jadi karena hal konyol itu kau memutuskan pergi dan meninggalkan Tuan Mandala yang juga sakit, tega sekali kau, Nona."
"Papa mengusirku malam itu setelah aku kembali dari apartemen William, beliau memintaku untuk melanjutkan sekolah militer angkatan udara ketika karirku sedang naik." Jelas Patris tanpa menggantung apapun lagi.
"Oh Tuhan! Sumpah demi apapun aku menyesal telah mengataimu seorang anak yang tega, aku mohon maafkan aku, Sayang." Lagi-lagi penekanan di kata 'sayang' yang selalu terucap spontan dari bibir pria itu.
Patris kembali mengusap airmatanya, selama bertahun-tahun hidup sebatang kara di Paris dan hanya berteman dengan orang-orang di lingkungan desainer, tepatnya di boutique tempat ia menghabiskan hampir seluruh waktunya di sana ketimbang di apartemen, bahkan untuk berlibur saja ia abaikan.
Lamunannya terhenti, ketika pundaknya kembali ditepuk pelan oleh pria di sebelahnya.
"Maaf, Tuan Patron. Aku sudah membuat harimu ikut kacau karenaku." Sesalnya.
"Tidak, kau salah, Nona. Justru aku senang telah menghabiskan waktuku hari ini denganmu."
"Maksudmu?" Menoleh sebentar pada pria di sebelahnya dan kembali fokus.
"Bukankah kita sudah saling berbagi cerita hari ini?"
"Tidak, kurasa aku belum mendengar semua tentangmu. Bahkan tentang kekasihmu sekarang setelah mendiang istrimu meninggal."
"Apa aku terlihat sedang mempunyai kekasih?"
"Ayolah! Tidak perlu berlagak polos dihadapanku. Pria sepertimu tidak mungkin tidak punya wanita."
Terdengar nada cemburu yang keluar dari bibir gadis itu. Membuat pria tampan di sebelahnya semakin tersenyum, seolah ingin sekali menerkam wanita itu detik ini juga.
"Tadinya ia. Setelah sebelumnya aku sempat menolak penawaran ayahmu untuk bergabung dengan maskapai kalian di sini. Tapi, dua hari kemudian aku menghubungi ayahmu lagi bahwa aku memutuskan untuk segera berangkat ke Indonesia."
"Maksudmu?" Tanya Patris karena terdengar berbelit itu.
"Ibuku tidak sengaja melihat Valery sedang berpelukan mesra di salah satu toko bakery langganan Ibu, bahkan keduanya saling berciuman di depan umum. lalu beliau meneleponku, tadinya aku tidak percaya dan kurasa Ibu salah lihat. Lalu beliau memutuskan untuk mencuri gambar mereka diam-diam. Aku sempat melihat fotonya. Dan aku belum puas kemudian meminta lagi agar Ibu beralih ke video call, ternyata benar dan tak salah lagi, ketika kamera diarahkan pada keduanya, saat itu juga kuputuskan untuk tidak bertemu dengannya lagi."
"Hal yang paling menyakitkan itu adalah ketika kita kehilangan kepercayaan." Ujar Patris tiba-tiba.
Patron berusaha menyunggingkan senyumnya. Ia mengerti dengan ucapan gadis di sebelahnya, menyadari bahwa gadis itu juga masih ragu padanya. Sama halnya dengan Gabi, panggilan untuk putrinya. Gadis kecil itu dari awal tidak pernah menyukai Valery sedikitpun hingga sebuah fakta membuktikan semuanya secara tidak sengaja.
"Aku heran apa semua gadis seperti kalian?"
"Siapa kalian, maksudmu aku dan siapa?" Tentu saja Patris heran, karena tiba-tiba saja pria tampan itu berbicara seakan sedang mengatakan dirinya dan seseorang.
"Gabriella."
"Gabriella, siapa dia?"
"Dia putriku. Aku melihat kesamaan di antara kalian."
"Benarkah, apanya yang sama?"
"Tidak mudah percaya pada orang lain, sekalipun orang itu sudah berniat baik pada kalian. Putriku tidak pernah suka pada Valery, hingga semua itu terbukti ketika ibuku melihat faktanya."
"Jadi hanya karena itu kau memutuskan ke sini, bagaimana dengan putrimu?"
"Gadis pintar itu juga memaksaku untuk pergi setelah aku bercerita pada Mommy bahwa Tuan Mandala memintaku datang ke sini. Gaby seorang anak yang mandiri, kau tahukan bagaimana profesiku, hanya seorang pilot dan lebih banyak menghabiskan waktu di udara ketimbang bersama keluarga. Mommy pun juga demikian, beliau tidak pernah sedikitpun mengabaikan putriku bahkan dia seperti mendapatkan anak perempuan. Keduanya memintaku untuk pergi sejauh mungkin dari Columbia, kata mereka agar aku tidak dicari-cari lagi oleh Valery lagi."
"Astaga, menyedihkan sekali, jadi kau diusir agar sampai ke sini, Tuan. Aku jadi ingat ketika kau ketumpahan kopi di pesawat."
"Hmmm, jadi kau juga senang mendengarku diusir, Nona?"
"Sedikit." Jawabnya enteng.
"Lalu bagaimana dengan keluargamu sendiri?"
"Keluargaku?"
"Hmm."
"Bukankah kau sudah melihat hanya ada aku dan Papa berdua bersama para art di rumah kami. Mama sudah lama meninggal karena penyakit diabetes yang menggerogotinya, beliau sempat mengalami kelumpuhan sebelum meninggal."
"Aku ikut berduka." Ucapnya.
"Sudahlah! Bukankah semuanya sudah berlalu dan kita juga tidak boleh terlalu berlarut-larut di dalamnya. Aku besar tanpa kasih sayang seorang Ibu, sebab beliau meninggal ketika aku masih empat tahun dan belum mengerti apa-apa. Papa juga tidak pernah menikah lagi setelah Mama meninggal hingga aku dewasa. Jadi, hari-hari aku bersama para art di rumah dan aku bersyukur, semuanya sangat menyayangiku dan aku belum pernah merasa kekurangan kasih sayang sedikitpun."
"Aku berharap semoga hidupmu dilimpahi kebahagiaan dan tidak kekurangan apapun." Ujar pria itu lembut.
Patris tersenyum mengangguk dan menyambung harapan pria itu dengan ucapan 'Aamiin'.
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, apa kau akan menjadi seperti Papaku yang tidak akan menikah lagi seumur hidupnya?" Selidik Patris ingin tahu.
"Tadinya iya..."
"Maksudmu?" Sembari menoleh pada Patron.
"Entah kenapa setelah bertemu denganmu, aku mengurungkan niatku."
"Aku, kenapa?"
"Karena aku jatuh cinta padamu, Nona."
Tit! Tit! Tit!!!
Seketika mobil itu berhenti mendadak tepat di seberang jalan rumah Patris. Ditambah lagi suara klakson kendaraan yang sahut menyahut dari belakang, membuat Patron hampir tak bernapas dan keningnya sedikit membentur bagian depan mobil akibat ulah Patris.
"Demi Tuhan! Apa kau lupa bahwa kita masih sangat muda, Patris?" Teriak Patron saking terkejutnya dengan apa yang baru saja terjadi.
Apalagi Patris, setelah mendengar jawaban pria itu alasan kenapa ia pada akhirnya berniat akan menikah dengan dirinya, di saat itu juga seorang pejalan kaki menyeberang menjelang lampu merah menyala. Tentu saja disaat bersamaan, ia hampir tak bisa mengontrol kendalinya, antara mendengar ucapan cinta sipria di sebelahnya dengan seorang pejalan kaki yang nekad menyeberang.
"Maaf." Ucapnya sambil bergegas dan mengambil alih kembali kemudinya. Apa lagi mendengar dan melihat dari kaca spion begitu banyak kendaraan yang meminta mereka untuk segera beranjak.
Jarum menunjukkan pukul setengah delapan malam menjelang Isya. Mandala yang sempat mendengar suara sedikit gaduh dari depan rumah, segera keluar dari ruang kerjanya dan setibanya di depan, ia melihat putrinya baru saja keluar dari mobil bersama pemuda kepercayaannya itu.
"Aku pikir kalian tidak akan pulang karena begitu indahnya kota Jakarta." Sambut pria itu dengan bersedekap dada.